Pada kenyataannya setelah diantar pulang itu, Rianti tidak bertemu Fyan lagi. Dalam seminggu ini, dua kali dirinya mendapatkan jadwal jaga malam. Lalu, setiap kali Rianti mengintip di balkon, rumah Fyan tampak kosong, seperti sedang ditinggal ke luar kota.
Bahkan, malam ini, bukan Ryan yang mengantarkan katering seperti biasanya, melainkan salah satu karyawannya.
Karena rasa penasaran lebih tinggi daripada rasa malunya, Rianti memberanikan diri bertanya, "Mas tahu nggak yang punya katering ini lagi pergi ke mana? Kok, tumben Mas yang antar?"
"Katanya, sih, lagi ke Jogja, Mbak. Ada acara keluarga."
Jogja? Itu artinya sekarang mereka sedang ada di rumah Ahsan? Setahu Rianti, keluarga Fyan yang ada di sana, ya, hanya Ahsan.
"Gitu, ya, Mas. Makasih udah mau jawab, ya, Mas."
"Sama-sama, Mbak. Kalo gitu saya permisi dulu, ya."
Rianti mengangguk. Setelah orang itu pergi, Rianti tidak mau memikirkannya lagi. Toh, tidak ada urusannya.
Usai menyiapkan makan malam dan obat untuk Antonio, Rianti masuk kamar. Sesampainya di sana, Rianti duduk di kursi, mengeluarkan TWS dari wadah pengisi dayanya, menghubungkan alat tersebut ke ponsel. Setelah itu, telunjuknya mulai menekan pranala sebuah video kesaksian mualaf yang dikirim Halimah. Tentu saja Rianti tidak berani mengeraskan volumenya karena takut Antonio mendengar.
Video baru terputar setengah, tetapi layar tiba-tiba berubah menjadi panggilan masuk. Rianti terbelalak saat melihat nama di layar.
"Mas Jo?" Kening Rianti seketika membentuk lekukan. Tidak ada badai, tiba-tiba kakaknya yang nomor dua menelepon. Ada urusan apa?
Dilanda penasaran, Rianti menyentuh salah satu TWS-nya untuk menerima panggilan. Suara berat milik Jonathan—kakak Rianti terdengar setelah itu.
"Kamu belum tidur, Ri?"
"Mas telepon aku malam-malam cuma buat tanya itu?" Rianti justru balik bertanya.
"Kamu sama Papa apa kabar?"
"Baik."
"Kenapa kamu pindah nggak bilang dulu sama Mas?"
Rianti memutar bola matanya. "Emang Mas siapa sampai harus bilang-bilang dulu pas mau pindah?"
"Rianti, kamu jangan kayak anak kecil! Mas tanya baik-baik kenapa kamu jawabnya kayak gitu?"
Rianti mengembuskan napas. Harusnya barusan tidak usah angkat telepon ini. Ia malas mendengar ocehan kakaknya yang sok dewasa itu. "Emang aku harus jawab kayak gimana? Untuk orang kayak Mas itu nggak pantes diperlakukan baik-baik. Sekarang Mas ngomong apa tujuannya telepon aku. Nggak usah basa-basi, aku sibuk!"
"Mama sakit, Ri. Mau ketemu kamu. Dalam waktu dekat ini kamu bisa ke sini, kan?"
Mamanya sakit? Rianti bingung dengan hatinya sendiri. Kenapa saat mendengar kabar itu, ia sama sekali tidak panik? Apa nuraninya pada sang mama sudah mati? Yang ada di benaknya sekarang hanya kelakuan jahat sang mama dan kedua kakaknya. Dulu saat Antonio membutuhkan bantuan, mereka tidak datang. Kini, tanpa rasa malu, kakaknya memintanya datang bertemu mama. Kenapa mereka egois sekali?
KAMU SEDANG MEMBACA
Menembus Partisi - [END]
Roman d'amourMengetahui adiknya mendapat kekerasan verbal dari ibu mertua, juga kasus perselingkuhan yang dialami kakaknya, membuat Fyan yakin tidak menikah seumur hidup adalah keputusan yang tepat. Hanya saja, ia malah terjebak dalam perasaan baru pada seorang...