Chap 42. Habis Nifas

438 23 4
                                    

Beberapa hari setelah aku lahiran, rizal terlihat gelisah mulu, tiap hari rizal memperhatikan aku, apalagi ketika malam hari, dia seperti terlihat cemburu pada bayi kami.

"Apa liat-liat, mau juga? " Tanyaku.

"Emang boleh? " Tanya rizal dengan muka berbinar.

"Ya nggak lah, masa kamu mau rebut jatah anak sendiri sih."

"Yaudah, aku mau peluk aja."

"Gabisa ayah, nanti si dedek kegencet."

"Yaah." Rizal terlihat murung, aneh gitu lihatnya, dia terlihat seperti bayi lagi.

.

Seperti biasa esoknya kami sekolah, dan aji aku titipkan sama mama, tak lupa sebelum itu aku memompa ASI untuk ditinggal dirumah.

Beberapa hari setelah masuk sekolah aku menyadari sesuatu, ya, apa yang dikatakan sari ketika drama kayaknya memang beneran, karena sejak naik kelas 11 dia sudah jarang main sama kami, sepertinya sari sudah punya sirkel sendiri.

Kupikir paling tidak kami masih bisa jadi teman, ternyata salah, bahkan ketika di kantin saja sari duduknya jauh dari mejaku, jadi kami hanya bisa sebatas bertukar sapa saja, tidak sampai ngobrol seperti sebelumnya.

Kalau setelah pulang sekolah mungkin sari masih main sama ketiga kawanku, tapi tidak denganku, mungkin sari tau kalau aku sibuk mengurus anak jadi ia jadikan alasan untuk tidak bisa main lagi, aku merasa sari memang hanya menjauhiku.

Apa yang bisa kulakukan, pulang sekolah aku sudah kangen anak, kalau aji dibawa keluar masih terlalu dini.

.

Hari terus berganti, rizal tiap harinya selalu memperhatikan kalender, aku yang paham niatnya cuma pura-pura tidak tau.

Sampai tiba 40 hari sejak aku lahiran kini rizal mulai tersenyum kembali, senyumnya dia kadang membuatku merinding, apalagi lebaran sudah berlalu.

*Disini sudah lebaran ya guys ya.

'Iya ini nifasku sudah habis ya.' Pikirku.

Ketika malam hari datang, rizal menghampiri aku yang sedang menidurkan aji di kamar.

"Yang, sudah habis jatuh tempo ini, gas ya." Ucap rizal.

"Apaan, kamu ngomong apa sih."

"Itu lho, sudah lama kan kita gak main." Lanjut rizal.

"Apaan si, aku laper mau makan."

Dengan cepat aku meninggalkan rizal di kamar, namun ternyata rizal mengikutiku.

"Hey ayolah."

Aku pura-pura tidak tau saja sambil menghindari rizal, soalnya aku lelah sih, apalagi dengan ekspresi rizal sekarang, sepertinya dia bakal menghajarku sampai pagi.

Aku pergi kemana rizal ngikut, aku mempercepat jalan ternyata rizal juga ikutan, akhirnya aku seperti sedang dikejar rizal.

"Hayo mau kemana."

Rizal hampir saja menangkapku, namun dengan cepat aku lari dari hadapanya.

"Hayo, kamu gak bisa kabur sayang."

"Tolong, ada orang mau memakanku."

Aku lari-larian dari kejaran rizal, hingga mama andin pun keluar dari kamarnya karena mendengar kegaduhan, dengan cepat aku sembunyi dibalik mama andin.

"Kalian ngapain." Ucap mama andin.

"Gak papa ma."

Namun ternyata rizal masih berusaha menangkapku juga, aku juga tak mau kalah, jadi aku tetap berlindung di balik mama.

"Haha kena kamu, jagan pikir bisa berlindung ya."

"Aaa, tolong ma, aku mau dimakan."

Kami kejar-kejaran mengintari mama andin, sampai tak kami sadari ternyata mama andin sudah murka.

"Diam! " Mama andin membentak sambil menarik telinga kami cukup kuat, seketika kami berhenti kejar-kejaran.

"Kalian ya, ini sudah malam lho, kalian malah bikin keributan, ganggu orang tua mau tidur saja, gak malu ya kalian itu sudah punya anak."

Mama andin belum melepaskan tanganya dari telinga kami, jadi kami tak bisa apa-apa.

"Maaf ma."

"Oeee oeee!" Terdengar suara tangisan dari kamar kami.

"Nah tu, aji jadi bangun kan gara-gara kalian."

"Iya ma maaf."

"Sana tidur, jangan bikin ribut lagi."

Mama andin melepas telinga kami, kamai pun akhirnya pergi ke kamar dalam diam.

'Hehe untung saja aji nangis.'

Sampainya di kamar ternyata rizal masih kasih kode juga.

"Tiduuur, tidak lihat aji nangis." Ucapku.

"Awas aja ya besok, aji gak akan kubiarkan bobok siang, biar malamnya gak ganggu."

.

.

.

Bersambung....

Bukan Agus tapi AgustinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang