Hari itu, Haris tak muncul sama sekali. Sahabatnya sedang berduka, justru dia entah dimana. Namun, hari ini dia nampak bersama kedua orang tuanya. Selesai acara wisuda dan perpisahan. Dia menghampiriku.
“Kemana aja?” tanyaku sambil memukul lengan milik si pemuda pelan.
“Sibuk mengutuk diri, Lan.”
“Nggak perlu! Dibilangin nggak boleh gitu, liat aku sama Rita.” Kami menyatukan kepala dan saling merangkul.
“Iya, lagian yang udah berlalu gak bisa diulang, Ris. Padahal masa mendatang tetap bakalan datang, hayo.” Rita ikut menimpali dengan pukulan susulan pelan di bahu Haris.
“Abim butuh kamu tau, sana susulin.” Aku sedikit memaksanya kali ini.
“Nggak perlu aku temenin ‘kan?” Suara imut Puji sedang menggoda Haris.
“Ukhti ….” Kompak aku dan Rita ikut nimbrung bersamaan.
Aku percaya, meski jalannya sulit asal ada kemauan. Pasti selalu saja akan menemukan pintu keluar pada akhirnya. Tak pernah ada ujian panjang tanpa berkesudahan, sebab Tuhan tak pernah ingkar janji. Semua kata-Nya pasti ditepati. Pelangi pastilah muncul selepas badainya pergi, hujan pun akan mereda seiring awan yang menipis lagi.
Kami berpisah menuju arah masing-masing. Saling melekat rapat dan mendoakan satu sama lain.
***
Tak ada yang pernah menyangka. Kedatangan di kota asing ini telah mengukir banyak kenangan baru bersama orang yang semula asing pula, kota besar yang sama sekali tak kukenal. Tiap sudutnya memiliki kisah tersendiri. Menjelma menjadi tempat peraduan ternyaman yang kerap dirindukan ulang ketika jauh. Menemani perjalanan hidup tumbuh membentuk diriku yang sekarang.
Esok hari memang sebuah misteri, tetap berlanjut meski terkadang hasilnya sungguh membuat kening berkerut. Mimpiku masih saja sama, genggamannya masih nyata terasa, dekapannya begitu candu. Bolehkan sedikit saja memeluknya dalam rindu?
Seragam kami telah berganti, hari baru juga sudah menanti. Entah siapa lagi kini yang akan kutemui. Masuk setelah pintu gerbang bercat putih itu terbuka, langkah ini tentu menuju gadis berhijab putih yang sedang sibuk melambaikan tangan sejak tadi.
“Alana.”
“Puji, akh kangen!” Hampir tiga bulan kami tak berjumpa.
“Mana, peluk buatku mana?” Haris merentangkan tangan tanpa sambutan.
“Akh, Haris, kamu juga masuk disini? Akh!” Kami mendadak membentuk lingkaran dan berlompatan bertiga.
Mohon maaf, tumbuh besar memang perlu. Akan tetapi, untuk dewasa? Ah, nanti dulu.
Tawa kami memenuhi lorong tempat melanjutkan pendidikan setelah masa kemarin berlalu. Memilih jalur aman di sini sebab ketimbang membuang keahlian yang didapat dari sekolah menengah kejuruan yang diambil kemarin. Jangan bilang ini akan menjadi lebih rumit dari sebelumnya ya! Ah, tak apa juga jika rumitpun, toh aku tak sendirian.
“Alana, kamu nggak ada di daftar kelas sini?” Suara imut Puji menyedot atensi.
“Hah? Masa sih, Puji?”
“Iya bener, aku sama Haris sekelas sih.”
B-beneran ini? Air mata sudah terkumpul di pelupuk mata. Aku segera mengoper pandangan ke papan sebelah. Mencari namaku di daftar panjang yang sedang terpasang. Sekedar untuk informasi saja, kami lanjut ke jenjang akademi yang masih satu induk dengan sekolah kami sebelumnya. Kelas dibagi menjadi tiga, satu kelas berasal dari siswa SMA umum dan dua kelas berasal dari siswa kejuruan seperti kami terbagi menurut absensi alias abjad nama.
