Mengetahui adiknya mendapat kekerasan verbal dari ibu mertua, juga kasus perselingkuhan yang dialami kakaknya, membuat Fyan yakin tidak menikah seumur hidup adalah keputusan yang tepat. Hanya saja, ia malah terjebak dalam perasaan baru pada seorang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tidak salah mendatangi Halimah sebelum pulang ke rumah, karena ketika di sana dan mencurahkan segala gundah yang sejak tadi dipendam, Rianti merasakan hatinya tenang. Halimah menerimanya dengan tangan terbuka. Halimah mau mendengar keluh kesahnya. Halimah yang tidak henti mengusap punggungnya. Sesuatu yang belum pernah Rianti dapatkan kala masih satu rumah bersama mamanya.
"Datang saja, Cah Ayu. Mungkin dengan melihatmu yang sekarang, hati ibumu jadi tergerak. Jangan pernah biarkan rasa benci menguasai hatimu. Kamu ingin mendapatkan buah yang manis, bukan?"
Rianti mengangguk. Mata dan pipinya basah karena air mata. Satu hal yang tidak bisa ia lakukan sampai detik ini adalah menghapus rasa benci untuk Liliana. Kepergian wanita itu di saat Antonio sekarat selalu Rianti ingat meski sudah lama terjadi. Bahkan tangis Rianti yang memohon agar tetap tinggal tidak digubris sedikit pun.
Kini kabarnya Liliana sedang kritis, Rianti masih dilema. Ingin tidak datang, ingin mengabaikan semuanya, tetapi hati kecilnya selalu berontak. Sulit untuk menolak dirinya masih ingin melihat keadaan mamanya.
"Bertahan sedikit lagi, ya, Nduk. Allah menguji kaumnya sesuai kemampuan. Umi yakin kamu kuat. Ada Umi di sini. Umi pasti bantu kamu," ucap Halimah yang masih setia mengelus punggung Rianti. Ia menerima Rianti seperti anak kandung sendiri. Rianti membutuhkan tangannya agar senantiasa kokoh dalam keyakinan. "Keputusannya ada di tangan kamu. Umi tahu kamu pasti akan berada di jalan yang kamu anggap benar."
Benar. Rianti yang memegang kendali. Apa pun yang dipilihnya nanti, itu pasti yang terbaik. Rianti selalu percaya ada kebaikan dalam setiap masalah yang dihadapinya.
Setelah hatinya cukup tenang, Rianti memutuskan untuk pulang. Ia tidak mau kepergiannya ini menjadi masalah besar untuk Antonio. Bagaimanapun, Rianti ingin sang papa masih mau menerimanya meskipun berbeda keyakinan.
Sayangnya begitu sampai rumah Rianti hanya bertemu dengan Alex. Antonio sudah tidur.
"Makasih udah jagain Papa, ya, Lex. Maaf aku sering telat pulangnya," kata Rianti.
"Nggak masalah. Santai aja pokoknya sama aku."
Rianti tersenyum tipis. Alex memang baik, padahal dirinya sering terlambat pulang. Yang harusnya bekerja sampai pukul tujuh malam, kadang bisa molor sampai dua jam.
"Progres papa kamu udah bagus, Ri. Tadi sore udah kuat jalan jauh tanpa jeda. Aku yakin dalam satu tahun ke depan, papa kamu makin sehat. Asalkan harus jaga pola makan sama jangan sampai stres."
Mendengar ucapan Alex, hati Rianti mencelus. Kesehatan papanya nomor satu, tetapi dirinya yang membuat Antonio memiliki beban pikiran. Rianti mana tega memberitahu Antonio terkait kondisi Liliana. Semoga saja kedua kakaknya tidak ada yang membocorkan langsung. Ya, meskipun tidak mungkin, tetapi tidak ada salahnya berprasangka buruk ke arah sana.
Begitu Alex pergi, Rianti beranjak ke dapur untuk mengambil air putih. Di meja terdapat bungkusan berisi makanan. Sudah dipastikan dari katering Nuri. Namun, Rianti tidak menyentuhnya. Perutnya masih kenyang setelah kemasukan mi ayam tadi sore.