POV ABIMANTARA
Akhirnya, aku menyerahkan si coklat dengan surat dadakan untuk Alana hari ini. Yah, imbalan dia sudah baik mencari alasan. Padahal percuma juga, aku lupa hari ini ada jadwal yang dipindah lalu malah buku laporan tak terbawa. Sejenak banyak hal ingin kutulis dalam kertas kecil tadi, tapi lagi-lagi goresan yang tercantum hanya sebaris. Semoga saja dia mengerti makna kalimat singkat. Dia memang ... istimewa, untukku terutama.
“Haris, Ris.”
Tentu saja umpatan yang kudapat darinya. Benar saja, tasnya terlihat hamil sungguhan. Isinya hanya coklat, lebih banyak bagianku ketimbang miliknya. Serius ini?
“Jadi selama ini nggak nyadar? Banyak yang kena pelet!” Haris memukul kepalaku.
“Sembarangan!”
“Abim.” Suara ini bukannya?
Mendadak Haris hening. Perlahan ku putar kepala ke arah sumber suara tadi. Netra kami berjumpa, beberapa saat terkunci tanpa suara.
“Namamu, Abim, ‘kan?”
“Iya, Kak, kenapa ya?” Kak Dewa semakin mendekati kami, parkiran sudah hampir kosong sore ini.
Semua penduduk gedung sudah kembali ke tempat tinggal masing-masing. Hanya tersisa sedikit kendaraan dan beberapa staf sekolah serta murid bandel seperti kami.
“Boleh bicara sebentar?”
“Tentu.” Aku mulai mengikuti langkahnya menuju sudut di dekat ruang lantai satu paling belakang. Tanpa kecurigaan sama sekali.
Sampai disana, aku masih sempat melihat Haris yang menunggu diatas motor. Sedang mengawasi kami dari kejauhan. Antara kepo dan waspada sepertinya. Akupun demikian. Sudah hampir dua tahun berada disini, tak pernah ada masalah dengan siapapun. Apalagi dengan orang satu ini, aku tak ingat ada hal serius yang perlu kami bicarakan. Kecuali, tentang Alana atau temannya.
“Bisa nggak, jaga jarak dari Lana?” Nah, ‘kan benar saja.
“Maksudnya gimana, Kak?”
“Ck, kita sama-sama cowok, Bim. Aku tau banget dari cara kamu ngeliat Lana aja.”
“Hah? Sorry, emang kenapa ya, Kak?”
“Jujur langsung aja ya, aku nggak suka kamu ada diantara kami. Sampai sini ngerti gak? Berhenti cari perhatian ke dia, paham?”
Tunggu sebentar, aku bukannya mencari perhatian sungguh.
“Kak, kayaknya ada salah paham deh.”
“Kalo nggak ngerti, mau enyah dari sini?” Tatapan matanya tak ramah, seolah menantang.
“Loh, emang siapa kakak bisa ngomong gitu? Lagian, pacar Lana juga bukan ‘kan?” Aku tak bermaksud makin menyulutnya, tapi itu benar.
Hanya membeberkan fakta saja, agar dia tak makin kelewatan. Mentang-mentang sudah kakak kelas, seenak jidat bicara seperti tadi. Apa dipikir hanya dia yang berkepentingan?
“Denger gak, jauhin Lana, titik! Bukan urusan kamu siapa aku!”
“Ck, sesama cowok katanya. Saran aja sih ya, Kak. Manusia cuma punya satu hati, kecuali ada donor nambah itu di perut.”
Satu pukulan mendarat tepat di rahang kiri. Tidak siap menerima, tubuhku oleng dan terjatuh cukup keras. Sialan, kutu buku bisa brutal juga. Pantas saja memilih sudut paling belakang sekolah. Lekas aku berdiri masih berusaha setenang mungkin.
“Maksudmu apaan, heh?” Serius ini Dewangga? Sedang mencengkram kerah kemejaku dengan tatapan merah begini?
“Yang kemarin gimana? Kakak mau pacarin dua-duanya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
أدب المراهقينBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...