Malam itu terasa hening di ruangan berukuran 5 x 4 m dengan kaca besar membentang di samping tempat tidur Aaron. Pria itu terlihat pulas tertidur sejak lima belas menit lalu, sedangkan perempuannya kini hanya duduk terdiam di sofa panjang. Menatapnya dalam jarak beberapa meter.
Saat itu Zoe tidak memikirkan apapun, setelah menangis ia hanya duduk disini tanpa melakukan apa apa lagi. Ia tidak memikirkan Summer, Xavier atau bahkan menyalahkan takdir lagi.
Pikirannya kini benar benar kosong.
Mungkin ia akan mandi sebelum Aaron bangun, perutnya kini lapar. Ia juga nanti akan mencari makanan di minimarket yang berada tepat di lantai bawah rumah sakit ini. Lalu setelah itu—
Entahlah.
Zoe benar benar tidak bisa berpikir jernih. Ia hanya mengikuti kemana kakinya ingin melangkah, dengan balutan padding tebal ia turun kelantai bawah. Menyeduh semangkuk mie dan minum coffee hangat di teras minimarket.
Natalnya ternyata masih sama, walaupun kini ada sosok Aaron tapi ia masih tetap sendirian. Saat itu pukul delapan lima belas malam, beberapa jam lagi menuju pergantian hari. Bayangan dirinya dalam balutan selimut tebal, menyantap hidangannya bersama Aaron dirumah mereka kini kandas sudah. Tidak ada movie date atau deep talk untuk menghabisi malam indah ini. Karena sekali lagi mereka kalah dengan garis takdir yang sudah Tuhan rencanakan.
Zoe menghela napas, tidak, ia tidak ingin pikirannya kembali dikacaukan dengan rasa penyesalan.
Setelah menghabiskan santap malamnya, Zoe segera beranjak dari sana. Kakinya kemudian membawa ia pergi ke sebuah gereja yang terletak tak jauh dari rumah sakit. Dari luar terdengar nyanyian rohani yang sedikit menggetarkan hati bagi para pendengarnya. Tanpa pikir panjang Zoe melangkah masuk. Suasana natal yang hangat menyambutnya dari pintu masuk. Wangi khas dari lilin yang menyala di setiap sudut ruangan sontak membuat ia bernostalgia ketika Zoe datang setiap setahun sekali bersama Summer dan kedua orang tua mereka. Mereka biasanya akan terjaga sampai pagi dan menginap disebuah hotel untuk merayakannya. Bahkan teringat jelas kenangan ketika nenek Zoe memintanya untuk mengenakan syal yang dijahit sendiri khusus sebagai kado natal pertama yang mereka dapatkan.
Kenangan kenangan itu begitu indah sampai Zoe merasakan lututnya lemas dan berakhir duduk dibarisan paling belakang.
Perempuan itu memejamkan mata, menyerap semua energi positif yang dikeluarkan orang orang disekitarnya. Lantunan ayat ayat bible seketika membuat dirinya kembali tenang. Tak disangka jika Zoe memang sedang butuh kenyamanan ini.
“Rambutmu bagus,”
Zoe menoleh setelah mendengar suara berat yang menginterupsinya. Seorang lelaki dengan setelan jas rapi terlihat duduk berjarak tiga bangku disebelah kiri. Zoe memalingkan wajahnya ke segala arah, tidak ada orang lain didekat mereka selain dirinya sendiri dan orang itu.
“Kau terlihat memotongnya dengan asal.”
Ah benar ternyata.
“Kau benar,” Zoe terkekeh kecil. “Aku memendekkannya.”
Pria dengan rambut coma hair dan senyumnya yang khas itu kini menoleh menatapnya. “Aku baru pertama kali melihatmu disini, kau bukan jemaat dari gereja ini?”
“Bukan bukan,” Zoe menggeleng. “Aku hanya kebetulan mampir, dan akan pergi sebentar lagi.”
“Aku tidak bermaksud mengusir, tenang saja, gunakan waktumu selama mungkin. Ini malam natal, gereja akan terus dibuka sampai pagi datang.”
Zoe hanya mengangguk sebagai jawaban. Keduanya kembali hening. Seorang anak perempuan berkepang lucu terlihat maju dengan jubah merahnya untuk memimpin teman temannya bernyanyi. Melihat itu Zoe jadi teringat Xavier, mungkin anak anak didepan sana kini seumuran Xavier kala itu. Mereka terlihat innocent dan excited, persis seperti Xavier saat pertama kali merayakan natal.
![](https://img.wattpad.com/cover/242758028-288-k670459.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Us Again [M]
RomanceKisah seorang mahasiswi yang magang di sebuah rumah sakit ternama. Hidupnya penuh dengan teka teki yang terkadang membuatnya sulit menemukan tujuannya. Sampai suatu saat hidupnya berubah total ketika sebuah fakta membanting ingatannya kedalam memori...