BAB 42

65 3 0
                                    

Mungkin saat itu sekitar pertengahan musim semi, hangatnya mentari menerpa rerumputan hijau. Zoe yang saat itu masih mengenakan seragam medisnya, menyeka keringat. Di dahinya terikat sebuah syal dengan lambang bulan sabit. Menandakan kepanitiaan yang ia ikuti.

Hari itu adalah hari dimana sebuah kompetisi olahraga antar sekolah diadakan. Zoe ditugaskan untuk memberi pertolongan pertama bagi siapapun peserta yang tengah mengalami cidera atau semacamnya. Disebuah kursi panjang tepat dipinggir lapangan, ia duduk dengan tas merah berisi P3K.  Sudah ada dua peserta yang ia tolongi, dan dua duanya berada di cabang olahraga yang sama yaitu futsal.

"Zoe, bisakah kau kesini sebentar?"

Seorang teman bernama Ellie memanggilnya. Dengan sigap Zoe datang menghampiri.

"Bantu aku gantikan perbannya, aku harus ke area kolam renang karena ada yang butuh oksigen disana."

"Baiklah."

Setelah berpamitan dan memastikan oksigen yang dibawanya tepat, Ellie pun beranjak meninggalkan Zoe berdua dengan seorang pria yang kini memandangnya lekat.

"Kau mirip seseorang." Pria itu bergumam. Sama sekali tidak menyapanya.

Zoe menoleh. "Sorry?"

"Tidak," Pria itu menggeleng. "Bagaimana lukanya? Apa bisa sembuh cepat?"

"Tidak, lukamu cukup dalam, mungkin butuh beberapa hari sampai lukanya benar-benar tertutup sempurna." Terik mentari diatas sana membuat Zoe menatapnya. "Apa kau nyaman disini? Aku bisa membopongmu ke ruang uks agar bisa istirahat."

Nampaknya pria itu seakan meremehkan kemampuannya.

"Kau bisa membopongku sendiri?"

Mendengar itu Zoe agak sedikit kesal. "Kau ingin aku pakai tandu dan menyuruh orang-orang untuk—"

Kibasan tangannya sontak membuat Zoe memutar bola mata. "Tidak. Aku bisa sendiri."

Pria itu mengambil tas futsal berisi barang-barangnya. Ia sedikit meringis karena luka itu seakan kembali terbuka karena kakinya menapak lapangan yang keras.

Tanpa pikir panjang, tangan Zoe langsung meraih lengan beratnya. Memapah pria itu selangkah demi langkah.

"Pria itu memang cenderung keras kepala dan gengsi terhadap rasa sakit. Aku paham, mengapa banyak pria di dunia ini yang memilih bungkam untuk menyembunyikan rasa sakitya. Padahal rasa sakit tidak menjadikan seorang pria  terlihat lemah. Kalian berhak meminta bantuan, karena itulah hakikat seorang manusia. Kita tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain."

Pria itu terdiam, tatapannya sedari tadi jatuh pada wajah cantik milik wanita mungil disebelahnya. Sekali lagi, otaknya seakan mengenali wanita itu. Tapi apa yang dilihatnya sekarang, tidak seperti apa yang dilihatnya hari itu. Sesuatu terlihat berbeda, ada yang hilang dari sosok wanita itu. Dan ia kesulitan menemukan jawabannya.

"Apa kau kenal seseorang bernama Noah?" dirinya memilih bertanya.

"Noah?" Zoe membantu pria itu untuk duduk diatas ranjang uks. "Maaf, aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya."

"Oke," pria itu mengangguk. Mungkin memang ingatannya yang kabur.

"Kau ingin minum sesuatu?" tawar Zoe.

"Apa ada air mineral dingin?"

"Tunggu sebentar," Zoe mengorek tasnya. "Minumlah ini, ini punyaku. Tenang saja, aku belum meminumnya sama sekali. Barusan aku mampir sejenak ke kantin untuk beli."

"Apa tak apa aku minum?"

"Minumlah, aku akan ambil susu nanti. Panitia sudah menyiapkannya khusus untuk bagian tim medis."

Us Again [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang