Bab 48

0 0 0
                                    

POV ABIMANTARA

Sialan, apa kurebut saja sekalian kalau begitu. Biar jadi benar semua yang dikatakan barusan. Sebenarnya apa yang salah duduk bersebelahan dengan teman. Jika memang dia sangat takut aku mengambil kekasihnya, kenapa tak disekap dalam gudang saja? Jadi tak ada yang melirik barang sekali.

Alana memang istimewa dengan caranya sendiri. Aku mengakui, gadis mungil ini sangat menarik. Tak lantas menjadikan dia seolah barang seperti tadi, yang bisa diambil dan dilempar kapanpun. Terlalu berharga jika hanya dinilai karena rupa. Dia memiliki sisi lembut dan perhatian yang tak semua orang sempat mengingatnya. Seperti saat kuberikan hadiah murahan yang kini tergantung di tas bersama rajutan koala kecil.

Sepertinya rantai kalung kian usang, sehingga ia mengambil bandul bintang yang disulap menjadi gantungan kunci. Terkesan sepele, tetapi dia menghargai semua dari hal kecil. Aku menyukainya, em, cara Alana. Namun, apa kata pemuda angkuh tadi?

“Kamu nggak akan bisa ngambil Alana, dia milikku. Mengerti?!”

Aku hanya mendengkus dan mengalihkan pandangan saat kak Dewa mencengkram kerah kemejaku. Tak ada perlawanan, ketimbang memiliki catatan merah lagi.

“Jangan coba dekati dia, paham?!” pesannya sebelum kemudian melepaskan cengkraman dan mulai berlalu.

“Ck, Alana bukan barang, Kak.” mulut sialan, malah nyaut.

“Nggak usah sok jago, jadi pelindung dia! Aku udah cukup!” Netra Kak Dewa terlihat berkilat.

“Sayangnya Alana nggak butuh, dia bisa kok ngelindungi dirinya sendiri.”

Jika pemuda tadi sungguh mengenal Alana, dia tak mungkin mengatakan hal tadi. Sudah jelas gadis ini memiliki pendirian yang tajam, atau memang dia melemah kala berhadapan dengan sang kekasih? Jika iya, hubungan tersebut pasti ada yang salah, bukan? Aku tak begitu paham konsepnya.

Rasanya Dewangga juga cukup membuat orang di sekitar Alana berubah, Puji misal, kini jarang terlihat bersama. Apalagi Rita, dia seolah hilang dari edaran pertemanan mereka. Hubungan keduanya terlihat sangat renggang, yah, rumit untuk dimengerti bagiku. Untuk apa merebutkan satu orang yang bahkan, menyembunyikan wajah asli di balik topeng. Sudah sekian kali dia menghampiri untuk hal yang tak diperlukan. Bagaimana kami bisa berjarak jika masih terikat hubungan teman sekelas, aneh.

Aku juga tak melakukan hal apapun yang mengusik hubungan mereka ini. Pertemanan diantara kami masih dalam batas wajar. Kecuali jika aku telah menyatakan perasaan juga pada gadisnya. Ah, apa barusan? Maksudnya, jika itu terjadi. Akan tetapi, tak terjadi juga kok hanya sebatas mengagumi gadis periang ini saja.

Baru hendak kembali, manikku menangkap bayangan sepasang kekasih itu keluar pagar sekolah. Menuju arah kosan mereka.

“Cih, segitu takutnya. Dasar posesif,” gumamku sendirian.

Setelah beberapa saat merampungkan bagian. Segera kawan yang lain melanjutkan susunan presentasi yang tadi dikerjakan penuh oleh Alana. Kami selesai sebelum petang dan berpisah ke arah pulang. Hari ini aku bertugas merapikan rumah, ibu akan pulang.

“Buk, sini langsung ke kamar? Abim ambilin buat elap aja ya, udah malem.”

Ibu mengangguk pasrah, setelah membantu bapak membaringkan ibu di kasur. Aku beringsut pergi mengambilkan ember dengan air hangat dan kain untuk membasuh tubuh ibu yang lengket sehabis perjalanan. Barangkali lebih segar dan nyaman untuk melanjutkan istirahat malam ini. Kuletakkan ember tadi di lantai, bapak bagian membantu hal lainnya. Beres berbenah, bapak menyusul duduk di teras bersamaku.

Tak beberapa lama terlihat kepulan asap dari samping. Iya, bapak merokok lagi. Padahal sudah lama berhenti.

“Pak, ngebul lagi aja?”

“Satu aja, Bim.”

