Mengetahui adiknya mendapat kekerasan verbal dari ibu mertua, juga kasus perselingkuhan yang dialami kakaknya, membuat Fyan yakin tidak menikah seumur hidup adalah keputusan yang tepat. Hanya saja, ia malah terjebak dalam perasaan baru pada seorang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"MAMA, JANGAN!"
Kala itu, Rianti baru pulang sekolah terkejut melihat sang mama sedang membanting kanvas hadiah dari temannya. Tak hanya itu, kuas dan kotak berisi cat air berserakan di lantai kamarnya. Semuanya tidak ada yang selamat.
"Berhenti, Ma!" Rianti berusaha menarik tangan Liliana. Namun, usahanya tidak cukup untuk menyelamatkan barang berharganya itu. Padahal, dia sudah menyimpannya di tempat yang tidak mungkin dijangkau sang mama, tetapi kenapa masih bisa ditemukan?
Ketika barang terakhir hancur lebur, barulah Liliana beralih menatap tajam anaknya. "Mama udah bilang sama kamu, jangan beli barang-barang ini lagi! Mau jadi apa kalau kamu terus-terusan begini?"
"Tapi, aku suka, Ma. Aku masih bisa belajar, kok." Rianti membela diri meskipun suaranya tersendat akibat menangis.
"Apa buktinya kalau kamu belajar? Kamu belum bisa seperti kakak-kakak kamu, kan? Mereka bisa ranking satu karena belajar, bukan main-main kayak kamu!"
Tenggorokan Rianti tercekat. Memang selama ini Liliana selalu membandingkan dirinya dengan kedua kakaknya. Jonathan dan Julian selalu ranking satu di kelas, bahkan pernah memenangkan beberapa perlombaan akademik. Sementara Rianti? Jangankan ranking, bisa mendapatkan nilai sempurna di pelajaran IPA saja merupakan sebuah anugerah. Tidak heran bila Liliana begitu keras padanya.
"Kamu nggak boleh main sampai kamu dapat nilai 100! Mama akan pantau kamu lewat CCTV!"
Kalah. Itulah yang dirasakan Rianti setiap kali berdebat dengan mamanya. Kekuatannya melemah setiap kali Liliana membandingkan dirinya dengan Julian dan Jonathan. Entah harus dengan cara apalagi supaya Liliana mau mengerti jika Rianti tidak bisa setara dengan kedua kakaknya. Rianti tidak bisa mengejar mereka.
Rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang justru bagi Rianti adalah sebuah neraka. Rianti bagai manusia kerdil ketika Liliana membanggakan Julian dan Jonathan. Sekeras apa pun usaha untuk menarik perhatian mamanya, mau berapa kali dirinya mendapat nilai sempurna, nyatanya tidak pernah berhasil membuat Liliana luluh. Sampai akhirnya Rianti menggunakan cara lain.
"Kenapa kamu ikut lomba nggak jelas kayak gini!"
Satu malam, Liliana mendatangi kamarnya dan melempar amplop berisi sertifikat penghargaan lomba melukis yang Rianti ikuti. Tentu saja amplop itu tidak terbang sendiri. Rianti sengaja meletakkannya di ruang kerja Liliana saat pulang sekolah.
"Karena aku suka. Masalah buat Mama?"
"Kamu berani melawan mama sekarang? Kamu nggak mau dengerin mama lagi?"
"Kenapa aku harus dengerin Mama kalau selama ini Mama aja nggak pernah mau dengerin aku?"
Rahang Liliana mengeras. Salah satu tangannya melayang di udara, membuat Rianti spontan menghindar. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat Liliana akan melakukan kekerasan fisik. Tidak cukupkah selama ini mamanya menghakimi?