"Aku dan Kaisar? Kami seperti saudara laki-laki." Jawab Porpheus seadanya sesuai dengan keadaan yang terjadi saat ini antara dirinya dan Hael.
Mendengar itu Iliana menghela nafas kasar, seketika ia tahu mengapa para pelayan itulah berani merendahkannya terang-terangan. "Seperti saudara laki-laki? Untuk apa? Untuk mendapat hinaan dari pelayan yang statusnya lebih rendah?"
"Apa kau tahu mereka bahkan menyebutmu sebagai Pak Tua?" tanya Iliana emosi.
"Ya, aku tahu dan aku memang sudah tua jadi mereka benar." Ujar Porpheus tak mempermasalahkan panggilan yang kerap kali disematkan padanya walau terkesan tidak sopan tetapi itu mengandung fakta kalau dirinya memang sudah tua.
"Bagus." Iliana mengangguk-angguk, dua tangannya berada dipinggang. "Aku tidak tahan berada disini kalau begitu."
"Apa? Kenapa?" Porpheus bingung sekali karena sikap istrinya mendadak seperti ini.
"Aku seorang Putri, semua orang menghormatiku di Nimeria dan disini...?"
"Ini bukan Nimeria." Porpheus menegaskan jawabannya. "Ini Haeresi, kau tidak bisa berlagak seolah kau Tuan Putri disini."
"Apa?" Iliana merasa semakin tak masuk akal lagi. "Kau menikahiku dan kau mewajarkan penghinaan yang aku dapat dari kaum berkasta rendah yang hanya mampu bekerja sebagai pelayan?"
"Jaga bicaramu, Iliana. Apa mereka memukulmu? Tidak'kan?"
"Aku ingin mereka tutup mulut!" bentak Iliana pada Porpheus tak lagi memandang umur tua pria itu. "AKU MUAK DIHINA MENIKAH DENGAN PRIA TUA! YA, KAU SUDAH TUA! KAU SANGAT TUA DAN MENJIJIKAN!"
Iliana meludah ke lantai. "Aku jijik sekali denganmu!" lalu dia melangkah pergi meninggalkan Porpheus sendirian diruangan itu dalam keadaan termenung sedih.
Di sisa hari ini Iliana mengurung diri di kamar dan menangis. Perempuan itu masih belum bisa menerima fakta sudah menikah dengan pria tua yang bahkan lebih membela para pelayan yang menghinanya dibanding memarahi mereka atau sekedar memberi mereka tamparan keras agar bungkam.
Tersisa beberapa jam lagi sebelum matahari tinggi. Lain dengan Iliana yang menangisi takdir buruk baginya, Aru baru bangun dari tidur yang sama sekali tidak ada nyenyak-nyenyaknya.
"Tuan Putri, anda sudah mau mandi?" Ruth bergeser, dia merasakan pergerakan Aru dari berbaring ke posisi duduk.
"Tidak sekarang, mungkin nanti saat jam enam." Jawab Aru. "Aku ingin berjalan-jalan sebentar."
"Anda tidak diperbolehkan pergi ke halaman belakang." Ujar Ruth mengingatkan.
"Ya," Aru mengangguk, ia patuh kali ini. "Aku tahu soal itu, jangan khawatir."
"Mau saya temani?" tawaran Ruth ditolak oleh gelengan kepala.
"Aku bisa sendiri, ingin mencari udara segar sebentar."
"Bagaimana anda akan turun tangga?"
"Ah, benar juga..." gumam Aru lalu dengan cepat mengambil keputusan, "aku hanya akan berada di balkon lantai ini dan melihat ke bawah, aku tidak turun. Kau bersihkan saja kamar mandinya, tolong ya?"
Ruth mengangguk. "Baiklah, tolong hati-hati."
Aru tersenyum tipis, dia berjalan pelan sambil berpegang pada dinding sekitar dan keluar dari kamar dengan kehati-hatian penuh.
Ada balkon besar di ujung lantai ini, setiap lantai memiliki balkonnya. Aru belum pernah melihat-lihat ke sana jadi, ia memutuskan untuk mencapai ujung lantai ini sambil menghimpitkan tubuhnya ke dinding seperti cicak merayap.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Throne
FantasyBertahan dengan kehidupan yang yang ditakdirkan tersisa dua tahun saja, Chantarue selaku tokoh figuran dalam cerita mencoba melakukan segalanya untuk memperpanjang usia berbekal alur novel The Emperor Of Haeresi yang diingatnya. Chantarue yang ker...