Astaga, kenapa namaku harus Alana sih, argh! omel hatiku sendirian.
Saat ribut dan sibuk mencari nama, justru bukan nama yang sedang dicari tertemu disana. Netraku mengerjap berulang sambil mengejanya perlahan. Masih kurang juga ternyata mendadak terasa tak bisa membaca. Keningku sudah sangat berkerut saat ini.
“Abimantara Nugraha.”
“Hm, dalem?” sahutan yang tak kusangka.
Aku menoleh ke arah sumber suara. Manik kami berjumpa kembali, akhirnya.
“Abim!”
“Astaga, Lana, aduh keinjek,” keluh Abim yang terabaikan.
Selamat, aku masih punya satu teman sekelas meski terpisah dengan Puji dan Haris. Loh, tunggu dulu. Katanya dia mau ngebengkel saja? Kok sekarang ada disini sih, Bim?
“Heh, katanya—”
“Tuh, ulahnya tuh.” Abim menunjuk dengan dagunya.
Disana terlihat Haris sedang tersenyum dan berjingkrak-jingkrak kesenangan. Ternyata Haris berhasil membujuk Abim bahkan, biaya sekolah kali ini ditanggung oleh keluarganya. Pada akhir cerita mereka, keluarga mengetahui kebenaran tentang sejarah organ ginjal mendiang ibu Abim dan memilih berdamai karena memang didonorkan sesuai kesepakatan oleh pemiliknya. Dua pemuda ini kemudian juga melanjutkan misi mereka masing-masing. Tetap bersahabat pula meski banyak beda yang nampak sejak awal.
Kita memang perlu melengkapi kepingan puzzle di hidup masing-masing. Jika berjumpa dengan yang sama warna, tak ada salahnya juga. Namun, terima pula mereka yang berbeda warna bagaimanapun kondisinya. Mereka pasti memiliki cukup alasan mengapa harus berwarna demikian. Barangkali di lain kesempatan, tanpa sadar kita menemukan sandaran. Terkadang butuh waktu sedikit terperosok, terjatuh, terguling, terjerembab dan terhuyung demi menyadari ternyata ah, aku kuat dan bisa juga melewatinya. Lihat, rupanya aku telah tumbuh sejauh ini. Bersamamu, sampai jumpa lain waktu.
Terima kasih, telah membersamaiku. Dengar, kamu hebat dan banyak yang menyayangimu. Mungkin saja, mereka ini seperti Abim yang tak begitu suka banyak bicara. Atau sama saja seperti aku yang terkadang bingung mengungkapkan rasa. Namun, kamu perlu tahu jika dirimu tetap berharga.
“Bim?” panggilku.
“Hm?” Sudah kembali singkat rupanya.
“Nggak pingin manggil aku, gitu?” Mulai lagi, random.
Pemuda di sebelah memandang dari sisi wajahnya, sedikit memiringkan kepala. Dua orang di depan hening memperhatikan, aku sibuk menahan napas bersiap nama disebutkan.
“Heh.”
“Bazeeeeng!” Ribuan pukulan dan umpatan diterimanya hari ini.
Baru juga hendak merasa senang bisa satu kelas. Sudah ingin mengutuk saja di hari pertama jumpa kali ini. Memang, bukan Abim jika tak menyebalkan! Meski begitu, aku sangat tahu masing-masing hati kami saling tertaut tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut.
Abim menangkap tangan yang hendak memukulnya lagi. Senyum mencetak lesung pipi kedua sisi dengan apik. Suara tawanya memenuhi kepala, hatiku menghangat tiap kali melihatnya.
***
That's really ending? Who knows 🙃
See you, at epilog~
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
Novela JuvenilBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...