Bab 9

8 2 0
                                    

Heyho … kamu, iya kamu.

Aku ingin berterima kasih untukmu karena sudah sejauh ini membersamaiku dan karyaku
Kali ini babnya agak panjang dikit 🫣

Jangan lupa vote dan komennya, ya!

Enjoy💕


***
Yak, mata kami bertemu dan mengunci begitu saja. Sepertinya, mata seberang sana juga sama terkejutnya. Menandakan ini memanglah sebuah kebetulan semata. Tanganku sibuk menahan Puji yang hendak meninggalkan diriku seorang diri. Kedua sudut bibir sedikit terpaksa menyuguhkan senyuman canggung.

“Loh, Alana, ngekos di depan kah?”

“I-iya, Kak Dewa, baru pindahan, ya?”

“Diusir dia dari rumah, Lan, bangun paginya susah. Nyampe sekolahan mepet terus dia tuh.” Kak Januar tiba-tiba muncul dari dalam sambil mengomel.

Pukulan mendarat di lengan Kak Janu, tentu saja Kak Dewa pelakunya. Konon, Kak Januar adalah orang asli daerah sini. Mungkin saja rumahnya tak jauh, jadi dia membantu sahabatnya menata ruang barunya saat ini.

“Sama kak—” tanpa sadar kalimatku mengundang tanda tanya, “eh, maksudnya aku juga susah bangun paginya, ya Puji? Hehehehe … kami masuk dulu ya, Kak, permisi.” Aku melanjutkan kalimat sambil berpamitan.

Aduh, lidah memang tidak bertulang. Hampir saja kelepasan bicara hal random, dasar si bibir tipis! Sesampainya, di dalam kosan. Puji masuk ke kamarnya, sedangkan aku masih harus berjalan sedikit lagi. Kamar sepi tanpa penerangan, mungkin Rita belum pulang atau dia sedang pergi entah kemana. Pesan yang dikirimkan tadi juga belum terbalas.

Betapa jantungku hari ini melakukan senam yang luar biasa sejak pagi. Baru saja menekan tombol lampu sudah terlonjak saja hingga lemas rasanya tubuh saat ini. Rita berada di sudut kamar, sedang meringkuk diam memeluk lututnya sendiri sambil menyembunyikan wajah ayunya.

“Rita, astaga, kamu ngapain loh disitu, hampir berhenti berdetak ini jantungku, hei?”

“Rit, Rita … kamu nggak apa-apa, ‘kan?” aku makin mendekat dan mengguncang tubuhnya yang hening.

Perlahan Rita mengangkat wajah juga akhirnya, masih tak ada suara. Dia hanya menatapku dengan pipinya yang basah dan langsung saja memelukku erat. Meski tak paham maksudnya, tetapi rasa sakitnya sungguh terasa menjalar ke dada. Pelukannya semakin erat ketika ku belai lembut dari ujung kepalanya.

“Ish, jangan lama-lama nangisnya, luntur entar cantikmu loh, Neng!” Aku berusaha menghiburnya, bahuku terasa basah dia masih menangis rupanya.

***

Malam kian larut, akhirnya Rita sembuh dari lukanya sore tadi. Memang terasa berat di awal perjalanan seperti ini. Dia pun sama saja, jauh dari rumah untuk pertama kali. Parah lagi hari minggu kemarin keluarganya tak datang, jadi dia menangis karena merindukan ayah dan ibunya. Masih perlu banyak bersyukur menjadi aku, meski ibu tak nampak kemarin. Akan tetapi, ayah datang berkunjung sambil memastikan putri sambungnya ini dalam keadaan baik. Siapa bilang aku tak menangis? Tentu saja, tak sekedar mengeluarkan air mata. Jika bisa sudah ku peras darah dari kulit untuk menunjukkan seberapa sakitnya disini sendirian.

Namun, apa boleh buat? Jika ingin berhenti, seharusnya tak dimulai sejak awal. Penyesalan memang selalu berada di bagian akhir. Jika di awal namanya berubah menjadi pendaftaran, ‘kan? Tak ada pilihan, selain kami saling merangkul dan menguatkan. Di sini aku sedang belajar mendewasakan diri, tak sedini mungkin sih. Usia yang tertera sudah mumpuni untuk belajar mempertanggungjawabkan pilihan yang kemarin kami ambil sendiri dengan sadar. 

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang