Yuhu, Haloha, Kawan semua ...
Setelah beberapa waktu hening, mulai update lagi ya,
Jangan lupa vote dan komennya, ya!
Semoga kalian suka,
Enjoy💕***
Kata siapa, air mata membuatku terlihat lemah? Menurutku, aku tumbuh makin kuat kembali saat berusaha menerima kelemahan itu sendiri. Justru jika dia tak keluar lagi, repot sekali aku menangani hati dan pikiran yang beradu, bukankah begitu?
***
Bodoh! Menangis dan berteriak adalah jalan cepat menuju petaka lebih besar untukku. Ibu tak pernah menyukai kelemahan. Dia tumbuh dengan jalan kasar dan berbatu yang menjadikannya sosok ibuku. Membesarkanku seorang diri bukan masalah yang besar baginya, tetapi hidup tanpa pasangan membuatnya harus menjalankan dua peran di hari kemarin. Lihat, dimana aku sekarang berada, makin kacau.
Ibu tak merayu lagi, dia membuka pintu lalu membawaku pergi ke tempat yang ramai ini. Salah satu sahabat ibu adalah seorang dokter yang cukup terkenal di kota kelahiranku dan yah, benar. Aku tidak sakit dan sedang menunggu namaku dipanggil untuk menemui dokter tersebut. Ah, iya. Dokter ini tadi membuka praktik di rumah, ketimbang bersusah payah menemuinya lewat janji biasa. Ibu selalu memilih caranya sendiri, keren 'kan?
"Anak Alana," oke panggilan buatku terdengar, ibu segera menggandeng tanganku dan melenggang masuk ke dalam.
"Hei, Mbakyu , apa kabar?" Ramah banget si dokter nih, full senyum.
"Baik, maaf loh mau ngerepotin," ajib, sejak kapan suara ibu merdu begini.
Aku duduk di kursi depan meja kerja dokter dan memandangi dua sahabat sedang berinteraksi. Masih sedikit kaku dan tak paham maksudnya. Apa sebenarnya yang diinginkan ibu?
"Oalah, analis kesehatan? Bagus loh itu, Lana."
Tak lama berselang setelah ibu bercerita maksud dan tujuannya. Dokter Sinta menjadi sekutu terkuat melancarkan aksi merayunya. Dia memamerkan banyak sekali hal menyilaukan dari tujuan ibu bersikeras menyekolahkanku. Bahkan, beliau berjanji untuk menampungku bekerja dengannya setelah lulus nanti. Heh, siapa yang tak mau bekerja bersama dokter paling terkenal seantero jagatnya kota kecil secumil ini. Tentu saja, aku mengangguk antusias. Tujuanku sekarang cuma satu, menjadi salah satu penunjang diagnosa di klinik dokter Sinta. Yuhu, asik. Wajah sumringah ibu tak bisa ditutupi begitupun dengan anak gadisnya, aku.
***
Oh, tidak! Malapetaka dari semua silau kemarin mengantarku pada hari ini. Saat semua kawan sedang sibuk bersolek untuk menyambut hari sekali seumur hidup. Ah, terlalu lebay! Biar, biarkan saja orang meledek saat ini aku ingin sekali melompat keluar dari jendela mobil yang sedang melaju. Ya, aku harus merelakan hari wisuda, demi mengikuti tes kesehatan di sekolah tujuanku. Bolehkah aku berteriak sekarang? Ah, tentu tidak. Aku hanya menunduk lesu dan mengumpat dalam hati. Siapa yang menyiapkan hari sial tanpa tanda di kalender? Kenapa? Kenapa harus tepat sekali hari ini?!
Aku baru tahu, jika perbedaan provinsi ini menyebabkan pergeseran jadwal penerimaan siswa baru. Oleh karena itu, pendaftaran di kota tujuan memang digelar lebih dulu. Sekarang, aku bahkan tak memiliki waktu lagi untuk berpamitan dan melakukan perpisahan dengan sahabatku. Sebal, tentu saja! Namun, percuma, nasi telah lebur menjadi bubur dan aku menjadi lapar sekarang karena memikirkan si bubur yang tak sempat ku cicip saat sarapan tadi. Huh!
"Mbak, Mbak Lana, udah sampai, heh!" suara Ibu terdengar dan badanku bergoyang.
Apa aku masih hidup? Ah, tidak, sepertinya aku berubah menjadi rumput yang tertiup angin barusan? Eh, bukan!
"Bu, ngebanguninnya yang santai napa? Ampe kebalik nanti otak Lana!" gerutuku sambil mengerjap-kerjapkan mata memandang gedung putih dengan susunan bangunan yang cukup tinggi dan megah berada di depanku.
Wah, fantastis! Konon katanya, siswa di daerah ini berlomba-lomba untuk dapat masuk menjadi salah satu penghuni gedung megah ini. Super sekali, aku lolos tanpa tes tertulis dan hanya menunggu panggilan untuk melakukan tes kesehatan hari ini. Kuedarkan pandangan saat memasuki area gedung sekolahnya. Ramai sekali, banyak siswa-siswi yang telah memenuhi ruangan tunggu. Pengap, woy, berebut oksigen rasanya. Segerombol siswa memakai kemeja putih dan celana panjang berwarna biru langit membelah keramaian tadi. Wow, terdapat label bertuliskan nama sekolah ini.
Unik, seragam mereka tidak berwarna putih abu-abu seperti seragam SMA pada umumnya. Mungkin saja karena sekolah ini adalah milik swasta jadi ya, suka-suka merekalah. Selebihnya, mereka mempunyai segala fasilitas seperti sekolah pada umumnya. Kembali ke si gerombolan kakak tadi, eh. Ada satu tatapan tertangkap olehku, waduh. Salah satu dari mereka tersandung, barangkali karena terlalu ramai dan sedikit tak fokus, ya? Terserah saja, aku tak begitu peduli.
Seragamku pun paling mencolok antara siswa yang lain. Sekolahku merupakan satu-satunya sekolah negeri di kotaku yang menerapkan seragam kulot alias celana berpotongan lebar dengan panjang sebatas lutut. Jadi, saat semua siswi baru disana mengenakan rok dan kesulitan duduk. Aku bisa duduk bersila dengan nyaman, ancamanku hanya seekor semut penyusup. Sudahlah, aku sedang memasang telinga menanti giliran tiba.
Akhirnya, giliranku tiba. Aku masuk ke ruangan ber-AC tersebut dan berbincang sejenak dengan entah guru atau petugas yang berada di dalam. Sudah sangat penasaran aku pun bertanya.
"Kok pake acara tes kesehatan segala sih, Bu? Memang mau ngelamar kerja?" tanyaku spontan.
"Karena instansi kami bergerak di bidang kesehatan, jadi memang begitu aturannya, untuk mencegah penularan penyakit juga antar siswa. Kalian 'kan bakal jadi penolong nanti, harus dipastikan kesehatannya dong. Oke?" Ibu gemoy ini menjelaskan dengan nada riang.
Aku hanya ber-oh panjang. Serangkaian tes seperti tinggi badan, berat badan, lalu buta warna dan lainnya berhasil ku lewati dengan mudah. Ku pikir, itu telah usai. Aku hendak mengambil tas kembali, tetapi sebuah tangan mencekal lenganku dan memaksa untuk duduk kembali.
"Tunggu, ambil darah dulu dong, rileks ya?" Tadi, apa katanya tadi, aku nggak salah dengar nih, Bu.
"Hah?! D-darah?" Mataku sudah hampir menggelinding saat ini
"Iya, ambil darah dulu sebentar, atas nama Alana Widjaja, ya?" Bu, mana bisa santai dari mana, ini udah keringetan ngucur ya Tuhan.
Aku menganggukkan kepala saat si Ibu yang tak ku tahu namanya ini menggulirkan dua tabung dengan tutup berwarna biru dan juga ungu berlabel namaku. Seorang laki-laki memakai seragam sekolah tadi berada di sampingnya dengan menggunakan masker memberikan sebuah benda pada si Ibu gemoy tadi. Lalu dililitkannya pada lenganku dengan kencang dan memintaku menuruti arahannya. Aku harus memalingkan wajah, harus atau aku akan ... sangat gugup. Hish, ini juga sudah terlanjur gugup, bego! Lengan bagian dalamku terasa dingin dan aku merasakan sentuhan berulang kali.
"Aduh, kecil banget ya, coba dipompa dulu ya, Alana." Dikira ban motor pake acara dipompa ini loh woy.
Lenganku ditekuk dan diluruskan berulang kali. Oh, begini cara memompa lengan ternyata. Apa sih yang dicari?
***
Alana udah penasaran banget sepertinya, ya? Apa coba yang dicari sama Ibu Gemoy tadi?
Lanjut ke bab selanjutnya ya, Lana. Kita juga mau seru-seruan dulu sama pembaca setia kita dong.
Jangan lupa, komen dan vote-nya ya teman semua!
Semoga masih betah lanjut nemenin keseruan hari Alana, ya.
See you next partBoleh banget follow instagram & tiktok author : @nichi.raitaa
Silahkan dm untuk follbacknya ya, terima kasih, Darling💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
Teen FictionBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...