Chap 2. Ternyata

1.5K 39 8
                                    

Aku perlahan mendapat kembali kesadaran, aku berusaha untuk membuka mata meskipun berat.

"Mmm, panas, ma panas ma." Itulah yang pertama keluar dari mulutku.

"Eh gos, udah bangun nak, apanya yang panas? benter aku panggil dokter." Ucap mama disampingku.

Aku melihat sekeliling, aku berada di kamar yang latarnya berwarna putih, aku lihat tanganku ternyata ada infus.

"Haah, di rumah sakit kah."

Setelah beberapa saat mamaku kembali dengan dokter.

"Tolong periksa dok."

Dokter mulai memeriksaku, aku hanya diam.

"Mungkin itu cuma demam, mungkin sebentar lagi sembuh." Ucap dokter.

"Tapi ini panas sekali dok, terutama di perutku, dadaku dan juga...eee burungku."

"Iya, mungkin itu efek racunnya, inshaallah dengan obat yang sudah diberikan dua hari lagi sembuh." Lanjut dokter.

"Oke, terimakasih dok."

Dokter itu pergi meninggalkanku bersama mama berdua di kamar.

"Papa sama Tiyas dimana ma?" Tanyaku.

"Ooh, papa sama adek sedang belanja untuk persiapan sekolahnya."

"Ooh, terus ini dimana ma?"

"Ini di rumah sakit wonosobo."

"Ooh, jadi kita udah sampai wonosobo ya."

"ini tanggal berapa ma?"

"Kamu sudah pingsan seminggu, jadi minggu depan kamu masuk SMA, dan adikmu naik kelas 2 SMP."

"Ooh, terus....." Aku hendak bertanya lagi tapi mamaku memotongnya.

"Udah udah jangan banyak tanya, kamu baru saja bangun jadi harus banyak istirahat, mama mau kabarin papa." Ucap mama.

"Iya."

Sebenarnya aku masih merasa pusing, jadi aku melanjutkan untuk tidur lagi meskipun susah.

Dua hari berlalu, aku yang berniat untuk tidur sesaat ternyata pingsan selama dua hari, aku masih terus berbaring di rumah sakit dengan infus yang menancap ditanganku.

"Aduuh, aduuh." Aku terbangun dari tidurku.

"Ma, kakak udah bangun."

"Mana."

"Maa, sakit maa." Ucapku sambil memejamkan mata.

"Kamu kenapa nak, mana yang sakit?" Ucap mama.

"Perutku sakit sekali, dada sama paha juga sakit ma." Lanjutku.

Akhirnya mama memanggil dokter, setelah dokter datang ia langsung memeriksaku, namun tidak ada apapun yang menjadi penemuan dokter.

"Maafkan saya bu, saya sudah melakukan semampu saya, anak ibu saya lihat tidak ada masalah, mungkin ibu bawa ke dukun saja bu, saya khawatir kalau anak ibu kena sawan." Ucap dokter.

"Tolong jangan bercanda dok, anak saya kesakitan, harusnya bisa disembuhkan kan dok." Mama yang khawatir mulai meneteskan air mata.

"Maa, sakit maa." Aku cuma bisa merintih mengeluh, aku ingat banyak nikmat yang dulu tidak pernah aku syukuri.

"Aah." Sakit di kepalaku tiba-tiba semakin panas, aku kembali pingsan.

"Dok, tolong periksa dengan benar dok, pakai alat apapun itu, kalau mahal saya bawa BPJS kok dok."

.

Pov thor.

Setelah Agus pingsan, suasana menjadi mencekam, desti menangis, tiyas juga merasa bersalah karena memberi racun, dan juga Raji yang sejak dua hari lalu selalu ikut menemani di rumah sakit juga resah.

Karena merasa ada yang aneh dengan agus, akhirnya pihak rumah sakit pun memutuskan untuk periksa lebih dalam, karena ini bukan lagi tentang racun.

"Pihak keluarga tolong tunggu diluar."

Agus di bawa ke ruangan khusus, disana agus diperiksa dengan berbagai alat seperti rontgen, USG, endoskopi dan sebagainya.

Setelah beberapa jam Agus pun dibawa keluar.

"Bagaimana dok?"

"Untuk saat ini pasien harus ke ruang inap kembali, dan hasil periksa akan keluar nanti sore ya bu."

"Iye."

Agus pun kembali dibawa ke ruang inap.

.

Pov agus.

Aku kembali bangun karena ada suara, aku membuka mata dan melihat keluargaku sedang berbicara dengan dokter itu, aku diam pura-pura tidur karena lelah.

"Apa ibu sudah pernah periksa anak ibu sebelumnya?" Tanya dokter.

"Belum dok."

"Jadi begini, setelah kami periksa lebih jauh ternyata anak ibu itu bukan seorang laki-laki."

"Haa."

.

.

.

Bersambung....

Bukan Agus tapi AgustinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang