Mengetahui adiknya mendapat kekerasan verbal dari ibu mertua, juga kasus perselingkuhan yang dialami kakaknya, membuat Fyan yakin tidak menikah seumur hidup adalah keputusan yang tepat. Hanya saja, ia malah terjebak dalam perasaan baru pada seorang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Fyan tidur cukup lama sepulang dari Jogja. Sebenarnya setelah mengantarkan Ryan dan Nuri, ia ingin langsung pergi mengecek pembangunan rumah Rianti. Namun, Ratna menyarankannya istirahat sejenak. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Fyan menurut saja. Toh, maksud Ratna baik. Sang mama ingin dirinya memperhatikan kesehatan.
Fyan tidak mengerti waktu SMA banyak yang menudingnya anak mama hanya gara-gara patuh. Memang salahnya di mana? Bukankah salah satu tugas anak adalah mematuhi perintah orang tua selama masih dalam koridor kebaikan? Fyan justru heran kepada mereka yang uji nyali dengan menjadi anak pembangkang, untungnya apa? Akhirnya juga dipanggil guru BK.
Bukan berarti Fyan tidak pernah bandel. Dari kecil sampai SMP, ada saja masalah yang melibatkan orang tua. Akan tetapi, anehnya, Ratna sama sekali tidak memarahinya. Paling hanya diberi hukuman. Makin dewasa, Fyan menyadari menjadi orang tua tugasnya berat. Makanya banyak kasus orang tua yang menelantarkan anak, melakukan kekerasan fisik dan mental, bahkan sampai menghilangkan nyawa karena tidak mengerti konsekuensi memiliki anak. Ternyata, Fyan adalah anak yang beruntung karena dibesarkan oleh ibu yang hebat seperti Ratna. Bagaimana tidak, Ratna merawat empat anaknya tanpa ART, dengan jarak kelahiran yang dekat dan karakter yang berbeda. Fyan saja selalu berpikir dirinya tidak mungkin bisa seperti kedua orang tuanya.
Balik lagi ke istirahat. Fyan sudah bangun, tetapi belum beranjak dari kamarnya. Magnet di kasur terlalu kuat, menyuruhnya untuk malas-malasan. Namun, itu tidak bisa dibiarkan. Fyan harus mengecek proyeknya. Dengan berat hati ia bergegas pergi mandi.
Setelah mandi, Fyan mengambil ponsel, membaca pesan-pesan yang masuk, hingga matanya menemukan nama Rianti. Ia berasumsi sekarang perempuan itu sedang libur karena hari Minggu.
Fyan: Ada acara nggak hari ini?
Semenit terkirim, Fyan ingin menarik pesan itu, tetapi Rianti sudah membacanya, bahkan sedang mengetik.
Rianti Calista: Nggak ada, Mas. Kenapa?
Fyan memainkan kedua ibu jarinya dengan ponsel masih digenggaman. Sudah telanjur basah, lebih baik berenang sekalian. Kedua jempolnya mulai mengetik balasan.
Fyan: Hari ini saya mau liat progres rumah kamu. Kalau kamu ikut liat boleh, lho.
Rianti Calista: Hari Minggu Mas masih tetep kerja?
Fyan: Harusnya kemarin, tapi saya, kan, masih di Jogja.
Rianti Calista: Kalo gitu kenapa nggak hari Senin aja?
Fyan: Saya nggak suka menunda pekerjaan, terus kalau besok kamu nggak mungkin bisa ikut, kan?
Setelah balasannya terkirim, Fyan membaca ulang. Kenapa dirinya tampak mengharapkan Rianti bisa ikut? Pakai alasan tidak suka menunda pekerjaan pula. Padahal, dia bisa sendiri, lalu hasilnya nanti bisa dikirim ke Rianti dalam bentuk video.