Heloha, saking hecticnya hari minggu si Nichi ampe baru sempet update
Enjoy yaaa dah deket ama ombak dramanya Alana nih
Siap² ya gengs🔥💋Enjoy 💕
***
Apa-apaan ini, secara mengejutkan. Semester ini hanya kuhabiskan dengan menekuni buku tanpa kenal waktu. Semula aku gemar mampir karena ada kak Dew—eh salah—karena suka aromanya saja. Kemudian beralih karena terseret arus kak Dewa, menjadi rutin meski tanpa empunya disana karena merasa tertantang. Lalu berubah kecanduan karena jika tak mampir terasa ada yang kurang. Haus bacaan, haus ilmu asal nggak berubah haus darah saja sih. Ganti genre habis ini hehehehe. Hus, fokus!Masih berusaha memfokuskan diri berulang kali. Serius, aku sedang serius. Ujian semester, hari penentuan akan digelar dalam beberapa hari lagi. Hasil kerja keras harusnya membuahkan hasil kali ini. Entah sudah berapa banyak tawaran yang ku abaikan demi nilai kenaikan kelas kali ini.
“Lana, ada cafe baru loh.”
“Oiya, kesana abis semesteran yuk.”
“Alana, liat ada spot foto bagus nih.”
“Wah, keren, kesana abis ujian semester apa? Kubawain kamera nanti.”
“Lan, Lan, liat weh cakep banget ini ada hiasan di kampung China.”
“Waduh, tapi rame banget. Ke perpus aja, yuk!”
Masih banyak lagi hal yang sengaja ku lewatkan dengan alasan belajar. Toh, masih bisa ditemui lain kali, bukan? Ya, mungkin saja sempat. Mari kita semogakan saja untuk berumur panjang. Hingga hari ini
“Lan, kamu kesambet apa?” Puji terheran sambil menyibak poni tipis yang menutupi keningku.
“Hoy, yang bener aja sih, kesambet apaan, amit-amit.” Aku mengerucutkan bibir.
“Sejak kapan, rajin bener loh. Ya, kemarin rajin sih tapi ini wah kacau.”
Aku hening, tak ada jawaban sesaat. Kemudian memilih untuk memberikan alasan kuat mengapa melakukan hal ini. Demi mengalahkan diri sendiri, atau demi mendapatkan kak Dewa lebih tepatnya. Ups! Dalam arti, jika berhasil kali ini lumayan aku bisa bersantai satu semester karena kak Dewa bersedia meluangkan penuh waktunya.
“Lan, yakin cuma demi itu?” Kalimat Puji menggelitik hati terdalam.
“Emang buat apa lagi?” Tak acuh aku menanggapi bahkan, tak menatap Puji.
“Yakin, nggak demi menghindari omelan ibumu, atau sekedar memenuhi obsesi orang lain atas prestasimu?”
Napasku tercekat, kenapa pembahasannya jadi seperti ini sih?
“Puji, aku—” Ah, air apa ini? Keluar begitu saja tanpa bisa kucegah lagi.Terjun turun membasahi pipi sore ini. Langit senja cerah berwarna kemerahan. Namun, didalam hati hujan berpetir sedang menggelegar. Puji memeluk aku yang terisak pelan. Rasanya sesak menjebak. Iya, iya, aku sedang dan terus saja harus memenuhi keinginan mereka tanpa didengar apakah sanggup atau tidak? Apakah susah atau senang? Apakah berat atau ringan? Apakah aku bahagia atau sebaliknya? Tanpa perlu dielukan, aku hanya ingin dihargai seberapapun yang kudapat karena sudah berusaha sebaik mungkin.
“Alana, kalo memang sakit bilang sakit, kalo berat bilang berat, kalo jenuh ya istirahat. Semua yang kamu lakukan memang baik, tapi semua yang berlebihan nggak mungkin bagus. Jangan siksa diri kamu sendiri, Lan! Aku cuma takut, ekspektasi nggak sesuai ama realita.” Puji memundurkan diri melepas pelukannya, beralih mengusap air mata di pipiku.
“Tau nggak? Pasir yang digenggam terlalu kuat justru makin banyak yang lepas dari tangan. Kamu pun juga begitu, semakin ditekan bukan makin enak, makin kegencet yang ada. Ayok maen! Senin udah ujian nih!”
Kelihatan bedanya yah? Kalimat yang keluar dari si peringkat satu sungguh berkesan kuat. Ingin rasanya tertawa, tetapi sialnya aku masih memiliki rasa malu juga. Lihat tampang yang berantakan ini, sungguh terasa bukan aku sama sekali.
“Alana, dengerin nih ya. Terkesan kayak bualan sih emang. Aku juga belajar kok tapi sewajarnya aja, boleh sedikit lebih keras asal jangan lupa kalo kamu juga berharga. Kalo bukan kamu sendiri, siapa lagi yang bakal sayang ya, ‘kan?” Suara Puji selalu imut menurutku tetapi isi kalimatnya terkadang memiliki makna yang dalam.
“Puji, makasih ya, udah ngingetin.”
“Lana, terima kasih kembali kamu sudah bertahan sampai hari ini. Inget lagi apa mantranya?”
“Belajar, datang, kerjakan, lupakan.” Kompak kami merapalkannya.
Kemudian tawa akhirnya terbit juga. Akhirnya, aku masih percaya akan selalu ada pelangi selepas hujan. Yah, meski terkadang tak terlihat oleh mata setidaknya aku tetap percaya. Karena penduduk langit pun juga tak pernah menampakkan diri dan kami tetap tahu Dia sedang mengawasi anak-Nya dari atas sana. Jika Dia nampak malah woylah, balik lagi aja tolong saya masih muda buat menghadapi kiamat ini Tuhan, akh! Nah, kan ngelantur sampai mana lagi ini? Maafkan, mari kembali ke jalan yang benar.
Rezeki itu tak melulu tentang uang dan nominalnya, bukan? Berada di lingkungan yang terus mendukungmu juga sebuah rejeki, bertemu dengan orang-orang baik disekitar juga merupakan rezeki tersendiri. Puji salah satunya, gadis dengan gaya lugu dan hijab yang selalu membungkus mahkotanya dengan cantik ini kerap kali menolong. Syukurlah, dia belum bosan membersamai. Tolong, jangan sampai dia bosan!
Akhirnya dia membawa keceriaan kembali. Dia juga merangkum materi bersama dan menemani diri ini belajar hingga mengerti dan paham. Tiap hari, tiap kali. Dia bahkan menyempatkan diri menoleh ke arah mejaku setelah lembar ujian dibagikan.
Bibirnya bergerak, “Datang, kerjakan, lupakan.”
Aku membaca gerak bibirnya dari kejauhan dan membentuk tanda OK dengan tangan. Tak lupa merapatkan tangan setelah merapal mantra kemudian mengerjakan bagianku. Kemudian memasrahkan sisanya pada yang lebih berwenang.
***
Seperti biasa, kami telah melakukan ujian teori di minggu pertama kemudian ujian kelas praktikum di minggu berikutnya. Setelah dua minggu lagi menunggu, saatnya laporan nilai akhir di bagikan. Mau main tebakan lagi? Berada dimana peringkat saat ini. Bibirku mencebik dan menatap Puji seperti di semester yang lalu. Air mata rasanya sudah mengaburkan pandangan saat ini. Jujur aku sangat bingung hendak bagaimana mengekspresikan rasa yang sedang berlangsung?
“Cup, cup, Lana, dengerin ya dengerin. Nggak apa-apa, kamu udah berusaha. Kamu udah hebat.” Aku berada di dekapan Puji.
Aku menenggelamkan wajah di bahu mungil Puji. Kepala bergerak dengan anggukan tanpa terangkat. Entah si pemilik bahu menyadarinya atau tidak, tetapi baju seragamnya mungkin basah karena ulahku.
Sesaat kemudian, terasa ada yang menarik tanganku. Membuat rapatnya dekapan tadi terlepas dan terpaksa berpaling dari Puji dengan kondisi sangat berantakan.
“Kak Dewa.” Aku mendongak sambil menatap dengan mata sembab.
Runtuh sudah pertahananku, suara tangis yang sekuat mungkin tertahan kini pecah. Sudah tak menghiraukan lagi lalu lalang orang yang berada di sekitar. Barangkali, memang sejak awal aku terjebak dan terdampar. Mungkin saja ini memang bukan tempat yang diciptakan untuk seorang Alana.
Sudah menguap kewarasan serta rasa malu, hilang begitu saja. Saking kalut juga mungkin, Kak Dewa memilih menyembunyikanku dalam dekapan hangatnya. Pilihan yang bagus ketimbang harus dibekap mulut berisik ini.
***
Love language si Dewa kayaknya muter aja di gas pol rem dol
🫣👀🤧See you again 💋
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
Ficção AdolescenteBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...