Bab 27

6 1 0
                                    

Semoga kalian masih betah yaa
Enjoy 💕😆

***
Tak selamanya masa putih abu-abu itu seindah dorama yang kerap kusaksikan. Kisahnya juga tak semanis novel romantis kebanyakan. Lihatlah, masa putih abu-abu yang kujalani justru padat merayap bersama dengan segudang tugas dan kota asing yang terus memaksa untuk bertahan hidup dan mendewasakan diri secepat mungkin. Sebelum terlindas roda kehidupan yang terus berputar tanpa bisa dihentikan. Apakah bertemu dengan kakak kelas di sebuah perpustakaan sekolah sambil berusaha memecahkan soal yang tertulis di buku bisa disebut sebuah kencan?

Jika iya, maka aku adalah jagonya. Sebab hampir setiap hari berada disana bersama kak Dewa, yang satu sibuk menelisik lembar per lembar. Sedangkan, yang duduk di sebelahnya sibuk mengendus wewangian di ruangan. Em, tahu ‘kan aroma perpustakan seperti apa? Ya, aku menggemarinya. Akan tetapi, wewangian kala duduk di sekitar kak Dewa juga tak kalah memikatnya. Aduh, gagal fokus (lagi).

“Alana, fokus!” Pukulan pulpennya mendarat singkat di keningku.

Sudah semester baru dan sekolah kami sudah kembali efektif. Liburan semester tak kompak antara kota tempatku menuntut ilmu dan kampung halaman. Tak ada kawan berbagi kesenangan, akhirnya ayah dan ibu mengajak kami berlibur singkat ke kota Pahlawan. Sekalian menjenguk kakek yang kini tinggal sendirian setelah nenek tiada dua tahun lalu. Wajahnya cerah ketika ibu bercerita, jika salah satu cucunya akan menjadi seorang tenaga kesehatan. Yak, kakek memang memiliki cita-cita yang tak sempat diwujudkan oleh para anak mereka.

Jauh sekali impian beliau ini, hingga aku yang harus dikorban—eh, maksudnya hingga satu cucunya yaitu aku harus mewujudkannya. Betapa besar jasaku, Kawan! Tepat seperti yang kak Dewa ramalkan saat itu. Meski banyak sekali nasihat yang terdengar dari ibu dan ayah perihal peringkat ini. Namun, hanya satu kalimat yang kupegang kuat. Tebaklah yang mana!

“Yaudah, Bu, masih penyesuaian juga loh. Ya ‘kan, Alana?” Ayah mengatakan dengan legowo, aku mengangguk antusias.

Berhasil, kalimat ayah memang pelan. Khas ayah yang selalu berbicara lembut dan tenang telah memenangkan hati ibu lagi. Aku bersorak dalam hati.

“Iya-iya, memang baru semester satu. Belajar yang tekun lagi, semester depan, ya?” Ibu kemudian melunak kembali.

Aku segera mengangguk. Sebelum pecah lagi omelannya.

“Alana, hei, Lana! Aduh, jangan bilang barusan nggak dengerin?” Tangan kak Dewa melambai-lambai di depan wajahku.

“Hah? Kenapa? Ada apa, Kak?” Aku sedikit tergagap, belum pulih dari lamunan sendiri.

“Akh, kalo nggak sayang udah aku jitak ampe botak kamu, ya!” Kalimat kak Dewa terdengar kesal kali ini sambil memukul pelan keningku (lagi).

Sudah biasa, memang bersama denganku selalu saja menguji iman. Seperti Puji ataupun Rita. Kerap kali mereka juga harus mengulang hal yang dibicarakannya. Bukan karena tak jelas, tetapi tiba-tiba saja otak berkelana entah kemana saja. Sekilas perjalan hidup atau ingatan tak penting singgah tanpa permisi mengacaukan konsentrasi. Sungguh, ajaib!

“Alana Widjaja, denger gak sih?” Rita memasang tampang kesal saat di warteg.

“Hah?” sahutku tanpa dosa.

“Alana, Lana, astaga anak bebek siapa ini tolong bawa pulang!” Saat Puji sedang menjelaskan prinsip reaksi kimia.

“Eh, Puji, sembarangan!” Aku menahan pekikan tapi meremas tangan lawan.

“Lan, ih kemana lagi perginya ini anak.” Rita sedang curhat tentang temannya.

“Eh, gimana, Rit?” Masih dengan muka polosku.

“Buset, tampang udah bloon banget ini, Lana, balik apa mau ditabok?” Puji mendadak brutal menenteng buku tebal di tangannya.

“Lah, mau dilempar kemana si buku itu?” Nggak berdosa banget emang aku.

