Bab 43

0 0 0
                                    

Bau obat-obatan menusuk penciuman, sungguh keadaan khas bangunan bercat putih ini. Seseorang lainnya terbaring lemah dibalik gorden ruang ibu Abim dirawat.

“Terima kasih, sudah repot mampir kesini.” Suara seraknya terdengar sambil berusaha duduk sepertinya.

“Istirahat saja, Bu, nggak apa-apa.” Aku mencegahnya dan membantu kembali berbaring.

“Aduh, Alana, ibu kangen. Kata Abim sibuk melulu, nggak ada kerja kelompok.” Sekilas manik legam di depan menatapku juga.

“Iya, Bu, cepet pulang kalo gitu nanti Lana maen kesana lagi, ya?”

“Oke siap, temen yang lain juga ajakin.” Masih terus beramah tamah.

“Biar rame ya?” Haris ikut nimbrung.

“Bukan, biar rubuh rumahnya,” sahutku.

Serius, jadi waktu kesana kami memasak mie instan bersama, entah bagaimana ceritanya kompor di dapur tiba-tiba meledak.

Bukan main memang, urakan sekali. Baru juga pertama bertemu sudah gonjang-ganjing saja rumah Abim. Suasana terlihat hidup, ibu Abim tertawa mendengar kelakar kami. Sesaat rasanya tak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Namun, siapa yang tahu hari esok akan jadi seperti apa. Maut bisa datang kapanpun dia mau.

Tak lama kami berada di sana, jam besuk sudah habis. Takut mengganggu kenyamanan pasien yang lain juga. Abim harus menjaga ibunya kembali karena bapaknya sedang bekerja. Siapa yang menyangka, saat Abim selalu bercerita jika bapak dan ibunya sibuk berkencan kemarin, justru ternyata sedang pergi berobat ke rumah sakit. Konon katanya, sudah lama ibu Abim menderita penyakit paru ini, tetapi kondisinya sekarang sudah makin melemah. Kami berjalan beriringan meninggalkan lorong putih menuju arah parkir.

Langkahku tertahan, ada tangan yang menarik tasku dari belakang. Mau tak mau menoleh juga akhirnya.

“Abim.” Manikku berjumpa dengan pemilik tangan yang menarik tas.

Tak ada sahutan, pemuda tadi menyeretku sedikit menjauh dari teman yang lain. Tak ada yang berniat menyusulkah? Ah, sekalian kalau begitu harus minta maaf dan memperbaiki hubungan. Tadi tak sempat, lebih tepatnya aku ragu dalam kondisi begitu.

“Maaf.” Yak, kompak. Nggak biasanya.

“Bim, maaf, kalo aku sering bikin kamu kesel, sengaja nggak sengaja sih.”

“Heh, yang serius napa?”

“Loh, aku serius, kamu kira? Abis kamu kalo nggak digampar, nggak ada bunyinya, Bim.”

“Iya, maaf, aku kaku, aku salah, aku luput, aku berdosa.” Pengakuan beruntun dari Abim.

“Bim, ya nggak gitu juga kali. Maaf, ya.” Kali ini aku mengulurkan tangan kesekian.

“Maaf juga, nggak seharusnya aku kesel ke kamu. Gara-gara orang lain.” Berhasil di jabat tanganku woy.

Akhirnya setelah berapa tahun penantian jabatan tangan ini tersambut. Lebay banget memang, tetapi ini sungguh berarti.

“Makasih ya, udah mampir. Ama temen-temen juga.” Abim menyambung kalimatnya.

“Iya, nanti aku sampein ke mereka.” Manik kami berjumpa, seperti biasa Abim segera menepis tatapannya sendiri.

“Bim, tapi jangan sampe berantem lagi sama siapapun di sekolahan!”

“Kamu liat siapa yang bonyok nggak, sih?”

“Iya liat, oke, aku minta maaf lagi nih.”

“Trus kamu masih temenan sama Rita?” Kalimat Abim sukses membuat netraku berkedip kebingungan.

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang