"Aku udah masuk Islam, Pa. Aku mualaf sekarang."
Batu besar seakan-akan sedang menghimpit tubuh Rianti yang sejak beberapa menit itu menunduk dalam. Memang bukan waktu yang tepat, tetapi Rianti tidak punya pilihan lain. Ia siap menerima apa pun yang dilakukan papanya setelah ini. Menyembunyikan lagi sama saja seperti menanam bom ke tubuh sendiri.
"Kamu ...."
Tongkat di tangan Antonio terlepas hingga menggema di lantai. Rianti spontan mendongak dan mendapati sang papa memegangi dadanya. Tentu saja Rianti tidak tinggal diam. Ia dengan sigap memegang kedua bahu papanya.
"Papa duduk dulu." Rianti memapah Antonio sampai kursi. Namun, belum sempat duduk, Antonio justru menepis tangan anaknya.
"Kenapa kamu melakukan ini?" Antonio bertanya dengan suara berat. Dadanya mengembang dan mengempis. Sakit yang ia rasakan sekarang belum sebanding dengan menghadapi kenyataan Rianti kini sudah pindah keyakinan.
Rianti menggigit bibirnya, kembali tidak berani menatap wajah sang papa. Lantai seolah-olah menariknya, menyusut perlahan-lahan hingga kepalanya tak mampu merangkai kalimat yang cocok untuk diutarakan di hadapan Antonio.
"Jawab papa, Rianti! Kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu tega bikin papa kecewa?"
Suara Antonio seperti petir yang tiba-tiba menyentak langit cerah, hingga sanggup merontokkan dinding-dinding hati Rianti. Mulut gadis itu makin sulit mengeluarkan sepatah kata. Padahal, sejak memutuskan pindah agama, ia berusaha menyiapkan mental dan jawaban. Ia juga berencana akan mengenalkan Islam terlebih dahulu supaya jika saatnya tahu, hubungannya dengan Antonio tidak kaku.
"Apa karena laki-laki itu? Kamu pindah agama karena ingin dekat dengan anak tetangga sebelah?"
"Enggak, Pa." Rianti mengangkat kepalanya. Berkaca-kaca. "Nggak ada sangkut-pautnya dengan siapa pun. Ini murni keputusan aku sendiri sejak setahun yang lalu."
"Satu tahun kamu bilang? Selama itu kamu sembunyikan semuanya dari papa?" Antonio kian geram, menekan dadanya kuat-kuat. Sungguh sangat disayangkan, anak perempuan satu-satunya, anak yang ia nantikan keberhasilannya, justru membuatnya hancur berkeping-keping.
Titik-titik di pelupuk mata mulai terjatuh. Rianti tidak sanggup lagi untuk menahannya. "Aku nggak ada maksud buat sembunyikan ini. Aku pengen jujur sama Papa tapi tunggu waktu yang tepat."
"Alasan! Kalau Papa nggak ketemu benda-benda ini di kamar kamu, kamu nggak akan jujur sama Papa. Kamu beneran bikin papa kecewa. Papa udah didik kamu dengan baik, papa yang sekolahkan kamu sampai sejauh ini, papa yang bikin kamu jadi seperti sekarang! Kamu nggak akan bisa hidup kalau nggak ada papa!"
"Tapi aku berhak memilih apa yang aku yakini, Pa. Selama ini, Papa sama Mama selalu ngatur aku. Selama ini, aku ngerasa hidupku selalu dibayangi Papa sama Mama. Aku nggak bisa kalau selamanya begitu, Pa. Aku pengen dilibatkan ketika Papa memutuskan jalan hidup aku. Aku pengen Papa tanya perasaan aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menembus Partisi - [END]
Storie d'amoreMengetahui adiknya mendapat kekerasan verbal dari ibu mertua, juga kasus perselingkuhan yang dialami kakaknya, membuat Fyan yakin tidak menikah seumur hidup adalah keputusan yang tepat. Hanya saja, ia malah terjebak dalam perasaan baru pada seorang...