Kali ini, kak Dewa terpaksa menjelaskan ulang materi yang tak kudengar saat sibuk menjelajah masa lampau singkat. Fokus ayo fokus! Semester ini jadwal makin dipadatkan dengan sengaja, belajar terus pokoknya. Katanya, kak Dewa juga sedang senggang. Dia tak mengambil jatah perwakilan sekolah lagi karena ingin fokus pada nilai sekolahnya sendiri. Sudah mau naik kelas juga.

Jadi, dari kemarin dia tak fokus begitukah maksudnya? Padahal peringkatnya tak berpindah, hanya saja jumlah nilai sedikit turun, tuturnya. Apa kabar aku yang tidak lagi turun, tetapi sudah terjun payung begini.

“Kak,” panggilku dengan bisikan.

“Hm?” singkat sekali, mana dia tak mengalihkan pandangan dari buku yang ditekuni sejak tadi.

Aku sengaja tak melanjutkan kalimat. Menunggu responnya.

“Apa?” Akhirnya dia menengok, terlalu dekat.

Aku memundurkan diri sebelum melanjutkan kalimat. Jantung, bisa diam tidak! Eh, jangan diam, anu jangan terlalu gaduh saja plis.

“Kakak emang dituntut harus  pinter, ya? Padahal peringkatnya nggak turun loh, giat banget belajarnya?”

Kulirik, dia menutup buku lalu terdengar hembusan napas berat. Dia kini sedang menatap dari samping. Oke, bernapas yang tenang, Lana. Tatap balik.

Dayum! Dewangga nggak ganteng sehari bisa tidak? hatiku ingin mengumpat, eh sudah meski kata bercetak miring sedang diplesetkan.

“Enggak, nggak pernah dituntut, Lana. Tapi, aku nggak pernah mau kalah aja ama yang lain. Hehehehe … kecuali kamu mau ngalahin aku. Boleh deh.”

“Mana sanggup, akh!” Jika boleh sudah berteriak, tetapi aku hanya mampu menjambak rambut frustasi.

“Hihihi, sstt, kalau gitu taruhan aja mau gak?” Jebakan apalagi ini?

“Kalahin diri kamu sendiri, naik ke peringkat belasan,” tantangnya.

“Belasan yang mana?”

“Mana saja boleh, nanti kalo bisa aku kasih hadiah.”

Aku diam, sejenak manik kami saling mengunci rapat. Hati sedang gaduh mempetimbangkan, sudah banyak jebakan di hampir semua kalimat yang diucapkan kak Dewa ini.

“Hadiahnya apa? Kalo aku kalah gimana?”

“Kalo kalah, ya kamu ngasih aku hadiah dong. Hadiahnya ini.” Kak Dewa menepuk dadanya sendiri.

“Hah? Jantung kamu, Kak?” Pura-pura bego itu perlu.

“Lana ….” Kak Dewa sedang mengacak-acak rambutku.

“Aku, aku … kamu boleh gunain aku buat ngerjain semua tugas selama satu semester penuh. Janji, bakalan aku bantuin se-mu-a-nya.”

Bingo! Selama ini kak Dewa suka melakukan tantangan denganku. Dia kerap hanya memberi petunjuk tanpa jawaban pasti. Hingga tetap saja harus didiskusikan dengan Rita ataupun Puji jika dalam bentuk pekerjaan rumah. Dia hampir tak pernah menjawabnya secara gamblang, sebenarnya metode ini ada baiknya. Namun, dasar si manja aku ini memang. Merasa kak Dewa yang sudah sepandai ini saja masih terus merasa kurang, lalu masa aku tak bergerak juga.

“Oke, belasan yang mana saja ‘kan? Tapi, aku nggak mau main tebak-tebakan. Kasih aku jawaban pasti.”

“Hahaha, oke siap! Belajar yang serius dulu kalo gitu.” Lagi, kepala yang diusap, eh, hati yang berantakan.

Jika memiliki pasangan hanya untuk dijadikan pajangan, eh, pacar untuk bersenang-senang. Maaf, bukan gayaku. Lebih menarik jika dia tak mengandalkan kekayaan orang tua dan memanfaatkan otak serta kemampuan sendiri yang dipergunakan untuk memikat hati lawannya. Yah, setidaknya juga mengimbangi diri yang banyak lubangnya ini. Hihihi.

***

Jadi, gaya kencan kalian modelan Lana ama Dewangga ngga?

Kalo author ya jelas, kencan ama Abim aja lah yokk nonton kebo bule 😭😭🤧 itupun kalo Abimnya mau gess 🫣

See you next chapter 😘

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang