POV ALANA TETEP
Kak Dewa bisa tidak, Anda ini biasa saja? Nggak usah ganteng begini sambil miringin kepala terus mendekat hingga membuat tubuh saya kaku, mirip kenebo kering begini. Kalau bukan buatan Tuhan, kali aja udah menggelundungkan diri ini bola mata. Astaga, Lana, fokus Lan! Tuh 'kan, jadi baku banget bahasanya juga. Error udah, menguap pergi nyawa juga tinggal satu di badanpun tak kuat diam.
Wajahnya sangat dekat, sekedar mengelap serempetan saos yang tak sengaja tertinggal. Namun, cukup membuat dada kiri bergemuruh seperti sekarang.
"Slurp."
"Kak, kok di-" aduh, nggak bisa ku lanjutkan kalimat barusan.
Dahlah, bye world! Iya, dia menyesap sisa saos yang berada ditangannya. Kemana perginya tisu disaat begini, kenapa pula harus basah duluan perkara embun dari minuman kami. Kamvrt, siwalan! Memang, selalu saja hilang saat dibutuhkan benar adanya.
"Kenapa sih, Lana?" Suaranya terdengar kalem dan tenang seperti biasa.
Nggak mungkin, dia pemain wanita? Apa dia memperlakukan semua seperti ini? Wah, run bestie!
"Kakak nih, jangan iseng mulu napa!" Hati bukan bahan candaan kak, aku takut lupa juga.
Aku datang untuk menuntut ilmu disini. Baru awalpun sudah ingin lekas selesai saja. Khawatir jika ditinggalkan dan terlupakan. Sosok ku kini jauh dari tempat yang dulu disinggahi, mengerikan. Tak ingin ada yang memporak-porandakan hatiku juga.
"Iseng gimana? Ah, ini tadi. Kelepasan sih, soalnya tiap sama Alana bawaannya nyaman."
Hah?! Gimana? Aku kini menghentikan aktivitas dan terfokus pada cowok di sebelah. Dia masih melanjutkan kunyahannya dengan tenang tanpa mengabaikan tatapanku. Iya, manik kami bertemu dan dia sesantai itu.
"Kenapa, kamu nggak nyaman sama aku?" E-eh, itu-
"Bukan, tapi anu ...." Ah, Lana kok gagap apa gugup sih? Kalimatnya gak karuan loh.
"Lana, kamu nggak mikir aku bakalan kayak gini ke semua orang 'kan? Ah, maaf, ke semua cewek maksudnya."
JLEB! Tepat sasaran. Jika ku tarik lebih jauh ke belakang selama kurang lebih tiga bulan ini. Memang aku jarang sekali melihat kak Dewa berinteraksi dengan lawan jenisnya. Saat kejadian MOS di aula waktu itu pun, dia hanya diam. Hening sendirian hanya menatap kami bertiga yang bercengkrama.
Dia hanya menggeser kursi ke arahku. Dia menunggu sendirian di sisi gedung sekolah sambil memegang buku. Dia menyapa dari balik pagar dan membersamai langkahku meski sebenarnya dia bisa saja berjalan lebih dulu. Dia, selalu mendekat padaku. Mengelus kepala, mencubit pipi, menyentil hidung lalu mengusap sisi bibirku.
Eh, sudah berapa lama aku sebenarnya memperhatikan anak lelaki jangkung ini rupanya? Lana, kamu tidak sedang tersipu, 'kan?
CTIK!
"Aw!" Sentilan mendarat di kening kali ini membuatku sedikit mengeluh.
Mata di depan sedang menatapku tajam. Bagus, setelah Abim ternyata disusul kak Dewa hendak merajuk juga?
"Alana, kamu boleh tanya apapun ke aku. Asalkan nggak boleh berspekulasi sendirian kayak gini. Paham?"
"Oke, tapi jangan isengin aku terus ya, Kak." Aku mengerucutkan bibir sambil mengalihkan pandangan darinya.
"Yaudah, kalo gitu mau di seriusin?"
Gila, yang bener aja! Berasa masuk perangkap kalimat sendiri. Bener ya, senior nggak pernah salah. Adik kelas salah kaprah! Baru juga melepaskan pandangan sejenak sudah harus adu tatap lagi ditambah pula dengan decak kesal. Namun, disambut dengan riang dan senyuman mempesona oleh kak Dewa.
Sungguh, jika diperbolehkan ingin sekali tambah merajuk. Akan tetapi, bukan makin menang rajukan di depan senior satu ini. Justru akan dibawa terjerembab berkali-kali.
Seperti saat itu, aku sedang berada di ruang reagen. Hendak mengambil salah satu botol cairan kimia, tetapi si boncel memang. Tanganku tak sampai. Kebetulan kak Dewa sedang berada di sana dan membantu pada akhirnya. Tahu tidak apa yang terjadi?
Yap, aku terperangkap di kungkungan badannya yang sedang sibuk mengambil reagen. Niat hati hendak melepaskan diri dengan mengucap sebuah kalimat tetapi yang terjadi justru di luar kendali. Nah, Alana mendadak puitis nan romantis.
"K-kak, maaf, misi dong aku ...."
"Gimana?" Kak Dewa memegang sebelah botol lalu menundukkan kepalanya ke arahku.
"Cakep!" Kak Janu menyahut sambil memotret kami.
"Okesip." Sahutan dari kak Dewa kemudian.
Aku masih berdiri kaku dengan rahang yang tak kunjung mengatup. Tak mengerti apa yang sedang terjadi barusan.
"Apa sih, Kak."
"Dapet wallpaper baru, kamu juga mau?" Suara merdu kak Dewa kali ini mengundang ribuan kupu-kupu memenuhi perutku.
Seribu pukulan juga diterimanya hari itu. Entah kenapa, tiap kali aku merajuk dan memukulnya justru dia terlihat bahagia telah berhasil membuat hidup juniornya tak tenang.
Bayangkan saja, foto kami benar menjadi wallpaper ponselnya. Entah sudah berapa banyak mata lain yang menatapku dengan sinis. Seolah berbisik, aku adalah seorang penggoda hebat. Akan tetapi, mereka perlu tahu. Bukannya malah tempe seperti sekarang ini. Eh, justru aku yang terus-menerus di goda. Tolong!
"Ck, mikirin apa lagi?" Suara kak Dewa menyeret lamunan panjangku kembali pada kenyataan.
"Enggak kok, Kak."
"Lana, jadi ke angkringan?" Aku menggeleng cepat sambil menyeruput minuman yang tersisa setengah.
"Em, kalo gitu mau kota-kota aja? Keliling Solo?" Anggukan antusias menyambut tanya barusan.
Aku lebih suka menikmati semilir angin kota ini ketimbang meledakkan perut mungilku. Ah, mungkin nanti jika lapar lagi. Aku bisa meminta kak Dewa menepi 'kan?
Kami beranjak dari sana dan melaju diantara banyaknya kendaraan di jalanan malam ini. Banyak muda-mudi yang menghabiskan waktu bercengkrama di pinggir jalan. Aku tak tahu hendak dibawa kemana kali ini oleh kak Dewa. Oiya, ini adalah pertama kalinya kami berduaan. Benar-benar hanya berdua, rasanya sedikit kikuk.
Tak beberapa lama, kami sampai di sebuah tempat asing bagiku. Terdapat trotoar dengan jajaran lampu dan bangku. Tak begitu terang, tetapi tak bisa disebut redup juga. Seolah menonjolkan ciri khas gaya klasiknya sendiri di tempat ini. Setelah turun pun aku masih terpaku pada satu patung yang berada di depan.
"Kenapa? Ini pasar Triwindu tapi jam segini tutup. Jangan diliatin terus patungnya, nanti pasangannya cemburu loh." Kak Dewa terkekeh sambil menjelaskan dan menunjuk patung satunya dengan dagu.
Aku mengikuti arah tunjuk tadi dan mendapati, patung perempuan yang berada di sebelah sana. Oh, patung saja berpasangan. Kamu kapan? Eh, maap.
"Nama sepasang patung ini, Loro Blonyo kalo nggak salah inget." Kak Dewa masih menjelaskan sambil sibuk mengamankan helm milik kami sekarang.
"Helmnya harus beneran disimpen, takut digondol maling." Kali ini dia beringsut mendekat sambil berbisik lalu meraih tanganku.
Mulus sekali, cara kak Dewa selalu saja luput dari perhatian saking halusnya mencari celah pendekatan. Terlanjur melekat rasa nyaman juga padanya. Masih sibuk menelisik tempat unik yang memanjakan mata. Terdapat sangkar burung berisi lampu disana. Serius, ini aku dimana ya? Kok cantik, kok bagus, kok ada tempat seperti ini di tengah kota?
Kak Dewa masih menggandeng jemari milikku tanpa suara dan aku masih berusaha menyeimbangkan langkah disampingnya.
***
Dimana lagi aja Lan? Tempat ini juga berkesan buat Author loh!
Wajib kesini kalo kalian lagi maen ke kota Solo. Pas malem lebih asoy sih meski pas siang pasar Triwindhu-nya buka.
Isinya barang antik nan unik semua loh
See you next chapter, jangan lupa tinggalin jejaknya yaaa guys mwahmwah 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
Teen FictionBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...