“Tak ada manusia yang benar-benar sembuh dari sebuah luka, dia hanya mulai terbiasa. Ah, tidak juga. Hanya saja sandiwara mempermudah segalanya.” - Alana Widjaja -
***
Bagaimana kabarku hari ini? Tentu saja, baik. Perjalanan hidup terus berlanjut meski sedikit banyak ada yang berubah dari suatu masa yang berjalan. Tak pernah benar-benar terbiasa. Hanya mulai lebih nyaman hidup dalam panggung sandiwara. Sejak hari itu semua terasa berbeda, hariku mendadak sunyi. Sangat tidak seru, kesepian ditengah keramaian. Akhirnya aku sempat mencicipi rasa barusan. Padahal sebelumnya, tak pernah percaya jika itu memang dapat terjadi begitu saja.
Sela jemariku kini tak terisi, sosoknya menghilang tak berbekas dari muka bumi. Jarak diantara kami sengaja jauh dibentang. Demi memupuk rindu barangkali di kemudian hari.
“Hhhh ….” Aku melangkah sambil menghembuskan napas berat yang sedari tadi tertahan.
Suara riuh mulai terdengar kembali, kami sedang berebut bangku di kelas baru. Tak ada yang nyaman berada di barisan depan. Akan tetapi, seperti biasa. Puji sudah duduk dengan tenang di meja yang dipilihnya sambil melambai padaku.
“Puji, sekali-sekali duduk di belakang napa?” Aku protes dengan bibir mengerucut.
“Duduk di depan aja, gini juga masih belum naik lagi peringkatnya ‘kan?”
“MasyaAllah, Ukhti, mulutnya minta dikuncir.” Masih pagi sudah makan pedas saja.
Sejak hari itu, hampir tak ada yang berani menyebutkan namanya di depanku. Tak ada satupun yang menyinggung tentang hubungan kami. Mendadak redup dan menghilang seolah tak pernah ada. Terbawa pergi semua isu yang terdengar, menguap begitu saja. Namun, perhatian dan pelukan hangat selalu hadir tanpa pamrih saat diperlukan. Terasa seperti baru saja bangun dari mimpi indah yang panjang. Kerap kutangkap bandul yang bergoyang di tas.
Roda terus berputar, waktu terus bergulir tak terhentikan. Jika kemarin rapatan tanganku selalu ku kirim untuk seseorang yang tengah bergulat dalam ujian terakhir di balik bangku yang dingin. Kini rapatan tangan itu menyatu kembali demi kelulusanku sendiri.
“Datang, kerjakan, lupakan.” Aku masih terus merapalkannya, bentuk dari sebuah kebiasaan.
Waktu menegangkan telah mencapai di hari terakhir, segala bentuk ratapan tiap malamnya telah kami lewati bersama. Langkah ratusan siswa beradu di tanah yang kami pijak bersama. Siap menyambut hari esok kembali, masa yang baru menantikan kami.
“Alana!” Suara yang kukenal mencegah ayunan kaki selanjutnya.
Aku memutar tubuh untuk menyapa balik si pemanggil tadi. Netra kami bertemu, tangannya masih melambai di udara dengan senyuman di wajah ayunya. Sejurus kemudian, gadis ini berlari padaku dan langsung menyatukan tubuh kami rapat.
“Selesai, akhirnya. Kamu nerus kemana abis ini, Lan?”
“Masih disini, kalo keterima lagi sih, mau kemana kalo kamu, Rit?”
“Sukses ya, Lan. Aku bakalan kangen, soalnya jauh nih mau ke Surabaya. Biasa pindah dinas lagi.”
Terlalu lama membenci tak pernah baik ‘kan? Entah di hari keberapa saat itu, Rita berpapasan tanpa sapa denganku. Akan tetapi, cekalan di tangannya tak pernah keliru. Antara tak kuat juga menahan rindu, akhirnya kami memilih untuk saling mengadu hati dan bertukar rasa. Untunglah, masih ada sisa masa kami bersama dan menyudahi sebaik di awal kami berjumpa. Butuh jarak memang untuk menyadari sesuatu yang ternyata berharga. Yah, tetap saja butuh perantara.
“Puji mana?” Oiya, keana perginya kawan mungil satu tadi.
Kami celingukan bersama mencari sosok Puji diantara kerumunan manusia. Sulit, ini sama saja seperti meraba dalam kamar gelap. Sebab kami berdua sama mininya.
