Bab 17

6 2 0
                                    

MASIH POV ABIMANTARA

Sungguh, aku pun terkejut dan tak sengaja menangkap momen mesra yang tak layak diumbar pada tempat umum seperti saat ini. Sebelum Alana menyadarinya, lebih baik kami berputar arah.

***

POV ALANA

Semalam, kepalang tanggung. Aku malah bercerita banyak hal yang tak perlu pada Abim. Anggaplah dia adalah teman dekat sekarang, entah bagaimana dengannya. Pagi ini aku terkejut karena dia membawa sarapan buatan ibu katanya lalu mengajak pergi ketempat ini. Baru juga mengagumi eloknya pepohonan di taman, eh, sudah dibawa berputar arah lagi.

“Panas, gerah, capek, laper.”

“........”

“Abim, jangan tidur ih!” Aku menggoyangkan badannya hingga manik hitam itu mengerjap.

Loh, beneran tidur, Bim? Demi apa? teriakan tertahan dalam hati.

“Makan disana mau?” Eh, nggak tidur ternyata dia dengar.

“Boleh, aku yang bayar, ya?” sahutku tak disambut.

Netra miliknya menatap tajam ke arahku. Hah? Aku melakukan kesalahan kah? Tak lama dia berdiri dan berjalan mendahului tanpa menoleh lagi. Kami menyantap mie ayam tanpa obrolan, setelahnya Abim berlalu begitu saja. Serius, aku ditinggal sendirian di meja. Saat berjalan ke kasir, entah sejak kapan makanan kami sudah dibayar oleh Abim. Ah, barangkali setelah memesan tadi. Aku memang pergi ke toilet sebentar.

“Abim, nih.” Aku menyodorkan uang padanya.

“Bayar bensin sekalian kalo gitu.”

Tak diambil, tanganku tak disambut juga. Dia malah mengenakan helmnya lalu memberikan helm untukku juga. Ah, padahal nggak masalah jika bergantian. Toh aku paham, kami masih sama-sama pelajar. Sepertinya, Abim tersinggung ya? Aku tak berani mengusiknya, hening duduk di jok belakang dan pulang ke arah kosan tanpa mampir kemanapun lagi.

“Makasih ya, Bim.”

“Hm.” Sedetik kemudian dia berlalu.
Tak kusadari, helmnya masih berada di tanganku. Yah, terlambat. Abim sudah menghilang di tikungan depan gang sana. Ya sudah, mungkin besok kami masih bertemu lagi ‘kan? Heh, kok malah jadi berharap sih, Lan?

Rumah kos masih sepi, tersisa dua hari lagi hingga libur usai. Ibu hampir tiap hari menelpon bersama ayah dan Maya yang tak berhenti berceloteh. Operasi berjalan lancar, ayah dalam masa penyembuhan. Oiya, tadi Abim juga sempat bercerita. Dia berhasil menemani bapaknya mengobrol santai pagi ini. Mereka bahkan, sedang merencanakan usaha bersama tadi.

Kalimat yang kita ucapkan mungkin saja terlihat sederhana, tetapi mungkin saja sangat dinantikan ataupun terasa istimewa bagi orang lain. Seperti ucap Abim semalam.

“Kamu udah hebat kok.”

Hampir saja terbang melayang berkat kalimat singkatnya. Aku dibilang hebat oleh peringkat dua paralel angkatan kami. Wuhuw, tunggu! Aku bahkan sudah berapa hari terus bersamanya sepanjang waktu. Padahal, bicara dengannya adalah hal yang sangat langka. Sungguh lelah meski hanya berjalan santai di taman. Akhirnya, mataku terpejam juga. Terbuai semilir angin yang menerpa wajah dari kipas angin yang terpasang di kamar..

Buaian mimpi indah membawaku menjelajah waktu. Banyak kenangan haru dalam hidup yang telah berlalu. Ah, sial, aku tak sadar sedang merindu! Sore ini aku membuka mata sedikit berat. Langit sudah menampakkan warna kemerahannya, cantik.

“Eh, ya ampun lama banget tidurnya. Mandi mandi, perawan apaan jam segini baru bangun, Lan,” omelku sendirian menuju kamar mandi untuk berbenah.

Ponselku hening, tak ada satupun notifikasi. Ya, memang semua orang sedang sibuk berlibur. Dasar aku saja yang memilih menyepi seorang diri pada akhirnya. Kuseret langkah keluar dari pintu kos demi mengisi perut kecil sore ini.

“Alana.” Suara merdu yang tak asing membuat aku menoleh ke arahnya.

