POV ABIMANTARA
Sengaja, tentu saja. Aku tak ingin repot menolak ataupun menerima. Toh, hasilnya tidak berpengaruh pada bagian prestasi. Sekolah hanya untuk melanjutkan pengabdian pada ibu yang sudah susah-payah membesarkan aku sendirian. Setidaknya, ada ilmu yang harus bisa diterapkan dalam kehidupan kelak untuk membantunya. Ketua kelas atau bukan, tak masalah.
Lagipula, bukankah keuntungan menjadi seorang ketua adalah memerintah? Ya, memimpin juga sih memang. Namun, aku punya kesibukan dan prioritas sendiri. Jadi, maafkan sudah menelantarkan tanggung jawab kelas padamu, Alana.
Sebulan sudah pria asing itu berada di rumah dan aku masih saja tak bisa mempercayainya. Setelah sekian belas tahun kami tak berjumpa, tiba-tiba seolah bangkit dari antah-berantah. Hadir di tengah kami dan berlaku seperti seorang bapak. Maaf, tak bisa. Aku sudah terbiasa menangani semua hal bersama ibu sendiri. Rasanya hadirmu tak begitu diperlukan. Sial!
Di saat semua orang mendambakan keluarganya utuh, tetapi tidak bagiku. Kini, rumah terasa pengap. Akan tetapi, tak bisa juga ku tinggalkan ibu sendirian bersamanya. Meski berulang kali dikatakan olehnya.
“Abim, salim dulu sama bapak.”
“Mas Abim, ijin sama bapak dulu sana kalo mau keluar.”
“Abim, bapak dimana? Kok nggak keliatan, susul coba takut kesasar.”
Sepertinya mudah bagi ibu menerimanya kembali, tetapi bagaimana denganku? Aku bahkan, tak pernah mengenalnya. Bagaimana aku harus menanganinya? Entah bagaimana cara berhadapan dengan pria yang rupanya persis sepertiku ini?
“Ambil darah berpasangan, ya?” Kalimat Bu Sri menyadarkan lamunanku.
Segera kepalaku memutar mencari sosok Alana, yang benar saja. Terlihat sudah dari kejauhan pun, bibirnya memucat. Masih berharap ada seseorang yang menyadarinya, bukankah semua sudah mengetahui rahasia umum seorang Alana yang takut jarum? Jangan bilang mereka telah melupakannya!
***
POV ALANA
“Harus banget ditusuk, ya?” tanyaku bergetar.
“Tenang, Lan, ini cuma lancet kecil kok.” Dian meyakinkanku.
Namun, entah seperti apapun bentuknya. Mau kecil atau besar itu adalah sebuah jarum di mataku. Tak bisa, pandanganku mulai mengabur dan berkunang-kunang. Sebentar, rasanya ini bukan karena takut, tetapi ….
***
POV ABIMANTARA
BRUK! Suara jatuh terdengar.
“Astaga, Alana, bangun hei, Lana! Tolong!” Ruangan yang harusnya tenang itu mendadak gaduh.
Aku segera menyeruak di antara kerumunan teman sekelas. Tubuh Alana tergelak di lantai, ku ambil ancang-ancang memapahnya.
“Eh, panas,” gumamku pelan.
Ku rasa gadis ini tak sadarkan diri bukan karena takut, tetapi suhu tubuhnya saat ini sangat tinggi. Apa dia sedang sakit? Tak enak badan sebelumnya? Baru saja kepalaku mendongak mencari guru yang bertanggung jawab pada kelas ini. Ketika suara pintu yang menyekat dua ruang praktikum kami terbuka dan seseorang segera menyambar tubuh Alana.
“Alana.” Kak Dewa menepuk pelan pipi Alana.
“Demam? Alana, hei, Lana. Akh, sial!” Suaranya terdengar frustasi, lalu dipapahnya pergi tubuh Alana tanpa mengacuhkanku yang berada di sampingnya.
Untuk apa? Rasanya seperti seonggok daging tak berguna, aku lupa. Hanya pemeran tambahan di drama kehidupan.
Syukurlah, sudah ada yang mengurusnya. Aku tak perlu khawatir dan kerepotan juga karena kelas juga akan terus berlanjut setelah ini. Kami mengikuti praktikum yang tertunda akibat kegaduhan tadi. Setelahnya, tak kulihat sosok Alana. Yah, mungkin sedang berada di klinik yang berada di sekolah kami. Entahlah, bukan urusanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
Teen FictionBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...