“Rita, Alana mana?” Mantap, ternyata aku lebih tenggelam.
Suara imutnya terdengar makin dekat. Aku memukul pantat gadis berhijab ini saat sampai.
“Kemana aja sih, nyelip.” Aku menajamkan tatapan.
“Ish, kamu nih maen nyelonong pergi aja. Buka hape napa!”
Datang langsung mengomel, gaya khas Puji banget sih ini. Segera membuka layar ponsel dan menemukan pesan tersemat dalam grup. Bola mata Rita membulat dan bibirnya ternganga setelah ikut mengintip pesan tadi. Aku? Kehilangan suara.
***
Kami sedang berdiri disini, mengenakan pakaian serba hitam mendampingi kawan kami yang masih hening dan bergeming sejak tadi. Sama sekali tak terdengar suaranya sejak kami sampai hingga kini peti mulai diturunkan dan tanah mulai ditimbun diatasnya. Abim masih diam menatap semua tanpa suara, tak ada juga air mata. Di tengah mengerjakan ujian tadi, memang Abim keluar ruangan terlebih dahulu ketimbang kami. Tak ada yang tahu akan berakhir begini hari ini.
Seharusnya menjadi hari yang membahagiakan karena berhasil melewati ujian terakhir. Akan tetapi, ujian sesungguhnya baru akan digelar setelah ini untuk Abim. Tanah sudah rapi menutup rumah terakhir ibunya. Bunga juga mulai ditabur oleh sanak saudara dan keluarga yang lain, bapak maksudnya. Aku mulai mendekat pada tubuh beku pemuda satu ini.
“Abim,” panggilan diabaikan, tatapan matanya tak lepas.
Aku mulai mengguncang tubuh pemuda ini agak kencang sambil terus memanggilnya. Tetap saja dia hening dan bergeming. Persetan dengan yang lain, dia harus mengeluarkan suara meski sedikit. Ini tak bagus jika dibiarkan. Tanganku terayun dan mendarat di pipinya.
“Abim, sakit bilang sakit. Nangis juga nggak apa-apa, kamu ini juga manusia! Bodoh!” Sialan, malah airmata ku menetes duluan.
Manik legamnya kini membalas tatapanku, terlihat genangan terkumpul di pelupuk mata. Isakan pelan terdengar lirih, pemuda tadi kian mendekat. Lalu ambruk berlutut di depan, aku menyusulnya.
“Alana, masih bisakah aku menyebutnya rumah? Meski tak ada dia di dalam?” Abim terisak, akhirnya.
“Tentu, kalau kurang ramai, nanti kami berkunjung. Ya?” Tentu saja aku hanyut dalam isakan milik si pemuda.
Isakan makin menjadi, tangis kami beradu. Siapa bilang pemuda dingin ini tak peduli? Dia bahkan, lebih hangat ketimbang semua prasangka orang lain terhadapnya. Mengenal sosok Abim perlahan membuat mataku terbuka. Jika tak semua harus disuarakan, terkadang hening lebih ribut dari yang terlihat. Banyak pelukan dari sekitar kami pada akhirnya, menenggelamkan semua suara ribut dalam kepala.
Setelah kembali dari peristirahatan terakhir tadi, kami sedang duduk bersama di teras rumah Abim. Bapak ditemani keluarga dan sanak saudara. Abim, tentu saja sedang bersama kami saling bercengkrama. Akhirnya ibu Abim sudah tak sakit lagi, Tuhan sudah memperhitungkan hari baik untuknya berpulang. Pemuda tadi kini mengambil duduk di sebelahku tanpa ragu. Hening, hanya kupandangi dari samping.
“Abis ini kemana, Bim?” basa basi busuk, Lan.
“Kayaknya ngebengkel aja sama bapak, Lan.” Heh, ingin rasanya berteriak karena namaku sedari tadi tersebut oleh Abim, akhirnya!
“Biaya rumah sakit, lumayan juga,” sambungnya sambil menunduk.
Aku tak banyak menyahuti, hanya anggukan sekilas. Yah, makin sepi saja hidup ini.
Tiba saatnya mengucapkan perpisahan pada gedung yang membersamai kami selama tiga tahun terakhir bersama seluruh kenangannya. Aku tak berhasil menemukan Abim hari ini, masih bisa sangat dimaklumi.
***
Sumpah, serius, dikit lagi ya ya ya ...
See you 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
Teen FictionBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...