Vote before reading!
Pria itu menatapnya, menatap jelas seorang pria lain yang kini berhadapan dengannya. Wajah itu terlihat kaku saat beradu tatap. Berbeda dengan seorang perempuan yang saat ini nampak mengembangkan sedikit senyuman. Nampak senang dengan kehadiran sosoknya.
"Noah," Zoe menyahut, membuat pria yang dipanggil itu tersentak. "Maaf pesanmu tadi belum sempat kubalas, tapi ada keperluan apa?"
"Sorry," itu bukan suara Noah. Melainkan Aaron yang berusaha melepas rangkulan Zoe dibahunya. Pria itu menatap keduanya dengan raut wajah yang datar. "Biarkan aku pergi sendiri. Sepertinya para dokter sedang sibuk saat ini."
"Tidak tidak," Noah menyela cepat, ditatapnya Aaron yang nampak menaikkan sebelah alis dengan respon spontannya. Pria dengan rambut cokelat luntur itu terlihat gemetar. Matanya nampak tidak fokus. Berkali kali tertangkap basah merematkan jas putih, tidak terlihat nyaman. Sedang gelisah. "Aku akan pergi. Zoe, kita bicarakan ini nanti."
Noah lalu beranjak. Meninggalkan Zoe yang nampak bingung. Terlebih lagi saat diliriknya Aaron yang terdiam dengan rahang mengeras dan mata yang terlihat memancarkan kilat emosi.
"Kalian sepertinya saling kenal," celetuk Zoe. Aaron menoleh, tatapan sedingin es nya itu sempat membuat Zoe merinding.
"Bukan urusanmu."
Kemudian, tanpa aba aba Aaron melangkah sendiri dengan susah payah. Zoe mengerjap kaget melihatnya. Karena tidak ingin dianggap tidak bertanggungjawab, Zoe segera mengulurkan lengannya lagi. Menghiraukan pikiran aneh yang bersarang di otaknya ketika secara gamblang melihat interaksi kedua pria barusan. Mungkin hanya sebuah kebetulan.
"Sabar sedikit Tuan."
Aaron menghela nafas. Ia tidak tahu mengapa dirinya justru terlihat sangat lemah di keadaan seperti ini. Tidak seharusnya ia menerima bantuan perempuan mungil disebelahnya. Dia bisa sendiri. Ia bukan lelaki seperti itu.
Perempuan itu harus tahu sebuah fakta, jika sesungguhnya Aaron tidak suka disentuh. Terlebih lagi oleh perempuan asing.
"Noah pria yang baik Tuan," setibanya di tangga paling atas. Zoe membuka suara, ditatapnya perempuan itu yang selalu kepayahan menyeimbangi langkah. Namun ia sama sekali tidak mengeluh, walaupun sempat berkali kali tersandung. "Dia seorang dokter dan pembimbing yang baik di rumah sakit ini."
"Bisakah kau diam? Aku sama sekali tidak butuh ceritamu." desis Aaron yang langsung membungkam total mulut Zoe.
Mereka berjalan di keheningan malam. Lorong rumah sakit nampak lenggang, beberapa kali Zoe sempat menyapa suster yang sekiranya ia kenal. Melemparkan senyuman terbaiknya. Aaron yang melihat itu hanya tenggelam dalam pikirannya.
Sampai akhirnya, langkah Aaron kembali terhenti. Matanya nampak melebar saat fokusnya jatuh pada pria tua didepan mereka. Yang saat ini menatap dirinya dan Zoe secara bergantian. Luar biasa terkejut.
Tentu saja. Memangnya ekspresi seperti apa yang seharusnya dilemparkan?
Pria dengan jas rapih yang terlihat mewah, rambut beruban dan sebuah kacamata yang nampak merosot itu mendekati dirinya. Matanya memincing, seperti sedang memastikan jika dirinya tidak salah lihat atau semacam itu. Dalam jarak lebih dari satu meter, bibir gemetarnya menyeletuk.
"Astaga, ternyata benar kau Tuan Aaron. Aku tidak buta. Senang bertemu lagi denganmu." Sapanya agak terbata.
Zoe nampak kikuk, terlebih lagi saat Aaron menarik kembali lengannya dan berdeham. Menyahut dengan senyum tipis. Nyaris tidak terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Us Again [M]
عاطفيةKisah seorang mahasiswi yang magang di sebuah rumah sakit ternama. Hidupnya penuh dengan teka teki yang terkadang membuatnya sulit menemukan tujuannya. Sampai suatu saat hidupnya berubah total ketika sebuah fakta membanting ingatannya kedalam memori...