29. Love Off

20.1K 2.1K 50
                                    

Aru sama sekali tidak bisa tidur. Dia hanya memejamkan mata seperti kata Hael padahal saat ini di dalam kepala dan hatinya ada banyak sekali rangkaian kata yang tak bisa ia jelaskan serta emosi aneh yang membuat jantungnya terasa berdebar.

"Sudah lama aku tak merasakan perasaan ini," Aru berucap pada dirinya sendiri di dalam hati, sudah berapa abad dia tidak merasakan sensasi kupu-kupu ini?

Aru meletakkan lidahnya diatas langit-langit mulut, melipatnya ke belakang dan berusaha tenang. Tapi, dia tidak bisa. Semakin malam semakin resah, Aru merasa kalau hatinya yang telah lama mati karena mengabdi hingga titik penghabisan terhadap sang mantan kekasih kembali memberi tanda-tanda bahwa ia sedang jatuh hati.

Kelopak matanya terbuka, jatuh pada pria yang ada di sebelahnya dan menatap dengan satu alis terangkat. Saat itu Aru segera bilang. "Aku tidak bisa tidur."

"Memikirkan kematian lagi?" Hael bertanya tanpa merasa jengkel sama sekali, membuat Aru semakin nyaman kepada suami sintingnya itu.

"Bukan."

"Lalu?"

"Aku terus memikirkanmu entah karena apa, kau tahu karena apa?"

Hael menggeleng pelan. "Haruskah aku keluar?" tawarnya mengira Aru mungkin tidak nyaman ditemani oleh lawan jenis dalam satu ruangan yang sama dan dalam jarak dekat.

Aru menggeleng juga. "Tidak, tidak usah keluar. Itu bukan karena aku merasa tidak nyaman."

"Lalu?"

Aru enngga menjawab, leher belakangnya terasa panas. Pasti wajahnya sudah memerah saat ini. Sepertinya benar anggapan bahwa ia sedang naksir pada pria matang di hadapannya ini. Aru bisa merasakan sendiri bagaimana lonjakan jantungnya yang seperti sedang lari estafet di dalam dada.

"Ehm," gumaman Aru membuat Hael jadi semakin menatapnya dengan wajah heran dan ingin tahu sebenarnya apa yang gadis itu inginkan?

"Kau lapar? Karena itu kau tak bisa tidur?" tebak Hael asal, dia sendiri jarang makan dan tetap bisa tidur-tidur saja kok.

Aru tidak menjawab, kedua matanya penuh binar saat menatap Hael dalam diam. Pikirannya berlari saat ini, satu kalimat yang bisa di dengar oleh kepalanya sendiri dari dalam hati ialah, "hatiku sangat murahan."

Namun tiba-tiba saja Aru teringat segalanya tidak akan berjalan baik apabila ia adalah orang yang jatuh cinta duluan.

Bunga-bunga yang sempat bermekaran di dalam hatinya mendadak rontok. Ekspresi Aru berubah pias dan Hael menyadari hal itu.

"Putri?" pria itu mengira Aru mungkin merasa sakit lagi pada kakinya. "Mau kupanggilkan Tabib?"

"Tidak..." Aru menggeleng pelan, matanya memerah lalu dengan suara lembut dia berkata pada Hael. "Tolong pergi dari sini."

Permintaan itu jelas saja membuat dahi Hael berkerut, sebelumnya Aru memintanya tinggal namun tiba-tiba dia disuruh pergi dengan permohonan...???

"Kumohon... maaf kalau permintaanku terdengar mendadak dan tidak sopan bagimu, Yang Mulia." Timpal Aru meminta maaf karena tak mau menyinggung Hael sedikit pun, ia serius. Rasa itu ada tapi, Aru tidak ingin mengembangkannya.

Aru takut ditinggalkan dan tidak siap dengan perubahan sifat lelaki saat bertemu dengan perempuan yang diinginkannya seperti waktu itu. Aru masih terbayang oleh masalalu karena ia salah satu orang tulus bodoh yang selalu berakhir dimanfaatkan.

Terlebih lagi dunia ini sudah tertulis dalam novel, memiliki Tuhannya sendiri.

"Jangan menangis, Putri. Itu akan membuatku merasa bersalah. Seperti katamu aku akan keluar dari sini, tapi bisakah kau dengar kataku?"

The ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang