14. Justice.

25.5K 2.4K 88
                                    

Tiga hari setelah kejadian hukuman menyakitkan yang didapat Aru karena tidak patuh, selama itu pula Hael rutin mendatangi kamarnya setiap pagi dan sore hari sebelum malam menjelang hanya untuk mengoleskan salep sekaligus mengganti perban kain di kaki gadis itu.

"Anda dihukum oleh Kaisar?" Mura bertanya dengan nada tenang namun wajahnya sekilas nampak cemas.

"Seperti yang kau lihat." Sahut Aru tidak mood.

"Hmmm..." wanita itu berdehem lalu mengangguk-angguk, memeriksa separah apa luka di kaki Aru tanpa menyentuh perban yang masih terbalut rapih di sana karena tak ingin membuat Hael tersinggung.

"Anda marah, ya?"

"Menurutmu saja bagaimana? Maksudku, apakah aku sepantas itu untuk dihukum dengan cara yang menyakitkan seperti ini?"

Mura terkekeh, bukannya mengejek Aru. Baginya Aru sudah seperti adik perempuan sendiri. Mura menyayangi Aru meski di awal pertemuan mereka Aru cenderung pendiam dan enggan berinteraksi dengan siapapun bahkan tidak pernah mau bertemu dengan orang selain Mura selama tiga tahun.

"Wajar jika Anda marah," angguk Mura setuju atas protes Aru dalam bentuk pertanyaan barusan. "Saya pun ingin sekali menampar wajahnya itu. Terkadang dia memang bersikap sangat keras dan kejam. Jika ada satu orang saja yang melanggar namun orang itu tidak mau mengaku maka semuanya akan mendapat hukuman yang sama secara serempak. Bahkan ketika dia mengetahui pelaku sebenarnya, dia tetap menghukum kami secara bersamaan."

"Tuh, kan! Dia gila!" seloroh Aru melotot kesal dan tak habis pikir. "Dia sangat tidak waras! Dia sudah tahu pelakunya tapi dia menghukum semua orang. Dia tidak punya akal sehat!"

Mura tersenyum sebelum memberi tanggapan. "Kuakui bagi setiap orang yang menganggap beliau hanya sebatas sosok kejam tak berperikemanusiaan yang haus darah pasti akan mengatakan hal yang sama persis dengan yang kau katakan, namun sebenarnya apakah kau tahu tujuan dibalik beliau melakukan itu?"

"Apa? Karena tidak waras?" ketus Aru tambah emosi, urat-urat di dahinya sudah mulai terlihat karena kontras dengan warna kulit putih susunya.

"Keadilan." Mura menjawab bijak, sama sekali tidak tersulut emosi atau merasa jengkel dengan omelan Aru. "Seluruh pekerja disini memiliki beberapa bidang khusus seperti bidang dapur, bidang penyajian, bidang taman. Kami memiliki bidang masing-masing. Jadi, ketika ada satu bidang yang melakukan kesalahan sudah seharusnya orang-orang yang terkait dalam bidang tersebut mendapat hukuman atas dasar kelalaian. Keadilan yang Kaisar terapkan adalah keadilan dimana orang lain harus merasakan penderitaan yang sama agar tidak merasa dirinya lebih baik atau lebih tinggi karena satu-satunya yang lebih baik dan lebih tinggi hanya Sang Kaisar Haeresi."

Garis-garis gelombang di dahi Aru semakin banyak. Ia deja vu. "Aku seperti pernah mendengarnya di suatu tempat." Lalu kilasan tentang kejadian di dunia lamanya sebelum ini terngiang di kepala, situasi itu mirip seperti dirinya yang pernah di manipulasi habis-habisan oleh keluarga dan pacar. Itu mengerikan, Aru segera menggeleng dan membuang segalanya jauh-jauh.

"Bagi kami Kaisar Haeresi sudah seperti Dewa." Lanjut Mura bercerita, "dahulu tanah Haeresi itu tidak ada, ada Kekaisaran yang terbangun disini. Aku tidak akan menyebut namanya karena orang-orang di dalam Kekaisaran itu sangat mengerikan. Mereka memperkosa para wanita, anak-anak, bahkan orang-orang yang datang untuk meminta pertolongan pun berakhir diperkosa disini. Aku melihatnya, dulu ibuku bekerja disana dan aku menyaksikan bagaimana orang-orang itu melakukan..." air mata Mura jatuh tetapi, ia tersenyum bangga. "Bahkan mereka juga melakukannya kepadaku. Saat itu kupikir tidak akan ada seorangpun yang mau menerima orang-orang kotor sepertiku dan seperti teman-temanku yang lain. Para wanita yang sudah diperkosa selamanya akan menganggap diri mereka kotor meski yang salah sebenarnya adalah nafsu bejat para pria."

The ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang