Bab 39

1 0 0
                                    

POV ALANA

Sialan! Sudah dibantu sampai se-effort ini, ternyata pada akhirnya dia tetap dihukum juga. Keterlaluan sekali, kenapa nggak bilang dari awal sih? Ampun, Abim. Sudah terlambat, salah jadwal, eh, buku laporannya tak terbawa pula. Apa yang dia ingat pagi ini? Coklat? Hah, apalagi itu pasti diabaikan.

Untung saja otaknya encer, sedang mengerjakan hukumannya dengan cepat. Tak ada sepuluh menit, pemuda berlesung pipit tadi sudah duduk manis di bangkunya hendak mengikuti praktikum. Sesekali tertangkap basah melirik ke arahku. Merasa bersalah, tak enak, iya? Harus! Dasar!

Seusai kelas praktikum yang dipindah jadwal pagi ini, kami kembali ke kelas. Menyambut kelas teori seperti biasa, sungguh menuntut ilmu di sekolah ini tak memiliki waktu senggang. Guru selalu saja mengingatkan jika pekerjaan kami menyangkut nyawa, jadi kami harus mengerjakan semua hal dengan serius. Apa kabar yang jadi pasienku nanti, ya?

Ya sudah, namanya juga manusia. Tentu ada kurang dan lebihnya, maksudnya jika aku ya kurangnya banyak, lalu lebih banyak kurangnya lagi. Xixixixixi. Semua sibuk dengan tugas dan kewajiban masing-masing tanpa peduli kapan jarum jam terus berputar dan berdetik. Hari sudah bergulir, langit berawan sejak siang tadi. Semakin redup karena beratnya awan kelabu di langit sore ini.

Kelas mulai gaduh, semua siswa ribut menyiapkan peringatan Valentine bersama kami. Puji sudah berdiri di depan kelas, siap memberi aba-aba. Hitungan mundur mulai terdengar, ketika selesai semua orang berebut jalan mencari pasangan yang dituju. Aku sendiri membawa tiga coklat dengan tiga catatan juga yang menempel. Setelah kuserahkan pada pasangan praktikumku—Dian, kemudian si bestie sebangku—Puji, lalu satu lagi untuk Bu Palupi tadi. Selesai sudah tugas hari ini, aku menerima coklat balik dari Puji. Siapa lagi? Ya, ‘kan?

Kepalaku menengok saat seseorang mencolek bahu. Tebak sosok yang melakukan hal barusan? Dia menyerahkan bungkusan lewat bawah bangku, kemudian menempatkan jari telunjuk di bibirnya kemudian mengedipkan sebelah mata dan berlalu begitu saja. Tubuhku mematung, Puji juga sedang menganga menyaksikannya.

Wait, Puji? Akh, sejak kapan dia di sini, woy? batinku tak sadar si pemilik bangku sebelah sudah kembali duduk di tempat.

“Lan, dapet dari … Abim? Astaga, buset, buset Lana!” Puji sedang menahan teriakannya.

“I-ini bukan potongan keramik kan isinya?” Aku malah menyangsikan bungkusan tadi.

“Malah negatip pikiran kamu nih, dasar!” Puji menoyor kepalaku pelan.

Sedikit gugup aku membuka bungkusan tadi. Tangan Puji tak tenang mencengkram lenganku hingga mengguncangnya pelan. Sungguh, ini diluar prediksi BMKG. Abim tak melupakan coklatnya hari ini, padahal dia salah jadwal pagi tadi. Bahkan, aku yang mendapat coklat serta catatannya. Benar, isinya coklat dan sebuah catatan yang dilipat rapi terselip pada pita yang dibubuhkan.

“MasyaAllah, Alana, boleh nyengir gak?”

“Puji, aku boleh terharu gak sih.”

“Tapi, disuruh diem.”

“Hmph, iya ini diem.” Aku berusaha menahan ribuan kupu-kupu yang tiba-tiba saja bersarang di perutku.

Sangat menggelitik, cowok judes satu ini berhasil menulis sederet kalimat tanpa paksaan. Serius, kali ini bukan karena kalah taruhan lagi ‘kan? Jika, iya pun tak apa. Setidaknya aku mendapat coklat tambahan di tengah masa jomblo ini.

Abim tertangkap sedang melirik ke arah kami. Membeku kemudian saling bertukar tatap, dia segera mengakhirinya dengan pergi meninggalkan kelas yang masih gaduh. Aku mengirim pesan singkat berisi ucapan terima kasih pada Abim, akhirnya.

Kelas masih ramai, banyak yang mencari sosok Abim yang tiba-tiba menghilang begitu saja. Yah, saking grogi dan senang bercampur aku lupa belum sempat mengambil foto bersama. Tak ada Abim di foto peringatan hari ini deh. Nanti, boleh diedit saja. Toh dia memang tak begitu suka di potret. Kami menghabiskan sedikit waktu lebih lama bersama kali ini. Tas Haris hampir jebol, membawa coklat bagiannya dan sebagian titipan untuk Abim. Meski sambil mengomel, dia tetap membawanya.

“Udah wey, gak muat, ampun. Besok kasih sendiri napa.”

“Ih, gak berkesan nanti udah lewat, Ris.” Suara Tika manja.

“Emang anak kampret, Abim, mana sih.”

“Pulang kayaknya, tas udah gak ada.” Puji menimpali sambil membantu mengancing tas Haris.

“Mendadak hamil tasmu, Ris.” Aku mengelus bagian yang membukit.

“Janc*k, emang, dah, udah.” Haris menepis tangan lain yang hendak menambah isi tasnya.

“Haris, punyaku tampung dulu.” Tika merengek, coklatnya tak tertampung.

“Sini, aku tampung.”

“Lana, ih, udah banyak juga dapetnya.” Sewot sekali makhluk indah ciptaan Tuhan satu ini.

Menggoda Tika adalah bagian favorit, dia masih belum berhasil menaklukkan Abim. Entah serius atau hanya godaan, tetapi dia ini bahkan sudah memiliki kekasihnya sendiri di lain sekolah. Tiap hari diantar jemput, masa iya mau nambah koleksi? Ya, nggak apa-apa sih asal belum janur kuning terpasang. Haduh, haduh … maruk woy!

Aku dong, satu aja luput. Dahlah, aku pasrah. Setelah bergelut dengan tas Haris tadi, giliran kemelut di kepala sendiri tak kunjung reda. Yang paling melelahkan dari semua hariku hanya satu. Kebiasaan yang mendadak hilang. Bisa terasa sangat asing, padahal siapa yang sudah memberi sayap hingga berhasil terbang kemarin? Dasar, Alana bodoh!

“Lana, Alana? Napa sih?” Suara Puji menyadarkan lamunan singkatku.

Aku hanya menggeleng pelan sambil mengemasi barang-barang yang masih berserakan di meja. Segera menenteng tas kemudian.

“Yuk, pulang.”

“Perpus dulu dong, ada buku yang mau aku pinjem. Temenin ya, Lan?” Puji dengan rengekannya menggelayut manja di lengan.

“Iya, jangan lama-lama.”

“Siap, bentar kok.”

Sesampainya di perpustakaan, netraku langsung menangkap sosok disana secara otomatis. Ampun, ternyata dari tadi disini.

“Parah, kenapa malah disini? Haris noh, nyariin.” Abim bungkam, dia hanya menatap kami sekilas lalu memilih tenggelam di bukunya lagi.

“Heh, coklatmu penuh di tas Haris ampe hamil, sana dih!”

“Masa iya? Kok bisa?”

Serius, dia nggak tahu kalau memang dia ini populer apa gimana? Astaga, Abim!

“Anu, Bim, coklatnya maka—”

“Nggak perlu, dah duluan ya.” Abim mengatakannya sambil berlalu.

Tangannya menepuk puncak kepalaku singkat. Ah, besar hampir sama seperti miliknya hanya sedikit lebih kasar, khas Abim. Netra legamnya bertemu sebentar sebelum benar-benar meninggalkan ruang perpustakaan itu. Puji sudah menelisip di antara rak buku, sedang aku memilih memasang musik di dua lubang telinga sambil menunggu gadis itu selesai dengan urusannya.
Tak menyenangkan, semua sudut sekolah terutama ruang perpustakaan selalu mengingatkanku pada sosoknya. Walau ku bilang menyebalkan, tetap saja selalu sedikit menelisik ruangan itu berharap berjumpa meski tak saling bertegur sapa. Sore ini, dia tak ada di sana. Mungkin ini cara semesta mengatakan, kami harus berhenti dan fokus pada tujuan akhir masing-masing. Iya, benar. Ayo lanjut, Alana, kamu bisa kok. Pasti bisa, sebelum inipun kamu hidup tanpa dia.

Volume up! Jedag jedug jeder! Nggak boleh sedih karena cowok! Nggak!

***

Now playing - Girls like me don't cry!
See you next chapter again 🔥

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang