Bab 29

9 1 6
                                    

Semoga hari ini menyenangkan
Enjoy 💋

***
Mungkin saja jika aku hidup di sebuah novel, akhir dari perjuangan tadi seharusnya berbuah manis. Semua yang telah diupayakan membuahkan hasil yang sesuai keinginan. Sayang sekali, kenyataan membuat harapan terhempas ke tanah menimbulkan dentuman yang meluluhlantakkan harapan. Ajib, puitis!

Serius, setelah proses panjang kemarin. Aku tak bergerak dari angka puluhan. Sialan! Sedih? Pasti! Namun harus bagaimana lagi ‘kan?

Good job, Alana.” Tangan kak Dewa terasa membelai kepala, hangat.

Suaranya pun terdengar lembut dan tenang. Good job apanya sih, orang nggak dapet tujuannya. Padahal angka sembilan belas saja pun tidak. Boleh meraung tidak sih disini? Aku sangat ingin berteriak.

Tangan besarnya kini menangkup di kedua pipiku. Memaksa netra kami bertemu.

“Alana, peringkat itu nggak penting tau.”

Lalu apa yang penting, kalau bukan itu! hatiku menjawab dengan teriakan.

Meski bibir mungilku terkunci rapat dengan napas yang masih tersengal, wajah pastinya sangat berantakan seperti hati dan harapan hari ini. Tetap saja bergeming dan membisu. Mata terasa panas, tanpa sadar bibir bawah sudah berdarah.

“Alana!” Kak Dewa mengusap darah di bibirku dengan kasar.

Tatapan matanya menajam dan makin mengunci. Napasnya terkesan berat, rahangnya bahkan terlihat mengatup rapat kini. Masih terus beradu tatap tak ingin kalah. Lalu apa yang penting, jika peringkat tak begitu berarti. Kenapa aku terus disudutkan karena hal tersebut, kenapa? Hatiku sibuk berteriak menagih jawaban pasti, tetapi seolah lupa membuka gembok di bibir.

“Alana, sakit. Aku yang liat aja sakit, apalagi kamu, ‘kan? Cukup, nggak boleh lagi. Oke?” Suara kak Dewa terdengar lembut kembali, tatapannya juga melunak.

Dimana Puji? Ah, dia sedang berdiri di dekat dinding sambil meremas jemari sendiri. Kepalaku yang sedang menoleh dipaksa menatap pemuda di depanku kembali.

“Lana, lihat nilai kamu. Jumlahnya naik. Meski kamu tetap di peringkat dua puluh kayak semester lalu, tapi jumlahnya naik.”

Sebenarnya darimana dia tahu? tetap saja hatiku yang berbisik.

“Kak Dewa kenapa bisa tau?” Yak, akhirnya suaraku berhasil keluar.

“Aku nggak sengaja lihat pas ngumpulin laporan susulan kemarin di ruang guru. Pas banget bu Palupi lagi masukin nilai kalian. Jadi, aku intip nilai kamu. Abis itu di getok kepala aku.”

Aku berusaha menahan tawa, demi apapun. Si jagoan nilai ini tak hanya usil padaku saja sepertinya. Memang sudah mendarah daging sifat usilnya.

“Makanya aku bilang, good job, ‘kan?”

“Tapi tetep aja, nggak dapet belasan.”

“Tapi udah hebat banget ‘kan, Lana. Ih, kalo kak Dewa nggak mau bantu ya ama aku aja sini.” Puji menyerobot di tengah kami lalu memeluk dari samping sambil menjauhkanku dari kak Dewa.

“Eh, eh, eh … t-tunggu, kalo saingannya sama cewek lebih berat ini.”

Selamat, hari mendung yang menyelimuti hati tadi mendadak lenyap berkat dua orang disampingku. Jadi, masih tak percaya jika bertemu orang baik itu bukan rezeki?

Setelahnya, kami berpisah dan beralih ke orang tua masing-masing. Libur semester genap sedikit lebih panjang karena persiapan kenaikan kelas juga. Jadi, tentu saja kami pulang kerumah masing-masing. Yah, meski tetap saja di kampung halaman sana teman bermain yang lain baru saja menggelar ujian semesternya. Sial, tak ada kawan lagi, sepi sepi.

Aku meninggalkan kosan paling akhir karena Kamaya—adikku—tertidur pulas di kamar. Wajahnya sangat imut dan terlihat lucu saat tidur, kami tak tega membangunkan. Dia terlihat damai dan tanpa beban, enaknya jadi anak kecil. Huh, tapi coba lihat saja beberapa hari bersama terbit juga hawa liarnya. Si kecil satu ini sangat aktif dan tangkas, dari polah hingga lidahnya gesit. Sejak mentari masih malu-malu pun Maya biasanya sudah berkokok duluan. Loh, heh! Dikira ayam jago.

