Hari terjadwal dimulai, sebelum pentas tiga bulan yang akan datang kami belajar untuk ujian lebih dulu untuk bulan depan, dan setiap bulan aku cek kandungan dengan rutin.
"Tin, kami mau belajar bareng di rumah sari, kamu ikut gak? " Tanya kawanku.
"Ikut."
Dah jarang sih aku ngumpul di luar bareng mereka, biasanya mah terus pulang atau kalau tidak pergi ke kafe cuma untuk nonton rizal kerja, karena kata mama kafe ini bakal dikelola olehku, sedangkan rizal meneruskan usaha papa bowo.
Setelah mendapat ijin dari rizal, aku ikut kawanku ke rumah sari untuk belajar bersama.
Belajar mah seperlunya saja, karena kami yakin kalau semua bakal naik kelas, jadi disela belajar kami banyak main.
.
.
Dua bulan kemudian.
Setelah perjuangan melawan ujian itu, kami tentu bahagia karena benar saja semuanya naik kelas tanpa terkecuali.
Selama itu juga hampir setiap hari aku mengalami morning sick, atau di malam hari yang merasa gelisah karena nyidam, kalau nyidam tidak keturutan tidak jarang aku akan ngambek atau bahkan sampa menangis diluar kendali, meskipun itu membebani hariku, tapi aku tetap semangat untuk ujian kenaikan kelasku, karena aku mendapat penyemangat yang paling hebat, yaitu buah hatiku.
Hal yang belum pernah kupikir sebelumnya ketika masih laki-laki, kalau hamil itu hal biasa, cuma menjaga kandungan atau apa lah, tapi tak kusangka aku bakal sebahagia ini, setiap hari aku berinteraksi dengan janin di perutku meskipun belum ada respon dari dalam, bori-boro respon, perutku aja belum besar, cuma aku mulai agak gendutan dikit.
Tapi tenang saja, seberapa jauh aku menjadi cewek, aku sampai sekarang masih berteman dengan timbangan tidak seperti cewek lain, kenapa? karena yang paling berat bukan badanku, tapi dadaku, hahahah, pernah aku tes ternyata dadaku sendiri beratnya sudah lebih dari lima kilo.
Eghem.
.
.
Karena masalah ujian sudah beres, hari-hari mereka sekarang diisi dengan latihan drama, hampir tiap hari berangkat sekolah cuma untuk latihan karena jam pelajaran telah usai, hanya saja sebelum jam 12 sudah pulang, itu memberi gustin waktu untuk melakukan banyak hal lainya bersama keluarga kecilnya.
Oh, atau kadang habis latihan drama gustin main sama sang kawan, atau kalau tidak ya melatih sari bermain gitar, ia paham modus sari, setiap ingin berlatih gitar sari hanya mengajak gustin, kadang kalau ada kawan lain sari akan memberi alasan untuk menolak.
Seperti yang terjadi sekarang, meskipun masih sama-sama di sekolah sari mengirim pesan pada gustin.
"Tin, nanti bisa antar aku beli gitar gak, soalnya gak enak kalau minjam terus."
"Mmm, sama yang lain gak."
"Berdua aja biar bebas."
"Okelah, aku bilang dulu sama mas rizal."
Dan pulang sekolah pun datang, gustin menuju parkiran tempat sari memarkirkan motor maticnya, ia duduk di belakang dengan duduk menyamping, kemudian sari mengemudikan motornya.
"Pegangan, biar tidak jatuh."
"Mmm." Gustin merangkul perut sari, tidak ada getaran apapun terjadi ketika menempel pada sari, karena memang tubuh mereka jujur kalau mereka itu sesama wanita.
"Yang erat, nanti lepas lho." Ucap sari.
"Kalo dadamu nanti kempes gimana dong, tidak ada harapan buat melampauiku nanti, padahal punyaku makin berkembang saja, nanti aku mau sekalian beli bra juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Agus tapi Agustina
Romance"Ma, aku gak mau jadi cewek." itulah masa depanku. Sebelumnya namaku Agus, ketika SD aku dibuat mainan sma mamaku, aku didandani seperti anak cewek, dipakein rok dsb. ketika smp aku tau apa yang dilakukan mamaku adalah buruk, jadi aku sering marah-m...