8. Can We Be?

30.5K 3K 337
                                    

"Suatu hari ada seekor katak," Hael mulai bercerita, ia duduk di kursi sementara Aru duduk di kasur yang juga ada di ruangan itu namun ukurannya tidak besar karena digunakan untuk beristirahat sejenak apabila Hael sudah merasa letih mengelola berbagai jenis dokumen Kekaisaran.

"Seekor kata itu adalah katak." Lanjut Hael mengarang sebab sebenarnya buku yang diberikannya pada Aru merupakan tata cara  membayar pajak Kekaisaran serta daftar pajak-pajak dari yang terkecil sampai yang terbesar (pajak yang biasanya dibayar oleh para bangsawan pada Kekaisaran).

"Yang Mulia--"

"Katak itu menjadi katak karena dia seekor katak."

"Bisakah anda mengarah cerita yang lebih masuk akal?" protes Aru memasang ekspresi datar. "Lagipula memangnya aku anak umur 6 tahun yang suka mendengar dongeng mengerikan tentang katak dan putri?"

"Saat aku berumur 6 tahun aku mendengar ayahku bercinta dengan jalang dan mereka seperti ah ah ah di depanku yang waktu itu terbangun di tengah malam."

"AKU TIDAK TANYAAA!" wajah Aru memerah, ia tidak tahu Hael sevulgar itu dalam menceritakan bagian buruk dari masa kecilnya.

"Aku memberitahu." Hael menutup halaman buku itu lalu menatap Aru dari tempatnya duduk dengan mata menyipit. "Apakah masa kecilmu menakjubkan? Masa kecilku sudah kuceritakan padamu barusan maka sekarang giliranmu menceritakan masa kecilmu padaku."

"Lho? Kenapa aku? Bukannya aku diundang ke sini untuk mendengarkan cerita karena Kalyas sibuk?"

"Tidak ada bantahan." Tangan Hael mengibas ke udara, menandakan ia tak peduli dengan apapun termasuk yang baru saja Aru katakan. "Aku ingin mendengar seperti apa masa kecilmu."

"Baiklah, saat aku kecil..." jeda sebentar, Aru melanjutkan setelah hitungan ketiga dalam hati. "Ya, aku masih kecil jadi tidak ingat apa-apa."

"Haha..." tawa kecil Aru mengudara karena berhasil mempermainkan Hael yang sudah serius menunggunya melanjutkan kalimat.

"Kau mempermainkanku?" rahang Hael mengetat, pria itu bangkit dari duduk dan berjalan cepat menghampiri Aru yang masih sibuk menertawainya.

Aru masih tertawa saat tahu-tahu Hael sudah berada tepat di depannya dalam posisi membungkuk sehingga wajah mereka berada dalam satu garis lurus berhadap-hadapan. Barulah tawa Aru terhenti disitu, saat menyadari posisi mereka membuatnya merasa canggung dan reflek berdebar.

"Katakan sekali lagi." Pinta Hael berdehem ringan, "di masa kecil kau kecil lalu?"

"Lalu aku tidak ingat apa-apa." Sambung Aru patuh.

"Itu bukan jawaban yang kuinginkan." Desisan kecil terselip diakhir ucapan lelaki itu. "Aku ingin jawaban secara rinci mengenai masa kecilmu. Apa kau bersenang-senang seperti anak pada umumnya?"

"Yang Mulia, masa kecil yang buruk sebaiknya tidak perlu diceritakan. Itu hanya akan membuka luka lama di dalam hati kita lagipula kita tidak akan bisa kembali ke masa itu dan mengubah sikap, semua yang sudah terjadi sebaiknya dibiarkan berlalu seiring berjalannya waktu." Ujar Aru tiba-tiba bijak.

Hael menghela nafas tepat di depan wajah Aru sehingga aroma mint bercampur sedikit manis mirip strawberry merasuk ke dalam hidung Aru dan kehangatan menerpa wajah juga leher bagian depannya selama kurang lebih 0,3 detik.

"Kau lebih bijak dari Porpheus, dia akan menangis jika tahu." Kekeh Hael menarik dirinya dan meraih kursi untuk di tempatkan tepat di hadapan Aru, ia merasa gadis itu memiliki nasehat yang selama ini selalu ia ingin dengar namun tak kunjung ia dapatkan.

"Sekarang katakan padaku menurutmu, apa itu dunia?"

Aru tersenyum dan menjawab. "Dunia adalah tempat dimana kita tidak bisa hidup tanpa seorang teman."

The ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang