Bagian 17

749 73 11
                                    

Hai anakku yang tak lagi bisa ku harapkan...
Tak ada sapaan hangat untukmu dan ku harap kau tak lagi menyapaku.

Sepertinya kau hidup dengan senang ya disana, hingga tak mau lagi mengabari ku. Aku merasa seperti hidup di jaman kuno sampai harus menitip surat pada orang yang tak ku sukai agar bisa mengabarimu. Apa kau layak disebut sebagai anak?

Mulai saat ini, detik ini, ketika kau membaca surat ini aku beritahukan bahwa aku tak akan membantumu lagi. Kuliah disana adalah keinginanmu, jadi usahakan sendiri dan jangan pernah meminta apa pun dariku lagi.

Satu lagi, sepertinya aku sudah benar-benar tak sanggup hidup dengan lelaki tua tak berguna ini, jangan terkejut saat kau pulang nanti aku dan dia sudah tak bersama lagi.

Aku tak butuh balasanmu, cukup sampai disini dan jangan menghubungiku lagi.


Dari wanita yang pernah kau panggil ibu....














Hidup memang penuh misteri, kita tak pernah tau apa yang akan terjadi di masa depan. Entah itu tahun depan, minggu depan atau bahkan detik selanjutnya tidak ada yang bisa menerka apa yang akan terjadi.

Di ruangan yang sudah senggang, ketika kebahagiaannya yang mulai hilang, Sing merasa hidupnya berubah menjadi malang.

Rentenan tulisan pada surat yang dikirim ibunya beberapa waktu yang lalu masih terngiang jelas dalam benaknya. Ia dihadapkan dengan jalan hidup yang begitu sulit. Terkadang sempat terbesit dalam benaknya, mengapa Tuhan begitu tak adil padanya?

Sing melepas apron pada tubuhnya dan bergegas keluar kafe yang menjadi tempat baru baginya untuk melanjutkan hidup. Setelah mengunci pintu dan melangkahkan kaki, Sing menghirup udara segar yang menemaninya setiap malam. Sudah sekitar sebulan semenjak ia berkerja paruh waktu disini, sudah selama itu pula ia menjalani alur hidupnya yang tak pasti.

Sing masih berjalan santai sampai mana ia bisa bertahan. Di trotoar jalan yang ia pijaki, di sekeliling bangunan yang menjulang tinggi, kendaran yang melaju dengan penuh gengsi, Sing masih berharap, andai ia bisa merasakan kemewahan itu sedikit saja di hidupnya ini.

Kilasan kenangannya perlahan menghampiri lagi. Sing paham betul, ini sering terjadi jika ia sedang frustasi.

Sebuah genggaman erat menghangatkan jemarinya yang dingin. Saat ia menoleh, lelaki dengan wajah mungil itu menatapnya dengan khawatir.

Di bawah sinar rembulan yang menjadi saksi, Sing memperhatikan setiap detail wajahnya yang sangat ia kagumi. Bibir tipis yang mempesona dan dagu terbelah yang bisa menghanyutkannya. Kedua mata yang indah dengan bulu matanya yang lentik, Sing sangat ingin menghitung jumlahnya seperti rumus matematika sehingga ia bisa mengingat setiap detailnya. Entah sejak kapan Sing mulai merasakan debaran pada jantungnya setiap berada di dekatnya.

"Kenapa kau tidak naik bus? Aku lelah mencari mu tau..." Bibirnya mengerucut manja.

"Tadinya aku sudah naik bus dan mau pulang saat melihat kafenya sudah tutup. Kau juga tak ada di bus stop dekat sana, tapi untung saja aku lihat dari jendela bus, kau sedang berjalan sendirian, jadi aku buru-buru turun deh." Rentetan kalimatnya meluncur begitu saja dengan rautnya yang mulai ceria.

"Aku sudah mencocokkan waktu agar bisa pulang bersamamu, tapi kau tak ada."

"Memangnya kau dari mana?"

"Aku baru selesai mengerjakan proyek bersama Gyumin, dan langsung menghampiri mu kemari."

Perlahan Sing menghadapkan tubuhnya sepenuhnya pada Zayyan. Pandangannya sedikit menunduk dan kedua tangannya memegang bahu Zayyan.

One For Two | ZaLeSingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang