Hai, hai, hello ... gimana hari minggunya?
Kok udah sore aja ya, cepet banget kalo libur tuh emang, apa cuma aku yang ngerasa gitu 🤧
Enjoy this part 🥰***
Untuk ukuran ibu-ibu yang sedang masuk angin berat dan lemas karena makanan di perut habis terkuras. Tabokan yang mendarat di pantatku masih cukup bertenaga juga. Asem! Aku salah kira rupanya, tadi ayah sedang memberi kerokan mesra di punggung ibu hingga gaduh begitu suara yang keluar.“Dasar, piktor!”
“Anak siapa?” suara berat ayah menyahut singkat, cukup menampar fakta.
“Nah!” Diimbuhi olehku agar lebih menekan kekompakan kami.
Ya, tentu saja panen tabokan lagi. Lumayan, kanan kiri dapat jatah jadi seimbang, masih ditemani ayah juga yang lengannya kini kemerahan. Mantap. Ibu masuk angin karena semalaman kemarin tak tidur. Aku jadi merasa bersalah, memejamkan mata dengan nyaman di balik kamar hangat yang disiapkan mama kak Dewa.
Apa boleh buat, semua sudah terlanjur. Hari ini mendung, awan kelabu bergelayut menutup cahaya mentari pagi ini. Bahkan, rintik hujan telah turun perlahan menyambut awal pagi. Maya tentu saja makin menggulung diri di dalam selimut, bersamaku.
***
Liburan ramai yang berakhir damai. Terasa cukup singkat, akhirnya mengantar perjalanan kembali pada kenyataan. Disini lagi aku berada, tempat dimana aku dititipkan untuk menimbang amal dan dosa. Hahahaha, serius banget bacanya woy!
Aku aja yang serius, sedang memilih dengan hati-hati sekumpulan kertas yang tergulung rapi di dalam sedotan. Kami sedang bertaruh, siapa yang hendak mewakili kelas dalam perlombaan siang ini. Seperti biasa, selepas liburan semester diadakan class meeting selama tiga hari berturut. Sudah banyak mantra yang dirapal dan saat terbuka gulungannya.
“Selamat kamu orangnya!” Pekik Puji sambil berloncatan kesana-kemari setelah membaca undian yang kudapat.
“Akh! Ama siapa nih?” Netraku mengedar mencari pasangan lomba nanti.
Seseorang sedang sibuk memakan lolipop yang masih berada di dalam mulut sambil mengangkat tangan tanpa suara. Padahal kami belum juga berbicara satu sama lain juga sejak saat itu. Iya, saat kikuk adegan mengembalikan jaket. Malah sekarang kami dipaksa kompak. Pasti tahu dong jika kami adalah sepasang kutub yang saling tolak menolak. Hargh!
“Abim, mohon kerjasamanya.” Kalimat tersopanku sambil menundukkan kepala di aula siang ini.
“Bentar, minta maaf dulu.” Abim mengulurkan tangan.
Tak begitu paham diterima saja, meski sambil mengerjap kebingungan. Ketimbang terkesan lancang, segera kuraih tangan yang tergantung tadi.
“Sorry, sempet kesel sama kamu. Baru inget mo minta maaf, itu pas di bale kambang.”
Oalah, kirain apa. Aku bahkan sudah lupa jika dia sedang kesal saat itu. Setelah mengangguk baru juga hendak melepaskan tangan, tetapi masih ditahan ternyata. Spontan kutatap netranya yang justru dialihkan sekarang.
“Sorry lagi, abai pas kamu panggil. Buru-buru ke toilet.” Setelah mengucapkan kalimat tadi, Abim segera berlalu menempati posisi berseberangan jauh disana.
Okey, kali ini abai yang mana? Saking seringnya diabaikan aku jadi lupa juga.
Kami sedang bersiap untuk permainan siang ini. Blind banana, sebuah permainan yang melibatkan dua orang dengan mata tertutup harus menemukan pasangannya. Kemudian salah satu dari mereka harus mengupas lalu menyuapkan pisang hingga tandas. Pasangan yang menyelesaikan misi dengan waktu tersingkat adalah pemenangnya. Abim sedang memakai hoodie abu dengan bordir namanya di bagian dada kiri. Mudah pikirku untuk menemukannya nanti.
Jarak kami cukup jauh, aku hanya harus berjalan lurus. Setidaknya itu yang tadi mampir di otak sebelum mata ini tertutup dan tubuh diputar sebanyak tiga kali. Limbung, oleng kapten. Kapalku kehilangan arah, tak tahu sedang berjalan kemana. Sorak sorai dari berbagai penjuru makin mengacaukan konsentrasi. Beberapa kali tersandung, ternyata sampai ke pinggir bagian penonton hingga hampir ambruk menimpa mereka. Aduh, maafkan. Pandangan sama sekali tak nampak apapun dan tak ada yang bisa diandalkan selain diri sendiri. Sama sekali tak ada yang bisa diraih oleh tangan.
Abim dimana ini woy? Aku jalan kemana? bibir mungilku rapat terkatup, tetapi hatiku berisik meneriakkan nama pasanganku siang ini.
“Weheeeeyy, nyampe juga kesini, emang bener-bener nggak mau dipisah ya, Lan?” Suara kak Janu terdengar dari sisi kanan.
Ah, aroma woody ini milik kak Dewa. Akh, tidak aku nyasar dong! Balik-balik, batinku terus mengumpati diri sendiri.
“Lurus, Lana dari sini lurus.” Suara lembut kak Dewa berbisik tepat ditelinga sambil memutar tubuhku pelan.
Tangan besarnya melepaskanku lagi, entah kemana harus menuju. Masih ramai dan riuh suasana disana. Tak tahu apa yang sedang terjadi dengan kami. Aku hanya menuruti kalimat kak Dewa. Terdengar di belakang, ramai nama kak Dewa dipanggil. Barangkali menerima banyak protes karena berbisik padaku tadi.
Tak berapa lama, aku terbentur dengan seseorang. Suara makin ramai terdengar, segera kuraba bagian dada kiri orang di depan. Namun, bukan hanya aku yang sedang mencari petunjuk. Dia juga sedang mencari petunjuk rupanya.
“Abim!” Ku panggil segera, setelah menyadari Abim tengah mencari cincin yang berada di jari telunjukku.
“Heh, iya, cepet!” Sialan tetep aja, dia lupa namaku.
Pisang yang berada di tangan segera terkupas, lalu sepertinya Abim berhasil menyelesaikan misinya. Sebab tak lama, Kak Mona—kakak kelas—membuka ikatan kain hitam di mata kami. Sedikit membuat netra menyipit sekian detik demi menyesuaikan cahaya. Abim dan aku memang sepakat untuk tak saling berteriak, bukan apa. Namun, teriakan tidak akan menyelesaikan masalah kami. Benar saja, suara teriakan sudah memenuhi ruangan sepanjang game berjalan. Berhasilkah kami?
Ya, lumayan. Kami ada di peringkat tiga. Setelah itu, Abim menghilang. Entah dimana, aku tak melihatnya dimanapun.
“Dasar, nggak mau banget rame sih hidupnya. Padahal seru.” Aku mengomel sendirian sambil berjalan ke arah Puji.
Akan tetapi, bulu kuduk tiba-tiba saja meremang. Dari mana asalnya hawa dingin yang baru saja lewat berusan. Seolah tak ingin menengok ke arah belakang, tetapi sangat penasaran. Bimbang, sekedar hendak menengok saja sangat terasa berat. Setelah berada di samping Puji yang sedang tersenyum sumringah siang ini. Puas sekali ekspresinya saat menyambutku.
Namun, raut mukanya terlihat tiba-tiba berubah juga. Mendadak sekali perubahan tadi.
“Puji, kenapa sih?”
“Awalnya, aku mau ngeledekin kamu deh, Lan. Tapi kayaknya nanti dulu, takut ama itu.” Puji menjelaskan dengan suara bisikan sambil menunjuk arah belakang dengan dagunya singkat.
Sangat terpaksa sekali aku akhirnya menengok juga. Disana, ada kak Janu yang sedang menepuk-nepuk bahu kak Dewa. Keduanya sedang bersandar di tembok, kemudian kak Janu berlalu menyisakan kak Dewa yang menatap tajam ke arahku. Tidak salah, tatapannya sangat mengintimidasi siang ini.
“Lan, kesana deh, Lan. Cepetan!” Puji mendorongku.
“K-kenapa emang, aku bikin salah apa sih, takut woy. Kok begitu kak Dewa?”
“Nih, nih! Liat nih!” Puji menunjukkan rekaman video saat aku bertabrakan dengan Abim tadi.
Sungguh, terperanjat juga saat melihat adegan barusan. Memang, dasar boncel! Puncak kepala ini tepat berada di bawah dagu Abim, sialnya saat bertabrakan tadi. Bukannya aku bertemu dada si Abim, justru bibirnya menyentuh puncak kepala mungilku terlebih dahulu. Akan tetapi, sumpah demi apapun kami tak sengaja bahkan, aku tidak merasakannya.
Sialan! Kok malah kak Dewa yang kesini duluan? mataku tak bisa lepas dari sosok yang kian mendekat.
***
See you next chapter ❣️
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
Roman pour AdolescentsBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...