Sungguh, dia hanya terlihat kalem jika bertemu dengan cowok ganteng, masih segan karena di tempat baru dan jika lapar ataupun mengantuk. Selain itu, dia akan melepaskan segala ekspresi dari celotehan hingga meroda pun dia mampu. Tak lama setelahnya, Maya terbangun. Kami bersiap pulang kemudian. Sepanjang perjalanan, tak ada suara yang keluar dari diriku. Sibuk menyaksikan pemandangan sejuk petang ini. Senja sudah mulai berpamitan berganti gelap.

Hawa dingin pegunungan mulai terasa. Tepat pukul delapan malam kami baru membuka pintu rumah. Tak banyak yang dikerjakan, kami hanya berbenah kemudian masuk ke kamar masing-masing setelahnya. Oiya, sudah sempat mampir ke salah satu warung untuk makan malam sebelum sampai rumah tadi. Perut sudah kenyang, badan juga segar sehabis mandi. Mataku tak kuat lagi, menutup sempurna terbang ke alam mimpi begitu saja.

***

“Aa, kelelep!” teriakku.

“Ibu, ya ampun, kaget kirain udah tenggelem aku.” Aku terduduk sambil mengusap-usap wajah yang basah.

“Ih, air apa nih?”

“Cucian beras.”

“Hah?!”

“Ih, bagus tau! Ayo, bangun makanya, udah lima kali dipanggil molor aja anak gadis!”

Sabar, sabar … nyawa masih melayang-layang. Tertatih aku menuruti tarikan ibu. Benar juga, dia sedang membawa baskom berisi beras yang sehabis dicuci sepertinya. Beruntung bukan ikan mujair yang sedang berada di baskom, bisa bau amis wajah cantikku. Iya-iya, nggak ada yang muji jadi ya di puji sendirilah.

Aku membantu rutinitas pagi ini. Ayah terlihat rapi, sepertinya hendak pergi. Loh, Maya juga sudah rapi. Mau kemana perginya mereka pagi ini, bukannya ini hari minggu?

“Mau kemana, kok udah rapi?”

“Kamu juga mandi dulu sana, abis itu ibu terus kita berangkat.”

“Maya mau ada lomba baca puisi, Mbak.”

“Wah, Maya widih … oke, aku mandi dulu.”

Bergantian dengan ibu kemudian kami menikmati sarapan pagi dan bergegas ke tempat perlombaan. Sudah ramai saja, banyak sekali pesertanya. Setelah mengantri, tiba giliran Maya membacakan puisinya. Ah, ternyata dia pandai juga. Pembawaannya sangat tak mencerminkan diri yang sesungguhnya. Akan tetapi, sungguh kuakui Maya terlihat bersinar hari ini.

Tiba pengumuman pemenang lomba, Kamaya Putri—adikku, berhasil menyabet juara pertama. Tentu saja tepuk tangan riuh memenuhi lokasi itu, ayah terlihat sangat bangga memeluk sambil menggendong Maya dengan senyum lebarnya yang membawa piala juga sertifikat. Ibu juga terlihat sangat bersuka cita menggandeng tangan Maya melenggang ke arahku.

“Maya, jempol!”

“Mbak juga, jempol!” Ah, Maya, terima kasih.

Aku memeluknya erat, dia memamerkan piala yang sedang di genggamnya dengan bangga. Tentu saja aku ikut senang melihatnya. Untuk pasangan kakak-beradik beda ayah. Kami termasuk rukun, meski sesekali aku sedikit iri disaat begini.

Suara ayah dan ibu terus terdengar membanggakan Kamaya dan segudang prestasinya yang tak pernah membuat mereka kecewa. Bahkan, tak segan mereka memberi pujian walau untuk hal kecil saja. Membuang sampah misalnya, Maya selalu menerima ucapan terima kasih. Untukku? Ah, aku sudah besar jadi sewajarnya saja hal tersebut. Lalu, anak yang menjadi siswa memang sudah seharusnya pandai, ‘kan? Jika mendapat nilai merah harus mendapat peringatan, tetapi jika nilainya bagus. Sudah sewajarnya juga, baiklah. Sungguh, aku tak apa-apa.

***

Maaf, lagi kehilangan kata-kata
See you next chapter 🥹💕

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang