Bab 20

11 2 0
                                    

Hai, semoga kalian sehat selalu yaaaa
Selamat membaca
Enjoy💕

***
Rasanya pagi ini mataku berlubang, ah, salah. Maksudnya memiliki lingkar hitam di sekelilingnya. Ya, benar, betul sekali. Aku tak bisa tidur sekalipun mata ini sedang terpejam. Akan tetapi, otak terus berjalan. Pikiran tetap saja melayang-layang tak mau diam bahkan, hati juga ikut berlarian mencari pembenaran dari kalimat yang terdengar oleh si telinga. Debaran kali ini berbeda, aneh, tetapi aku mengalaminya juga pada akhirnya. Biasanya aku hanya mendengar Tika yang terus saja membicarakan detak jantungnya yang gaduh jika berpapasan dengan Abim.

Eh, tunggu dulu. Bicara tentang Abim, helmnya telah menjadi saksi bisu yang benar-benar bisu malam tadi. Dia tak ada kabar sama sekali. Mengharap apa memangnya diriku? Lucu sekali kalau kukatakan merindukan tingkah kakunya. Walaupun demikian dia tetap berjasa besar kali ini. Berkat dia aku tak merasa kesepian, yah, meski banyak kejadian menyebalkan juga sih saat kami bersama.

“Eh, Kak Dewa … udah lama?”

“Baru mau diketuk, sarapan bareng, yuk!”

Sepintas kulihat tak ada kecanggungan dari kak Dewa. Seolah tak pernah terjadi apapun semalam diantara kami. Berusaha sebisa mungkin untuk tak nampak terlalu grogi bin panas dingin juga diriku. Gagal! Otak tak mau bekerja sama, telapak tangan kini sudah basah dan mungkin saja keringat telah menghiasi dahi pula. Kak Dewa sudah berjalan lebih dulu dan duduk di motor. Dia sedang menunggu langkahku sampai di tempatnya.

“Lana, kamu nggak lagi sakit, ‘kan?” Kak Dewa menyentuh dahiku, tangannya besar dan hangat.

“Eh, kok dingin banget, kamu kenapa? Mana yang sakit?” Suaranya lagi dengan ekspresi khawatir.

“E-enggak kok, K-kak … I’m good,” sahutku lalu membonceng duduk setenang mungkin di jok belakang sambil menjaga jarak.

“Majuan dikit, nanti kamu jatoh loh.” Kak Dewa menarik tanganku sehingga terpaksa aku menurutinya.

Benar, takut ngejengkang ke belakang juga sih. Akhirnya tubuh kami hampir melekat saking kuatnya tarikan yang diberikan kak Dewa tadi. Jangan sampai terdengar saja kegaduhan di dada kiriku. Setelah itu kak Dewa melajukan motornya ke tempat biasa dia membeli sarapan sepertinya. Tak jauh, tetapi kami melewati beberapa gang dan jembatan lalu masuk ke dalam sebuah gang buntu hingga kak Dewa memarkirkan motornya.

Tempat apa lagi aja ini? Jalannya sempit, terkesan sepi di dalam sana. Meski demikian, rumah yang berjajar cukup padat. Sedikit terkesiap kala tangan besar kak Dewa tanpa permisi menggenggam tanganku. Tanpa sadar, genggaman tadi terbalas olehku yang terkejut. Spontan, reflek, sungguhan! Namun, seseorang menyunggingkan senyuman. Enggan ku lepas akhirnya.

Oh, ada warung makan kecil disana. Terdapat pula seorang ibu-ibu mengenakan celemek dan sedang mengulek sambal. Wah, hidden gem!
Ada berbagai macam lauk-pauk dan sayur yang tersaji, sepertinya sangat menggugah selera. Sambal yang baru dibuat oleh si ibu juga terlihat menggiurkan. Tolong! Kendalikan dirimu Lana!

Yak, happ, terlambat. Tangan usil ini bergerak lebih cepat ketimbang otak yang sedang berpikir. Aku membungkus dua nasi dengan berbagai macam lauk hingga bungkusnya tak dapat tertutup oleh si ibu. Tak lupa sambal super banyak juga kupesan.

“Waduh, waduh, makannya buanyak tapi badannya tetap langsing. Saya iri mbak.”

“Ini justru kayaknya cacingan sih, Buk, apa malah isinya udah jadi naga. Makanya, makanan abis dimakan dia, nggak kebagian saya.”

“Si mbak pagi-pagi udah ngelawak.”

“Lagian, Bu, saya memang masa pertumbuhan. Maklum.”

“Nah, saya juga kok mbak, tumbuh ke samping.”

Y-ya bener sih, Buk, sahut hatiku.

Terlihat sangat akrab, seperti ibu sendiri. Hahaha, bohong banget. Ibuku sangat tegas dan tak suka basa-basi, meski begitu aku tahu dia sangat menyayangi anaknya. Sesekali kami juga bercanda meski tak sampai sesantai ini juga. Entah mengapa.

“Ibu malah ikut ngelawak.” Kak Dewa ikut nimbrung akhirnya.

“Aduh, keluar juga suaranya, Mas Dewa ini.” Si ibu menggerakkan alisnya.

Bagian yang mencengangkan adalah … semua makanan barusan sudah dibayar oleh kak Dewa. Sejak kapan?

“K-kak?”

“Aman ... yuk mari, Bu.” Kak Dewa lekas meraih tanganku dan menuntun untuk menuruti langkahnya.

“Gandeng terus, Mas.” Si ibu memekik.

“Takut keselip, soalnya kecil.” Dikira aku uang seribuan kertas apa gimana?

Selepas sarapan pagi ini, aku berpamitan hendak merapikan kamar dan berbenah. Tak lupa menggiling, yak, pakaian di mesin cuci. Besok sudah harus bersiap ke sekolah juga. Kak Dewa sama saja, dia juga harus berbenah.

***

Tak terasa, sudah petang saja. Aku sedang merebahkan tubuh di kasur sambil menatap gamang langit-langit kamar. Sibuk berselancar di whatsapp, banyak yang mengeluh tentang hari besok. Sebaliknya, akhirnya hidupku tak lagi sunyi. Setelah sekian hari sendiri—eh, tidak juga jika dibilang sendirian.

Pintu kamar terbuka dan Rita muncul dibaliknya. Segera tubuh kami melekat melepas rindu. Seperti biasa, gadis ayu yang sekamar denganku ini membawa oleh-oleh dari kampung halamannya.

“Gimana naseb sendirian di kos?” Rita tak sabar mengorek cerita.

Baru saja hendak ditanggapi, ketika layar ponsel di sebelah menyala dengan suara nyaring yang tak tertinggal. Lalu satu kontak tertera di sana sedang melayangkan panggilan video. Sengaja kuabaikan dan memilih bergegas bersiap sebelum membuatnya menunggu lebih lama.

“Hah? Mampus, aku kelupaan. Rit, entar ya ceritanya. Aku buru-buru,” ucapku sambil mengganti pakaian, “bye-bye,” imbuhku sambil berlalu pergi.

Tak lupa menyambar helm yang berada di sudut atas lemari pakaian. Segera keluar dari goa nyaman saat ini menemui kak Dewa di depan.

“Kak, maaf—”

“Lupa? Ah, aku baru tau nggak sepenting itu emang.”

“Kak, udah pernah di gigit cewek cantik belom?”

“Belom, sini gigit. Cepet.” Sialan, kok malah ditantangin.

“Oke, bentar. Hayuk ke Ngarsopuro dulu, cari cewek cantiknya.”

“Loh, kamu?”

“Sembarangan, aku super cantik tau! Yuk, ngeng!” Aku sudah duduk di jok belakang sambil menunjuk jalan di depan.

Motor tetap bergeming, tak ada sahutan. Aku sedang sibuk memasang kaitan kunci helm hingga menyadari seseorang sedang menatap dengan memamerkan barisan giginya yang putih rapi.

“Syukurlah, Alana kembali. Oke yuk, ngeng!” Kak Dewa, jangan bikin aku jadi kanebo lagi ya, plis! Tangannya bergerak cepat membantu mengancing helm tadi.

Yah, apa boleh buat. Hari ini memang aku sedikit menghindari kontak mata dengannya serta menjaga jarak akibat ulah jantung sial yang tak mau tenang sekejap saja. Siang tadi pun begitu tenang, tak kusahut semua pesan atau ajakannya. Namun, berbeda malam ini karena sudah terlanjur mengangguk semalam tadi. Tak enak juga jika terus menolak.

Motor melaju juga akhirnya membelah keramaian malam kota Solo yang cukup padat. Gemerlap lampu terpampang di sepanjang jalan yang kami lalui. Cekikian bersama menggoda bayi kecil yang baru memiliki dua gigi di depan saat lampu merah. Tawa riangku tiba-tiba tertahan bersama dengan tarikan napas ketika tangan kak Dewa bersandar di paha kiriku santai. Sambil menunggu lampu hijau menyala, tubuh tegap di depan juga ikut memangkas jarak kami.

Oksigen mana oksigen, sesek woy! Hargh! sibuknya hati ini berteriak.

***

Tungguin besok ya, Lana.
Oksigennya baru oteweh 🫣🤐

Jangan lupa vote dan komen ya mantemin 🥰

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang