42 • Gentrifikasi

3.9K 445 27
                                        

Bukan Hartanto namanya kalau tidak menciptakan rencana dadakan dan besar-besaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bukan Hartanto namanya kalau tidak menciptakan rencana dadakan dan besar-besaran. Semula Fyan hanya minta izin mengajak Tiara pergi ke pantai selama satu hari, tetapi berakhir menjadi liburan keluarga besar. Ya, keluarga besar. Ada Melisa dan Candra beserta anak-anaknya, ada Ryan dan Nuri juga, bahkan Ahsan dan Inayah yang awalnya tidak ikut malah berubah pikiran. Kata Hartanto sudah jarang mereka berkumpul bersama. Alasan yang tidak bisa didebat oleh Fyan.

Di saat yang lain masih heboh bermain jetski, Fyan justru memilih duduk di batu karang. Ya, mau bagaimana, niatnya mau menenangkan pikiran karena hanya pergi berdua, malah gagal total. Meskipun tidak suka dengan perubahan mendadak, Fyan terpaksa mengubah segala perencanaan atas permintaan sang papa. Begitu tiba di pantai, Fyan mana bisa tenang jika telinganya terus mendengar celotehan Xania, menyelamatkan Xabian yang terpeleset saat berdiri di batu karang, serta Xavier yang sibuk bertanya kenapa laut terlihat berwarna biru tetapi saat ditaruh gelas jadi bening. Belum lagi dirinya harus lari-lari sambil menggendong Sekar yang masih saja terkena sindrom ayah yang tertukar dan baru berhenti ketika anak itu tidur.

Kesepian saat ini justru membuat Fyan selalu mengingat Rianti. Saat pertama kali bertemu Rianti di resepsi kakaknya, saat muncul lagi setelah dua tahun, Fyan masih biasa saja. Namun, ketika tahu Rianti seorang mualaf, ketika tahu Rianti memiliki kesamaan anime yang digemari, ketika Rianti menyikapi masalah yang menimpa orang tuanya, ketika Rianti mampu menjawab pertanyaannya terkait pernikahan, Fyan tersadar bahwa menjadi dewasa bukan soal angka. Rianti yang masih belia justru memiliki pemikiran jauh di atasnya. Semula Fyan berpikir dirinya mengagumi isi kepala Rianti saja. Akan tetapi, Fyan mulai sadar pembuatan mural, ruang lukis, juga membetulkan tali sepatu Rianti di Banjir Kanal Barat ternyata mempunyai makna tersendiri. Fyan mulai sadar bahwa semua yang dilakukan karena ingin membuat Rianti senang.

Memang butuh waktu bagi Fyan menyadari perasaannya. Dari banyak pukulan yang ia terima dari Rianti, yang terakhir ini yang paling sulit dilenyapkan. Rianti membuatnya sadar betapa berharga dirinya. Betapa selama ini selalu terkurung dalam sangkar sengsara. Fyan mengunci dirinya di neraka. Pengalaman orang harusnya dijadikan pelajaran, malah menjadi sumbu ketakutan. Menutup diri tidak akan menguraikan keresahannya.

Mengambil program magister teknik sipil menjadi langkah pertama yang Fyan ambil untuk membuka cakrawala. Peluang kerjanya jauh lebih besar daripada yang ia tekuni sekarang. Dengan memiliki banyak tabungan, setidaknya satu masalah besar terpecahkan. Fyan tinggal membenahi sisanya.

"Om, ngapain di situ?"

Fyan sontak menoleh, mendapati Tiara yang berdiri tidak jauh darinya. "Ada apa?"

"Itu Nenek nyariin. Katanya laper. Kan, Om yang katanya mau traktir kita."

Oh, benar juga. Ini sudah siang, pasti mereka kelaparan. Fyan lantas berdiri, mengakhiri aksi galaunya sebelum para keponakan serta orang tuanya tantrum.

Fyan mengajak mereka makan siang di sebuah warung. Menu makan yang dipesan tak jauh dari ikan bakar dengan lalapan serta sambal ijo dan merah. Hanya Sekar yang beda sendiri karena anak itu alergi ikan laut, sedangkan Tanaka belum MPASI. Sembari menyantap, Fyan memperhatikan semua keluarganya. Walaupun awalnya tidak terima rencana liburannya berubah, tetapi Fyan bahagia melihat Ratna dan Hartanto senang karena anak dan menantunya berkumpul semua. Toh, dirinya masih punya dana lebih sehingga bisa pergi liburan sendiri, tetapi kesempatan emas ini tidak akan datang kedua kali. Apalagi Ratna sedang sakit, siapa tahu diajak jalan-jalan bisa mengurangi risiko penyakitnya.

Menembus Partisi - [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang