"Ruth, ada surat?" Aru menghentikan aktifitas bacanya pada siang itu. Ya, dia sudah bisa membaca berkat bantuan Ruth.
Perempuan itu menghampirinya, masuk ke dalam perpustakaan kecil yang dibangun tepat disebelah kamarnya sekitar enam bulan lalu lalu memberikan kabar, "belum ada surat atau utusan yang datang memberi kabar, Tuan Putri."
Jawaban itu bukan jawaban yang untuk Aru dengan, tetapi apa boleh buat?
Sudah delapan belas bulan pria itu pergi setelah terakhir kali mereka bercengkrama di ruang kerjanya. Di malam hari, seorang prajurit dengan luka tusuk delapan anak panah menancap di punggung datang dan memberitahu ada perlawanan dari arah timur laut---jauh sekali di ujung perbatasan yang jaraknya ribuan kilometer dari istana ini.
Perang itu merupakan perang besar yang memakan waktu tiga puluh bulan untuk selesai dan Aru sudah meninggal saat Hael kembali.
"Ini bulan ke delapan belas," gumamnya mengingat-ingat.
Sebulan sekali Aru mengirim surat melalui seorang prajurit utusan, surat yang nantinya akan di sampaikan pada Hael dan dibalas sebulan kemudian. Namun, ini sudah delapan bulan sejak surat terakhir Aru kirim dan tidak pernah ada balasan.
Satu-satunya balasan paling 'benar' dari pria itu adalah surat terakhir, isinya di tulis dengan tinta warna merah yang sepertinya berasal dari darah seseorang. Warnanya berbeda dan lagi belum ada tinta warna-warni di tahun ini. Lantas sekali lagi itu menjelaskan kalau yang digunakan untuk menuliskan balasan "Aku segera pulang" adalah darah manusia.
Aru masih simpan beberapa balasan lagi yang kompak hanya menjawab "Ya, lihat nanti" padahal isi surat yang Aru kirim sepanjang harapan orang tua.
Delapan belas bulan ini membuatnya tersiksa. Hael tidak akan kembali sampai genap tiga puluh bulan dan di dalam waktu itu, Aru akan mati. Tersisa enam bulan lagi dari sekarang. Aru tidak bisa memikirkan hal lain selain kematian dirinya.
"Enam bulan lagi dan hari ulang tahun ke-18 ku akan datang. Aku..."
"Aru!"
Deg!
Aru menoleh ke arah Ruth. "Kau memanggilku?" tanyanya dan digelengi oleh perempuan itu.
Aru yakin mendengar sekilas seseorang memanggil namanya meski suaranya pun tidak mirip dengan suara Ruth. Sekali lagi Aru menunggu suara itu terdengar, suaranya terasa sangat jauh, pelan, dan dari dalam.
"Ruth, tolong bereskan ini. Aku akan ke kamar." Aru bangkit dari kursi tempatnya duduk selama kurang lebih satu jam, ia berjalan keluar dari perpustakaan kecil itu dan kembali ke kamarnya di sebelah.
Setelah menutup pintunya, Aru menghampiri laci dan membuka kantung berisi sebuah kuku dari Nox. Mereka sudah tidak pernah berkomunikasi sejak terakhir kali, Aru juga tidak tahu kemana Nox pergi dan merasa tidak wajib untuk mencari keberadaan lelaki berduyung tersebut.
Meski tidak sedang dalam suasana hati baik, Aru mengepalkan tangannya erat bersama potongan kuku itu di dalam lalu mendengar lagi dengan jelas kali ini Nox membutuhkannya.
"Aru, aku... di laut mati..." suara Nox terdengar pelan, lemah sekali, lelaki itu sepertinya sedang menahan rasa sakit atau semacamnya.
Aru membuka mata dan memutuskan untuk pergi ke laut mati walau sudah dilarang oleh Hael. Nanti kalau Aru tidak menghampiri Nox, Aru dihujat sebagai contoh orang tidak berbelas kasih padahal terkadang Aru malas melibatkan dirinya pada sesuatu yang sulit dijelaskan lewat kata dan tak akan dipercayai jika hanya diceritakan lewat mulut.
Ruth tidak tahu Aru keluar dari kamar dan pergi ke halaman belakang. Ruth tahunya Aru masih di dalam kamar padahal sekarang perempuan itu tengah menjinjing roknya, melewati tanaman labirin yang sudah dibuatkan jalur tengahnya oleh Hael sehingga mudah baginya sampai ke laut mati di ujung sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Throne
FantasyBertahan dengan kehidupan yang yang ditakdirkan tersisa dua tahun saja, Chantarue selaku tokoh figuran dalam cerita mencoba melakukan segalanya untuk memperpanjang usia berbekal alur novel The Emperor Of Haeresi yang diingatnya. Chantarue yang ker...