Setelah sehari dua hari, seminggu dua minggu aku menjalan hidupku, aku memahami pandangan orang lain padaku, tepatnya apa yang pernah dikatakan bersama Lilis.
Sebenarnya kami bukan anti sosial, hanya saja mereka yang sepertinya canggung di dekat kami, entah itu anak cowok maupun anak cewek.
Status sosial sangat mempengaruhi itu, karena kebanyakan anak yang bersekolah disini adalah orang sekitar, jadi mereka ada yang jalan kaki, ada yang naik angkot ada juga yang naik motor, cuma kami berempat saja yang naik mobil.
Berangkat dengan mobil masing-masing, pulang naik mobilnya Lilis yang nyetir sendiri, kami berempat sering kumpul dan main bersama, orang lain mah biasanya cuma ngomong di belakang.
Memang kami masih berinteraksi biasa dengan anak lain, tapi cuma sebatas sebagai anak dari kampus yang sama.
Saat ini di jam istirahat kami berkumpul di Kelas 10B, kami tidak ke kantin, cuma nitip jajan saja.
"Erlin, belikan kami soto ya."
Sudah menjadi kebiasaan setiap istirahat kami hanya ngobrol di kelas.
"Eh Lis, tas lu baru ya."
"Iya ni, kemarin gue skrol toko online nemu ini, bagus kan?" Lilis menunjukkan tas punggung kecil yang kulihat itu eee imut.
Setelah kami selesai makan soto mangkoknya itu masih diatas meja.
"Erlin, tolong kembalikan mangkok kami ya."
Entah kenapa aku ikut-ikutan apa yang mereka lakukan, aku pikir erlin adalah orang pendiam yang baik hati, jadi biarlah dia beramal.
Bukan hanya tentang itu, aku yang sebelumnya mengira kalau rizal hanya tukang gombal ternyata bukan, sepertinya dia memang menyukaiku, bukan hanya rizal tapi juga cowok lain, karena aku beberapa kali menolak mereka, hanya rizal yang masih bertahan setelah kutolak.
Sering kali rizal cari perhatian, meskipun bagiku itu mengganguku, padahal rizal orang kaya dan juga populer.
Setiap jam sekolah barakhir rizal juga selalu menawarkan tumpangan padaku, seperti yang kini sedang terjadi.
"Gus, pulang bareng aku yok, kuanter sampe rumah."
Sebenarnya aku senang ketika masih ada yang memanggilku agus, kecuali dia sih.
"Nggak, bukanya lu mau rapat osis ya." Ya, Rizal termasuk anggota oasis.
"Itu mah urusan gampang, aku bisa kok nganter kamu dulu."
"Nggak, terimakasih."
"Yaah, yaudah deh aku rapat osis aja."
Rizal pergi membawa beban di pundakku.
"Huuuh."
Sejak aku punya kawan baru aku juga sering main di rumah temenku.
Hampir tiap hari kami main bersama, sekarang dan esok kami gantian main di rumah siapa, atau kadang kami juga main keluar, entah itu ke taman, ke pegunungan atau ke mall.
"Hey, main kerumahku yok, mumpung masih siang." Ucap Afti.
"Maaf, hari ini gue gak bisa, soalnya aku ada urusan keluarga, kalian bergi saja dulu." Sebenarnya saya cuma malas saja, jadi ane membuat alasan.
"Yaah, oke dah."
Mereka pun pulang meninggalkanku yang masih sendirian di kelas.
Hari mulai sore sekolahan mulai sepi, mungkin hanya tinggal penjaga sekolah dan anak osis yang sedang rapat, jadi aku memutuskan untuk pulang.
"Eh, malah gebelet."
Aku pergi ke toilet karena kurasa ini sudah hampir di pucuk, tentunya aku pergi ke toilet perempuan, aku tidak pernah nyasar ke toilet laki-laki meskipun masih belajar membiasakan.
"Aaaah lega."
"Ceklek ceklek."
"Eh suara apa itu." Aku keluar dari bilik karena mendengar sebuah suara.
"Eh, kok pintunya gak bisa dibuka."
Kucoba berulang-ulang ternyata sama saja.
"tok tok tok."
"Hey, apa ada orang diluar, tolong buka pintunya, didalam masih ada orang ini." Ucapku yang tidak ada sautan dari luar.
"Dok dok dok." Kugedor pintu semakin keras.
"Buka pintunya, hey, siapa yang mengunci pintu."
"Dok dok dok."
"Hey!"
"Dok dok dok."
"Tolong buka pintunya."
Kucoba gedor pintu dan teriak beberapa kali namun tidak pernah ada jawaban, aku menunggu seseorang lewat ternyata percuma karena sekolah sudah sepi, jadi kugedor lagi barang kali berhasil.
"Dok dok dok."
"Tolong."
"Dok dok dok."
"Apa sih, kenapa aku sial begini, kenapa tidak ada orang lewat."
Lama ku gedor membuat tanganku mukai sakit, aku menyerah untuk gedor pintu, kulihat sekitar ternyata ada jendela jadi aku berniat lewat jendela.
Karena lelah dengan gedoran, aku mengambil ember untuk dijadikan pijakan, kunaik dan kuraih jendela, namun ternyata pijakanku sangat rapuh membuat kuterjatuh.
"Brug."
"Aduh."
"Haaaaaa sial!" Kata mutiara keluar dari mulutku.
"Hii hii hiiiii." Terdengar suara ketawa entah dari mana yang membuatku merinding.
"Buka pintunyaaa!"
"Aduh, kakiku sakit." Sepertinya kakiku terkilir.
"Apa yang harus kulakukan."
Aku mencoba berdiri, namun aku kembali terjatuh.
"Aduh."
Kakiku kurasa semakin sakit, tanpa terasa air mataku mulai keluar.
"Hiks, apa tidak ada yang menolongku gitu, hiks."
"Maaa, tolong aku maa, hii hiks, masa aku harus seharian di toilet."
Aku duduk meratapi nasib sambil menunggu pertolongan jika ada, kalau tidak ada ya menunggu sampai pagi.
"Kenapa aku nangis, apa aku memang selemah itu."
"Dok dok dok." Aku mendengar suara ketokan pintu dari luar, aku mulai melihat harapan.
"Tolong buka pintunya."
"Apa kamu terkunci disana, kenapa bisa terkunci?" Ternyata dari luar adalah suara cowok, kalau dari dalam aku tidak paham ini suara siapa.
"Bentar ya, aku ambil kunci."
Akhirnya dia pergi, dan tidak membutuhkan waktu lama untuk menunggu akhirnya dia kembali.
"Ceklek ceklek."
Pintu terbuka, memperlihatkan seorang cowok yang masuk ke toilet.
"Gustin?" Pertama kali anak ini memanggilku dengan nama cewekku.
"Eh?" Kagetku.
"Kamu kok...."
Aku mengoneksi otakku kembali.
"Bukan, aku tidak menangis, jangan lihat kemari." Ucapku sambil menyeka air mata.
.
.
.
Bersambung....
Gimana, ketebak ya alurnya, biar sih.
Vote ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Agus tapi Agustina
Romance"Ma, aku gak mau jadi cewek." itulah masa depanku. Sebelumnya namaku Agus, ketika SD aku dibuat mainan sma mamaku, aku didandani seperti anak cewek, dipakein rok dsb. ketika smp aku tau apa yang dilakukan mamaku adalah buruk, jadi aku sering marah-m...