Terlihat guratan lelah, emosi dan berbagai macam hal lain tak mampu terucap. Sepertinya bapak sengaja menahan untuk diri sendiri. Sinyal yang tak sengaja tertangkap olehku tadi membuat kami menghembuskan napas berat bersamaan kemudian saling melempar pandang. Sejurus kemudian kami terkikik pelan.

“Kenapa? Sekolah sulit?” tanya Bapak.

Aku menggeleng pelan dengan senyum tipis. “Bapak sendiri kenapa, ibu aman?” Terlihat anggukan samar dengan lesung pipit yang tercetak jelas di kedua pipinya.

“Buka bengkel aja yuk, Pak. Nanti Abim bantuin.”

Terdengar tawa dengan suara beratnya. Tanpa diberitahu pun aku mengerti kegelisahan yang bapak tanggung saat ini. Biaya rumah sakit tak murah, mendapat keringanan dari pemerintah pun tak mudah. Belum lagi biaya sehari-hari, lalu ongkos yang lain juga. Pengobatan ibu tak kunjung usai, kini tubuhnya semakin kurus saja.

“Kamu harus sekolah yang tinggi, Bim. Biar nggak kayak bapakmu ini nanti.” Pesan bapak malam ini akan selalu kuingat dan ku upayakan terwujud.

Sampai di batas otak menyerah untuk berpikir lagi. Dia sudah diperas sejak kecil, kapasitasnya makin sempit saja. Siapa bilang tumbuh dewasa menyenangkan? Sesat yang ada. Semua hal harus selalu diperhitungkan, nah, boro-boro kepikiran Alana. Loh, barusan apa jika tidak dipikirkan. Akh!

***

“Ris, Haris, Haris … kampret heh! Anak jurig!” terlambat dia sudah berbelok menghilang di balik pintu.

Sialan, iya bener sih aku kuat mengangkat tumpukan buku ini sendirian. Akan tetapi, yang benar saja? Masih ada box praktek dan jas lab, belum lagi ransel yang harus kubawa. Tetap saja sendirian memang tenang, tetapi terkadang tak menyenangkan juga, woy! Terpaksa aku menenteng mereka sendirian berjalan perlahan.

Sedikit tertatih aku menuruni tangga untuk berpindah ke gedung sebelah. Sudah hati-hati, tetap ada saja orang lain yang tergesa. Hendak menyalahkan siapa? Angin yang berhembus barusan? Menghindari tabrakan justru membuat tubuh limbung hampir terjatuh. Ah, tak jadi? Aku sudah memejamkan mata. Eh, ada yang menahan di balik tumpukan.

“Abim, kisruh banget sih, ampun. Siniin sebagian!” Suara Alana terdengar meski sosoknya tak terlihat.

“Pendek banget sampek gak keliatan.” Keceplosan, dia sekarang menatap tajam dengan pipi menggembung menahan gerakannya.

“Eh, eh, maaf, maaf … jadi minta tolong. Pegel banget ini serius.” Mendadak rengekan mengalir keluar dengan tatapan memelas.

“Untung aku baik hati, ramah, pemaaf dan tidak sombong. Huh!” Meski mengomel dia tetap mengambil sebagian buku dari tanganku.

Dia bahkan menenteng box praktek yang tadi tergantung hampir merosot jatuh di tangan kiriku. Sampai juga akhirnya di lorong praktikum. Buku tadi dikumpulkan ke dalam ruangan.

Haish, pantesan kerasa merinding, ternyata ada yang sedang mengawasi kami dengan tatapan angker di ujung lorong, batin ku.

Mendadak adu tatap jarak jauh. Entah kenapa terasa seperti menang ketimbang dia yang berada jauh di sana. Hai, perkenalkan aku Abimantara teman sekelasnya. Banyak waktu yang dihabiskan Alana bersamaku ketimbang denganmu yang sekarang juga sedang sangat sibuk persiapan ujian kelulusan. Selamat terbakar, lihat aku bisa duduk di sebelahnya. Bahkan, aku juga bisa melakukan ini.

“Rambutnya masih keluar ini.” Aku sengaja menyelipkan helaian rambut yang terlepas dari ikatan pita Alana.

“Iya, nanti dirapihin.” Alana menepis tanganku pelan, dia masih sibuk membaca prinsip dasar praktikum kali ini.

“Ck, sini aku kuncir ulang.” Risih juga ternyata setelah diperhatikan dan harus menunggu nanti.

***

Se-panjang aku garap ini novel, aku paling suka part ini ...
MENYALA ABIMKUUUUU 🔥🔥🤣

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang