Bab 4

27 5 2
                                    

Heyo, apa kabar kalian semua?

Semoga kalian dalam keadaan sehat ya, kalo ada yang sedang tidak enak badan.

Semoga lekas pulih juga ya, jangan lupa istirahatnya, okey!

Lanjutin lagi baca kisah Alana, yuk!

Jangan lupa vote dan komennya, ya Honey!

Enjoy💜

***

Bukan bermaksud abai, tetapi aku sedang melindungi diri dari luka yang mungkin tak bisa ku tangani seorang diri nanti. Ketika kamu pergi. Sampai sini, paham?!

***

Aku jelas mendengar nama Alana diulang, tetapi bagian akhir itu bukan milikku. Si bungsu pemiliknya, Kamaya Putri. Duh, tapi kasihan kalau dibiarkan lebih lama.

"Ya, Kak, maaf siap salah." Gak tahu salahnya, kakak kelas punya peraturan senior selalu benar. Jika, senior salah kembali ke poin pertama.

Jadi, bener terus aja udah. Sejak kapan, perempuan jadi serba salah begini. Rasa ingin lekas menjadi senior disini tiba-tiba meningkat pesat.

"Tapi, Kak, nama saya Alana Widjaja. Mohon lebih teliti lagi." Masih gak terima aku tuh, belum juga tumpengan namaku sudah diganti saja.

"Ah, begitu? Oke, fokus, jangan mengobrol dulu ya!" Tuh, kan.

Nggak ada maafnya mana woy ... yakali aja, kak Dewa juga nggak apa-apa kalo diganti jadi Dewo. Siplah, pasal yang benar-benar diterapkan. Setelah kesana-kemari mengelilingi seluruh penjuru sekolah hingga bagian gudang penyimpanan reagen pun kami jajaki. Bagian yang paling aku tunggu tiba, istirahat. Kami dipersilahkan menikmati bekal seadanya yang sempat kami bawa hari ini.

Syukurlah, tepat di saat topangan kaki melemah. Hari itu diakhiri dengan segudang tugas untuk dikerjakan dan dibawa esok. Kami, harus mencetak foto sebagai kartu nama selama MOS berlangsung. Aku berpandangan sejenak dengan dua teman yang berseberangan duduk, Puji dan Rita. Kami bertiga berasal dari luar kota dan tak memiliki siapapun di kota ini. Praktisnya, hingga larut kami baru berhasil menyelesaikan seluruh tugas beserta kartu tanda pengenal tadi. Cukup kesulitan mencari semua bahan dan sempat tersesat saat kembali ke kosan.

Namun, usaha semalam tak sebanding dengan hasilnya. Pagi ini aku berada di jajaran depan, siswa yang hendak menjalani hukuman. Sial!

"Dipotong sendiri apa dipotongin?" Kaget, padahal ada tanda tanya di belakang kalimat barusan.

Jarak kami tak ada semeter, barangkali sudah sarapan pengeras suara si kakak senior satu ini. Padahal, wajahnya kalem nan anggun begini. Ampun. Gemeteran 'kan, aduh. Mana belum sarapan nasi lagi hari ini. Cuma gara-gara kuku, hampir menguap hilang nyawaku pagi begini.

"Dewa, nih, Dewa, si centil favorit kamu nih, liatin! Bandel!" Lah, kok malah jadi lapor, Pak!

Eh, salah. Kok malah jadi ke kak Dewa, sih? Favorit apaan lagi, dah macem indom*e goreng spesial, jadi favorit segala. Detik itu juga tiba-tiba, Kak Dewa ini sudah berdiri di sebelah. Ikut memandangi kuku jariku yang lentik, memang sengaja dipanjangkan. Aku suka memakai hiasan di kuku, meski hari ini tidak. Ku paksakan senyum canggung padanya.

"Ini sama jarum takut, sama potongan kuku juga takut apa gimana? Siniin!" Mampos, Mak.

Panas dingin gugup, dipotongin kukunya dong ama si Kak Dewa. Beneran ini konsepnya gimana sih, wey. Tadi, kok dia bisa tahu jika aku takut jarum. Jangan-jangan kak Dewa ini beneran dewa yang tahu segalanya? Wah, super sekali.

Kerlingan maut mendarat tepat di wajahku, bersamaan dengan selesainya proses pemotongan kuku. Demi apapun, jleb. Dwar! Rasanya, ada jantung meledak. Duh, punten, baru mau jalan ke enam belas tahun, Kak. Mana si ibu galak, tolong jangan meluluh lantakkan hatiku seperti ini, hargh! Tentu saja, ribut teriakan dan hentakan yang hanya dapat didengar oleh Sang Pemilik Semesta.

