Bab 19

12 2 0
                                    

Heyho, gimana puasa hari ini?
Semoga chapter hari ini bisa nemenin ngabuburit kalian ya
Enjoy 💕
***

Emang boleh sepeka ini jadi manusia? Langkah jenjangnya memelan dan kini mengimbangi langkahku agar tak tergesa. Perhatian sekecil ini selalu berhasil menggelitik kewarasan. Tahu tidak? Batu yang ditetesi air secara berulang pun akan berlubang?

“Mau duduk?” Kak Dewa menunjuk salah satu bangku kosong.

“Boleh, ini dimana sih, Kak?”

“Ngarsopuro namanya, bagus kan? Ah, besok kesini lagi yuk!”

“Lah, bedanya apa?”

“Kalo malem minggu ada pasar di tengah sini, mau?” Aku mengangguk kembali.

Setidaknya, nggak ada kandang hewan disini. Suasana yang damai mirip orang yang membawaku kemari, Kak Dewa. Setelah beberapa lama duduk dan berbincang, kak Dewa beranjak ke salah satu gerobak penjual disana dan lekas kembali setelahnya.

“Lana pake nih, dingin.” Dia menyodorkan jaketnya.

“Nggak ah, Kak, nanti—”

“Sstt, pakai nanti kamu sakit. Nih, abis itu makan ini, ya?” Jari telunjuknya menghentikan kalimatku.

Rubuhlah pertahanan diri ini, jaketnya sudah berada di punggungku sekarang. Hangat, wangi earthy klasik dengan aroma woody yang menyertai kak Dewa sulit terlupakan. Bakalan nempel sih ini. Ngomong-ngomong mandi parfum apa gimana orang satu ini tadi?

“Kak, kakak nggak penasaran ama peringkatku?”

“Oiya, dua puluh bener bukan ya?”

“Loh, kok tau sih? Dari siapa lagi aja?”

“Aku bestie sama bu Palupi.”

Kerlingan mautnya menampar wajah lagi malam ini. Genit sekali mata orang ini.

“Ish, beda level ya emang, siswa jalur prestasi sungguhan sama jalur kilat macem aku ini.”

“Ah nggak juga, Alana tetep nomor satu sih, buat aku.”

“Kak!” Aku memukul lengannya lagi kesekian kali.

Dia masih saja melancarkan aksi usilnya. Namun, aku sedikit bersyukur dia tak mempermasalahkan peringkat tadi. Biasanya orang lain memiliki reaksi seperti Abim kemarin, tetapi dia berbeda.

“Kirain mau ngomel atau nanya, kok turun peringkatnya gitu?”

“Em, buat apa?” Kak Dewa memiringkan kepalanya.

Aku hanya mengedikkan bahu sambil tersenyum simpul. Rasanya lega saja, seseorang tak membahasnya.

“Lana, berapapun nilai yang kamu dapet. Aku tau, kamu pasti udah berusaha semaksimal kamu.” Netra kami bertemu, maniknya mengunci.

Tangan kak Dewa sebesar ini ya? Sedang menangkup di puncak kepalaku, senyumnya terkembang di wajah rupawannya sambil mengangguk kecil. Ah, boleh di peluk tidak?

“Sini.” Loh, tadi aku bicara dalam hati nggak sih woy?

“Alanaku hebat.” Meleyot aku!

Kak Dewa sedang merangkul dari samping, dia menempelkan dagu di puncak kepala sambil menepuk-nepuk pundakku. Berasa mendadak jadi patung, tak bisa bergerak sama sekali. Aduh, semoga saja tak terdengar degup jantung yang gaduh. Tak bisa mengeluarkan ekspresi. Lenyap, senyap. Delima anak pertama tak memiliki kakak tentu saja terasa dimanjakan olehnya.

Sebenarnya tak kupahami, apa yang membuat kak Dewa selalu berada di sekitar. Padahal, dia bisa saja tak berada di sana. Banyak sekali gadis lain yang menggemarinya. Jangankan adik kelas sepertiku bahkan, yang seangkatan dengannya pun seperti sibuk menarik perhatiannya. Walaupun buku tetap yang paling unggul di mata kak Dewa ketimbang apapun di dunia.

Setelah itu kami memutuskan untuk kembali, jaketnya tetap memelukku. Sialan, kak Dewa hanya mengenakan kaos di depan.

“Kak, mau di—”

“Mau,” sahutnya cepat sambil menarik tanganku agar melingkari tubuhnya.

Nggak segercep ini juga kali. Pelan-pelan pak sopir, ini beneran bukan brutal lagi sih udah. Pasrah saja, nggak ada cara lain lagi untuk menebus dosa telah mengambil jaketnya malam ini. Tak banyak kalimat yang keluar hingga kami sampai di kosan.

“Jaketnya kak.” Aku melepas lalu menyerahkan jaket tadi padanya yang bergeming.

Demi apapun, kenapa dia hari ini sih? Kak Dewa sedang bersandar di motornya sambil menatapku lekat. Tanganku melambai di depan wajahnya. Hanya senyum samar yang tertangkap. Aduh, ampun. Tahu nggak sih dia, kalau wajahnya cocok dijual. Eh, maksudnya cakep gitu loh. Jadi model aja nggak sih ini? Halah, kemarin jadi dokter aja sekarang alihin lagi jadi model. Emang pikiran kadang suka ngaturnya nggak jelas sih.

“Lana … aku nggak pernah tertarik ke hal lain, selain buku. Tapi kamu, lebih dari itu.”

“Ee—kak?” Mati kutu, kudu dijawab apa kalimat barusan, hey.

“Alana, kamu selalu bikin aku pingin ngelindungin kamu tau nggak?”

“K-kita nggak lagi perang kok, Kak.” Mataku sibuk berlarian mencari pengalihan.

“Hmphh,” suara tawa kak Dewa tertahan.

Dia kini membelakangiku, tak tahu sedang apa. Bahunya terguncang pelan, sepertinya sedang tertawa. Lalu detik berikutnya … tubuh mungilku lenyap tertelan tubuhnya. Iya, kak Dewa memeluk begitu saja. Pelukannya hangat menjalar hingga hati.

“Alana Widjaja, nggak salah nama, ‘kan?” Iya kak, parah banget kalau masih keliru sih.

Aku mengangguk, tubuh ini kembali kaku tak berkutik. Jantung di dada kiri berpacu lebih cepat ketimbang biasanya.

“Minta ijin buat sayang sama kamu, ya.”

Ha?! Apa ini, apa itu, apa tadi, aku nggak salah dengar kan? Sibuk sekali otak, hati dan telinga beradu. Tak ada suara sama sekali setelah itu. Aku masih di dekapnya merasakan dagunya berada di puncak kepalaku lagi malam ini. Ah, debaran ini bukan milikku melainkan dari dada lawan. Terlalu cepat, aku tak siap. Sungguh bahkan, masih tak dapat dipercaya ada seseorang yang tertarik pada seorang Alana Widjaja dengan segala tingkah randomnya ini. Cuma takut salah tujuan, hei.

“Eh, nggak usah dijawab. Cukup, aku tau ini terlalu cepat. Kita bisa saling kenal perlahan, oke?” Kak Dewa menarik tubuhnya menjauh.

“Kak, aku—”

Sial, kalimat apa yang mau aku ucapkan? Tiba-tiba kehilangan vokal. Otaknya jadi beku, cuma karena ditatap sedalam ini. Kak Dewa mengangkat sebelah alisnya.

“Alana, aku cuma pingin kamu nggak salah paham ama yang lain. Apa … aku ganggu kamu?” Kepalaku menggeleng cepat.

“Aku minta maaf kalau—”

“Enggak, Kak, enggak bukan gitu maksudnya. Tapi, bener ini kecepetan ‘kan?”

“Iya, oke … boleh kenal pelan-pelan kan kalo gitu?” Monmaap, Kak, tapi Anda suka ngebut loh dari kemarin juga.

Ada hawa angin apa yang membuat kepala kecilku mengangguk. Dasar bocil gila visual! Ganteng dikit, oleng kapten!

Tapi serius, wajah kak Dewa bersinar cerah malam ini. Menang lotere, Kak? Haduh, kacau! Belajar pelajaran aja masih hah, heh, hoh. Sekarang apalagi ini mau mempelajari dunia baru. Yang dibedah bukan otak lagi, melainkan hati. Bersiap saja, tanpa izin pun sudah sangat ugal-ugalan. Takut meledak sudah hati yang dijaga ketat oleh beban tanggung jawab menyelesaikan tugas dalam misi membanggakan orang tua. Salah langkah atau tidak, tak ada yang mengingatkan. Aku harus mengambil sikap dengan benar lain kali.

Untuk yang ini, mari kita renungkan bersama malam nanti. Halo, hati dan pikiran mohon kerjasamanya.

***

Siapa sih yang nggak suka keindahan? Iya kan? Ngaku kalian! 🫣😂

See you next chapter
Jangan lupa vote komennya yaa 💕

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang