22 • Koridor

2.4K 309 12
                                    

Fyan kembali mengecek ponselnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Fyan kembali mengecek ponselnya. Ryan yang katanya sedang dalam perjalanan sejak 45 menit yang lalu belum sampai juga. Harusnya tidak memakan waktu selama itu, kecuali kalau Ryan menyeberang lautan dulu. Untung saja waktunya masih banyak. Ia sudah membuat janji bertemu dokter pada pukul empat sore dan Ryan menyanggupi akan mengantarkan ke rumah sakit.

"Biar papa aja yang antar kamu, ya?" Hartanto muncul dari kamarnya dan sudah berpakaian rapi.

"Nggak usah, Pa. Ryan sebentar lagi sampe, kok."

"Mana, kok, belum sampai? Nanti kamu telat ketemu dokternya."

"Nggak telat, kok, Pa. Masih cukup waktunya. Papa mendingan temenin Mama aja. Nanti nangis kalo ditinggal sendirian."

"Mama nggak pernah nangis, ya." Ratna menyahut dari arah ruang TV.

"Semalam Mama nangis lho gara-gara tokoh utama di drama yang Mama tonton meninggal," kata Hartanto.

Karena sang papa mendukung, Fyan lantas mengomporinya. "Tuh, justru Mama itu nggak pernah kalo nggak nangis."

"Nanti malam kalian nggak dapet jatah makan. Papa tidur di luar."

Mendengar ultimatum Ratna, seketika kedua lelaki beda generasi itu memasang raut wajah panik. Malah Hartanto langsung menghampiri istrinya, memeluk sekaligus membujuknya supaya tidak marah. Fyan juga ingin melakukan hal yang sama, tetapi telinganya mendengar ocehan anak kecil dari kejauhan. Lama-lama suaranya terdengar jelas, apalagi ketika Hartanto menghampirinya. Fyan urung menghampiri Ratna.

"Api, api!" seru anak kecil yang tak lain adalah Sekar itu saat Hartanto menggendongnya. "Papa, api!"

"Udah sore, sapinya udah bobok," kata Ryan.

"Nggak, papamu bohong," sahut Hartanto, lalu mencium pipi Sekar. "Liat sapi bareng Kakek, ya! Nanti Sekar yang kasih makan."

"Nenek ikut!" Ratna berdiri dan langsung menyusul suaminya. Sekar tertawa riang saat Ratna menggendongnya.

Melihat anaknya pergi bersama kakek dan neneknya tanpa drama lebih dulu, Ryan mengembuskan napas lega. Lelaki itu malah menjatuhkan bokongnya ke sofa.

"Eh, ayo, pergi! Aku sampai kutuan nungguin kamu." Dengan satu tangannya, Fyan menarik tangan Ryan. Namun, Ryan enggan beranjak dari tempat empuk itu.

"Nunggu lima menit lagi nggak bakal telat, kan?"

"Allahu Akbar!" Fyan mendengkus. Kalau tahu begini, dari tadi pesan ojek online saja. "Oke, lima menit."

"Nah, gitu, dong." Ryan mendekatkan punggungnya pada sandaran sofa, kedua tangannya direntangkan di sana. Dari situ, Fyan bisa melihat Ryan bernapas dengan teratur. Kepala Ryan menatap langit-langit rumah yang baru diganti tiga bulan yang lalu.

Bertahun-tahun bersama membuat Fyan tahu jika Ryan sedang seperti ini berarti ada masalah. Dalam keadaan normal, tidak mungkin Ryan duduk diam dalam waktu yang lama.

Menembus Partisi - [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang