Hari lainnya berlalu. Kali Aru berangsur membaik. Lukanya sudah mengering dan ia tidak merasakan sakit lagi. Pagi ini Hael datang untuk membuka perbannya dan menyatakan ia sudah sembuh. Tidak ada rasa sakit lagi.
"Lukamu sudah mengering." Ucap Hael selesai memeriksa kaki Aru. "Kau bisa beraktivitas seperti biasa namun tidak untuk pergi ke taman belakang. Bisa kau pahami ucapanku?"
Aru mengangguk, ia diam-diam memperhatikan gerak-gerik Hael dan ketika pria itu akan beranjak pergi. Aru iseng bertanya. "Yang Mulia, apa aku boleh keluar dari istana?"
"Tidak. Aku tak ingin masyarakat menebar gosip dan mencari tahu tentangmu." Tegas Hael menjawab tak ingin orang melihat keberadaan Aru dan mulai mencari tau identitas asli gadis itu sebab Hael tidak pernah memperkenalkan Aru di depan umum sebagai siapapun.
"Ummh, baiklah." Tak ada bantahan dari Aru, ia menyetujui. "Jika kau keberatan tentang itu, aku akan mematuhinya."
"Itulah yang seharusnya kau lakukan sejak awal." Sahut Hael senang apabila Aru patuh dibalik wajah serba datarnya. "Ada Mura yang akan melakukan segalanya untukmu."
"Termasuk mendaki gunung dan menuruni lembah dalam satu waktu?" celetuk Hael.
"Ya, jika kau ingin dia kembali dengan nama saja."
"Pfttt!"
"Ada yang lucu?"
Aru menggeleng. "Apa kau selalu bekerja setiap hari?"
"Ya. Kenapa?"
"Bahkan saat tidak sedang berperang?"
"Ya."
Aru kehabisan topik. Apa lagi yang sebaiknya dia katakan pada pria kaku di hadapannya ini? Apa, ya?
"Aku harus selalu waspada." Ujar Hael menambahkan penjelasan, "aku tidak bisa bersantai meski aku berada disini, harus ada pengecekkan berkala di perbatasan, dan penjagaan ketat yang ditambahkan. Aku tak ingin musuh mendadak menyerang walau dapat kupastikan Kekaisaran Haeresi tidak akan terkalahkan."
"Aku tahu itu, kau terlalu hebat." Respon Aru memberi pujian. "Namun, bolehkah aku tahu alasan spesifik mengapa aku dilarang pergi ke taman belakang? Ah, apabila kau tak nyaman maka--"
"Dengar, jika seseorang berperilaku buruk terhadapmu apa tindakan yang kau ambil?"
"Meninggalkannya." Spontan Aru.
Hael mengangguk. "Sayangnya pada beberapa kasus jawabanmu tidak bisa dilakukan dalam kehidupan nyata terutama jika seseorang yang melakukannya adalah seseorang yang memberi kehidupan bagimu."
"Aku tidak mengerti," tutur Aru terus terang tak paham. "Aku bertanya mengapa kau melarangku dan jawabanmu..."
"Aku belum selesai menjelaskan, Putri," Hael menjeda dengan hela nafas. Pria itu nampak berat untuk melanjutkan, terlihat dari beberapa guratan yang muncul di dahi.
"Aku tidak bisa meninggalkan seseorang yang berperilaku buruk karena memiliki hubungan darah dengannya dan hanya dia yang bisa memberiku makanan saat itu."
"Kau membicarakan siapa?"
"Ibuku."
"Ibumu?"
"Aku pernah bilang ibuku suka sekali menjual tubuhnya pada laki-laki, benar?"
Meski tak yakin Aru mengangguk saja, kalau tidak salah Hael pernah cerita dengan blak-blakan tanpa merasa sedikit sedikitpun seperti saat ini.
"Suatu hari ibuku diperkosa dan dibunuh tepat di depan mataku. Apa yang harus kulakukan? Aku hanya bocah waktu itu. Mereka membuat jasad ibuku di laut mati, aku tak tahu warnanya merah sejak dulu atau sejak ibuku berada disana. Karena itu aku kembali lagi ke tempat ini dan menjadikannya sebagai milikku."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Throne
FantasyBertahan dengan kehidupan yang yang ditakdirkan tersisa dua tahun saja, Chantarue selaku tokoh figuran dalam cerita mencoba melakukan segalanya untuk memperpanjang usia berbekal alur novel The Emperor Of Haeresi yang diingatnya. Chantarue yang ker...