Waktu bergulir seperti biasa, semua kegiatan berlalu begitu saja. Sesekali saat kegiatan berlangsung, kak Dewa mampir ke meja tempatku berada dan sibuk mengoreksi barang bawaan yang seharusnya siswa baru seperti kami penuhi sebagai persyaratan MOS di hari tersebut. Tak hanya sekali aku mendapat hukuman seperti hari terakhir ini.

"Ambil semua dedaunan yang ada di halaman, ambil dengan tangan. Mengerti?" Kak Dewa memberikan tugas bagi kami yang terhukum.

Belakangan, aku baru tahu dia adalah si kakak bermasker yang menemani Bu Gemoy saat pengambilan darah waktu itu. Dia juga yang menjadi penanggung jawab di kelompok kami. Cocok, eh apanya yang cocok Lana? Ingat, tujuanmu kesini untuk bersekolah dan lulus lalu segera pulang bekerja di tempat dokter Sinta. Fokus, ayo fokus!

Tak ku sangka, hukuman yang sebenarnya baru terjadi setelah dedaunan di tangan kami dihitung. Pantas saja, ada beberapa siswa yang ku lihat memetik daun dengan sengaja tadi.

"Siapa yang suruh kalian ambil daun dari pohon begini, hah?! Dengar perintah tadi tidak?! Pungut! Berarti daunnya berada di bawah!" Sungguh, baru hari ini aku melihat si gan- ah, kak Dewa meninggikan suaranya.

Untunglah, aku tak ikut memetik daun seperti yang lainnya. Beberapa dari kami yang lolos hukuman dipersilahkan duduk dan lainnya mengikuti hukuman berikutnya. Tak lama setelahnya, mereka masuk dengan banyak kuncir rambut dan coretan di wajah tanpa boleh di hapus hingga acara hari ini usai.

Senja ini aku berjalan pulang beriringan dengan Rita dan Puji yang diam membisu, energi kami terkuras habis. Semua senior hari ini berubah menjadi buas, sama sekali tak ada tameng untuk berlindung. Habis gelap terbitlah terang, katanya. Namun, hari ini habis gelap habis sudah juga kita.

"Besok cuma ngasih coklat ama surat ke senior favorit, 'kan?" Suara Puji yang imut memecah keheningan.

Hanya anggukan kepala yang bisa kuberikan. Rita malah hanya melirik dan melanjutkan langkah kakinya. Malamnya, aku berperang dengan hati dan otak sendiri. Sibuk meracau, siapa yang tepat kutuju untuk berbagi coklat dan surat. Harus lawan jenis, ini jelas perangkap. Rita berada tepat di belakangku saling menyandarkan punggung. Puji sudah melipat rapi suratnya dan menghiasi cokelatnya dengan pita.

"Heh, kamu udah, Puji?" Gadis yang terlihat paling lugu diantara kami ini mengangguk.

"Ke siapa?" Rita kelihatannya ikut penasaran.

"Kak Dewa, susah amat mikirnya." Enteng sekali, bibir mungil Anda, Nona.

Setelah memantapkan hati, aku meneguhkan sekali lagi pilihan. Bahkan, sempat kubisikkan rapalan mantra agar coklat dan surat ini lolos dari mata senior dan tersamar. Sudah lelah menjadi sorotan semua orang berkat aksi mogok pengambilan darah yang disiarkan oleh kak Dewa pada rekannya. Rasanya sekarang semua orang mengenalku, sungguh sangat tidak nyaman. Apalagi satu hal yang sangat mencolok, label provinsi yang terpampang nyata serta seragam kulot seperti yang pernah kujelaskan.

Aku ikut melipat rapi surat dan membubuhkan pita dengan warna favorit pada si coklat. Rita juga telah memantapkan hati sepertinya.

***

Note!
Reagen : bahan yang dipakai dalam reaksi kimia

***

Wah, wah hari MOS udah lewat aja nih, Lana.

Tinggal hari terakhir seperti ini biasanya memang lebih santai ya, 'kan?

Penasaran, siapa yang dipilih sama Alana buat jadi si penerima surat dan cokelat tadi dong! >.<

Ikuti terus kelanjutan kisahnya ya,
Jangan lupa vote dan komennya, teman-teman ....

Terima kasih banyak-banyak yang sudah mampir, love you all 😚💜

Kalian bisa banget temenan ama author di instagram dan tiktok: @nichi.raitaa

Feel free to share anything with me, dm for follback yaa :3

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang