Setelah Fyan memberikan nomor pemilik rumah sewa, Rianti langsung menghubunginya, dan mereka langsung sepakat untuk ditempati malam ini juga. Rianti langsung mengemasi barang-barang miliknya dan Antonio.
"Rianti, sebenarnya papa nggak apa-apa kalau tinggal di kamar lain daripada harus pindah rumah lagi," kata Antonio.
"Nggak, Pa. Justru aku nggak tenang kalau Papa di sini. Lagian cuma sebentar, kok. Kalau kamar Papa udah bagus, kita tinggal di sini lagi."
"Kamu masih punya uang, kan, Ri? Papa nggak mau kamu kesusahan gara-gara papa."
Rianti menghela napas. Mencoba tersenyum agar papanya tidak panik. "Pokoknya kalau itu nggak usah Papa pikirin. Nanti sebelum tidur Papa doa ke Tuhan supaya rezeki kita dilancarkan."
"Seharusnya kamu tinggal sama mamamu aja. Kalau sama papa, kamu kesulitan begini."
"Pa, kalau aku tinggal sama mama, yang jagain Papa siapa? Aku nggak apa-apa. Aku seneng tinggal sama Papa."
Rianti lantas mengantarkan papanya ke kamar. Luas kamar di rumah ini cukup lebar dibanding di rumah sebelumnya. Kamar mandinya juga masih bagus, lantainya tidak licin. Rianti yakin malam ini papanya bisa beristirahat dengan nyaman.
Begitu Antonio terlelap, Rianti beranjak ke kamarnya sendiri. Membongkar kardus berisi peralatan lukisnya. Sembari memasang kanvas dan menambahkan cat di pallet, Rianti teringat mama dan papa yang kerap memarahinya saat ketahuan menggambar. Saat mulai menggores warna dasar, Rianti teringat ucapan mamanya yang meremehkan bakat melukisnya.
Terdengar embusan napas berat serta suara barang jatuh. Rianti tidak jadi melukis. Dia tidak bisa melakukan pekerjaan ini kalau kepalanya sedang penuh. Rianti kecewa. Harusnya dengan melukis bisa meluapkan perasaannya, tetapi justru sebaliknya.
Kakinya justru beranjak menuju balkon yang terhubung dengan kamar. Niatnya ingin mengosongkan pikiran, tetapi matanya justru menangkap mobil kijang cokelat sedang berjalan memasuki sebuah halaman rumah yang letaknya tepat di sebelah kanan.
Masih di balkon, Rianti mengikuti arah mobil tersebut. Ketika lampu sorotnya mati dan si pengemudi mobil muncul, mata perempuan itu berbinar.
Seandainya dia ada di lantai bawah, kemungkinan besar tidak akan terlihat karena tertutup tembok pagar. Di sini rupanya tempat yang strategis untuk mengamati laki-laki yang sejak tadi siang mengacaukan pikirannya.
"Nggak bisa, nggak bisa!" Rianti berpegangan pada besi pembatas, menggeleng kuat. Dia tidak boleh melabuhkan hati ke laki-laki sebelum cita-citanya menjadi dokter spesialis terwujud. Rianti tidak mau perasaan ini mengacaukan rencana yang sudah disusun.
Rianti memilih masuk, mengunci pintu balkon dan menutup tirainya. Tangannya meraih ponsel, barangkali ada sesuatu yang membuatnya terhibur. Namun, dia justru menemukan pesan dari laki-laki yang dikirim dua jam yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menembus Partisi - [END]
RomansaMengetahui adiknya mendapat kekerasan verbal dari ibu mertua, juga kasus perselingkuhan yang dialami kakaknya, membuat Fyan yakin tidak menikah seumur hidup adalah keputusan yang tepat. Hanya saja, ia malah terjebak dalam perasaan baru pada seorang...