“Loh, Kak Dewa, udah balik?”

“Kamu kok nggak bilang sama aku, kalo nggak pulang sih. Padahal tiap hari kita tukeran kabar loh. Aku kira kamu pulang, ya ampun, Lana.” Panjang banget kak?

Suara dan raut mukanya selaras. Terlihat cemas, nggak salah kan? Khawatir beneran ini, padaku? Memang aku harus mengatakannya pada kak Dewa? Pikiranku berkecamuk, sibuk menyahuti dalam hati.

“Hehehe, abis kakak nggak nanya sih. Terus kakak ngapa udah balik?”

“Mau nemenin kamu, bandel!” Kak Dewa menyentil ujung hidungku.

Kak Dewa selalu saja, melakukan hal-hal yang tak perlu. Sedikit tak enak hati ketika banyak orang yang memperhatikan bahkan, membicarakan tentang kami. Padahal kami berdua tidak terikat hubungan apapun. Lebih ke arah kakak kelas yang sedang baik dan perhatian pada adik kelasnya. Lebih tepat lagi, aku membatasi harapan agar tak terluka terlalu dalam nanti.

Orang jenis kak Dewa jelas banyak pesaingnya, apalah dayaku yang hanya butiran debu ini. Jangankan kak Dewa, Abim saja sudah banyak penggemarnya. Maklumlah, sekolah kami merupakan sekolah kejuruan di bidang kesehatan. Tak banyak kaum adamnya, lalu cakep dikit royokan.

“Eh tunggu, kakak tau aku disini dari sapa dong?”

“Em, ada deh … mau beli makan?” Sok misterius loh kak.

Aku mengangguk, sengaja ku lompati saja pertanyaan barusan. Mungkin kak Janu yang memberitahunya, pikirku. Rumah sahabat kak Dewa hanya berbeda gang ternyata dengan kos yang ku tempati. Sangat membuka kemungkinan kami untuk saling berjumpa meski tanpa disadari pun, bukan?

Kami akhirnya memutuskan membeli makan bersama. Aku mengganti pakaianku dan memantaskan diri sekilas. Maaf, nggak mau banget keliatan kucel kalau di sebelah kak Dewa. Takut semakin sering digoda.

“Yuk, Kak.”

“Alana dandan?” Kak Dewa tersenyum lebar menunjukkan barisan gigi yang putih rapi.

“Enggak kok, enggak.” Aku menggeleng cepat sambil memakai helm Abim yang tdi tertnggal.

Sial, wajah terasa panas. Aku hanya mengenakan bedak tipis dan memoles lip balm.

“Hei, tunggu bentar.” Kak Dewa mencekal dan menahan tanganku.

Netranya menelisik wajah yang kian terasa panas saat ini. Halal diseruduk tidak?

“Cantik kok, kenapa malu-malu sih.” Tolong, padahal tadi nggak pake blush on loh ini, pipi sudah macam tomat.

Refleks gendang telingaku terasa meledak dan reaksi tubuh lain sangat disayangkan. Aku tak terbiasa dengan pujian, sungguh. Saat ini kak Dewa sedang mengusap-usap lengan yang baru saja menjadi korban sasaran pelampiasan kebrutalan tanganku yang lepas kendali. Aku sibuk meminta maaf, tetapi meski mulutnya mengaduh dia terus saja tersenyum. Jahil!

Motor kak Dewa menepi di salah satu rumah makan cepat saji, setelah beberapa kali menawarkan pilihan makanan padaku.

“Kenapa nggak di angkringan aja, Kak?”

“Oh, mau pindah? Boleh, hayuk, kemana?”

“Eh, enggak, enggak. Ini aja, udah terlanjur pesen kan?”

“Yaudah, abis ini kalo gitu ya.”

“Kak, meledak perut aku.”

“Masa sih, aku cuma percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Kak Dewa mengusap ujung kepalaku gemas.

Ya benar juga, sepertinya perut mungil ini lapar setiap setengah jam. Dia tak pernah penuh meski diisi beragam makanan. Lebih heran lagi, seolah aku berhenti tumbuh. Tidak ke atas, tidak juga ke samping. Jadi, kemana perginya semua makanan yang masuk?

“Alana, makan yang rapi bisa?” Widih, suara kak Dewa memang best—

Wait, kamu mau ngapain kak? lagi, berteriak dalam hati.

***

Diapain lagi sih si Alana ama kak Dewa? Nggak bisakah dikit anggunly kamu ini, Lan?

Dahlah!
See you next chapter ya 🫦😆

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang