"Maaf Tuan, Nyonya. Saya tidak bisa menerima hasil perkebunan kalian lagi."
Dahi Eliza berkerut, ia menatap sang suami yang berdiri tepat disebelahnya dengan pandangan rumit. Pun Keith selaku suami Eliza nampak bertanya-tanya mengapa seseorang yang biasa membeli hasil perkebunan mereka sejak sepuluh tahun terakhir mendadak tidak mau membeli lagi.
"Bisa beritahu padaku apa alasan kau menolah hasil perkebunanku musim ini, Tuan Hans?"
Lelaki itu mengendikkan bahu pelan lalu membenarkan letak kacamatanya, "aku memutuskan untuk tidak menerimanya lagi karena telah menjalin kerjasama dengan petani yang hasil perkebunannya jauh lebih baik darimu. Maaf, ya?"
"Bukankah sebelumnya kau pernah memuji hasil perkebunan kami adalah yang terbaik, Tuan?" Keith menyambar.
Tuan Hans menggeleng. "Sudah, ya. Aku tidak bisa membeli hasil perkebunan kalian lagi. Itu keputusanku, kuharap kalian berdua mengerti."
Terlihat Eliza mengangguk dan menggenggam lengan suaminya yang akan melayangkan protes lainnya, Eliza lalu tersenyum dan pamit pada Tuan Hans.
"Sudahlah," bisiknya pada Keith. "Kita masih bisa menjualnya dengan yang lain. Tidak usah diperpanjang."
"Kau benar." Angguk Keith tak berdebat dengan Eliza mengingat status mereka masih termasuk pasangan baru menikah.
Tanpa merasa curiga, mereka berdua mendatangi pemilik usaha lain yang biasa membeli hasil perkebunan untuk dijual ke daerah lain namun sekali lagi mereka ditolak.
Sama seperti sebelumnya, Eliza mencengkram lengan Keith saat lelaki itu akan bertanya dengan nada penuh emosi sebab merasa tak ada yang salah dengan hasil perkebunan mereka yang nampak bagus seperti biasa malahan ukurannya meningkat pesat terutama pada bahan pokok berubah jagung, gandum, dan buah-buahan seperti apel.
"Kita jual ke yang lain." Ujar Eliza memberi kalimat penenang.
Namun setelah tiga jam lebih bolak-balik pergi dari satu rumah ke rumah lain, mereka mendapat penolakan dengan alasan sederhana yakni mereka tak ingin membeli hasil panen mereka.
Hingga sampai pada suatu kondisi dimana Eliza kehilangan kesabaran dan bertanya dengan mata memerah. "Kenapa? Kenapa kau menolak hasil perkebunanku? Biasanya kau berebut dengan langgananku. Kenapa sekarang kau memperlakukanku seolah tidak mengenalku?"
"Nona, aku hanya tak ingin membeli hasil perkebunanmu. Mengapa kau memaksaku menjawab keresahanmu?" ujar wanita itu galak lalu membanting pintu tepat di hadapan Eliza.
Keith menghela nafas kasar. "Aku merasa ada sesuatu yang tak beres."
Kedua tangan Eliza terkepal. "Aku juga merasa begitu. Tapi..." hela nafas panjang terdengar dari sela bibirnya, menandakan betapa lelahnya ia hari ini.
"Sebaiknya kita pulang." Ajak Keith merangkul Eliza. "Tidak apa-apa, tidak masalah jika tidak ada yang membeli. Kita bisa konsumsi sendiri."
"Keith..." tiba-tiba langkah Eliza terhenti, gadis itu nampak menahan sesuatu dibalik kebakaran ekspresi dan kepalan tangannya seolah sudah tahu semua ini terjadi karena ulah siapa. "Aku lupa membeli beberapa rempah. Aku akan ke pasar terlebih dahulu dan kau pulanglah."
"Aku bisa menemanimu." Ujar Keith menawarkan diri selaku suami, ia berkewajiban menjaga sang istri.
Namun Eliza tersenyum dan menggelengkan kepala lalu memberi penjelasan. "Hari mulai gelap, kau pulanglah terlebih dahulu agar bisa menyimpan hasil perkebunan kita di lumbung. Aku tak ingin tupai dan rakun merusaknya."
"Ah..." benar juga, Keith tidak boleh egois walau baginya berada di sisi Eliza kemanapun gadis itu pergi sudah seperti hal wajib bak tutup dan botol. "Kau benar, aku tidak bisa memaksa untuk menemanimu kalau begitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Throne
FantasyBertahan dengan kehidupan yang yang ditakdirkan tersisa dua tahun saja, Chantarue selaku tokoh figuran dalam cerita mencoba melakukan segalanya untuk memperpanjang usia berbekal alur novel The Emperor Of Haeresi yang diingatnya. Chantarue yang ker...