Bab 15

7 2 0
                                    

Henlo, there Nichi here 😆

Selamat hari Sabtu, semoga puasanya lancar manteman semuaaa
Semoga suka bab kali ini ya
Selamat membaca, jangan lupa vote komennya ya, enjoy 💕
***

POV ALANA

Demi apa, ini anak memang irit banget sih. Sampai ke ekspresi yang terkontrol, udah gitu jarang senyum mana tanggapan dari sekian kalimat panjang dengan penuh perjuangan ku susun tadi hanya kata ‘oh’ saja. Luar binatu, eh, binasa. Ah, luar biasa!

“Bim,” sengaja ku panggil namanya.

Nggak berharap dia menoleh, sungguh. Sebab, menoleh pun dia tak akan menatap balik dengan benar.

“Hm?” sahutnya singkat tanpa mengalihkan tatapan lurusnya.

Bagus, sesuai dugaan. Halal buat ditampol nggak sih ini orang? Gemes banget ya, Tuhan! Santai sekali dia menanggapi segala kemelut di hatiku ini, padahal hanya dia seorang yang mendengar bisikan terdalam dari hati barusan. Sebenarnya, aku juga tak mengerti kenapa dia tiba-tiba akrab begini. Em, bisa disebut akrab tidak sih?

“Musuhan yuk.”

“Kan udah.” Padet ya, Bim.

Jadi, ternyata kita rival, baru sadar. Menyedihkan, aku mulai beranjak dan berjalan menjauh. Coba tebak, cowok satu ini ngapain?

Yap, melirik sekilas saja. Asik, aku berhenti melangkah lalu memutar tubuh lagi. Memastikan dia masih bergeming di tempatnya.

“Jangan tahan aku!” Lana udah gila, kagak ada yang nahan, Lan!

Aku melihat Abim sedikit menahan tawanya (lagi) padahal tak masalah jika dia ingin tertawa sekarang. Tapi, yang benar saja. Dia membiarkan aku melanjutkan langkah tanpa berusaha sedikitpun mencegah. Sudah kepalang berjalan, ya sudah lanjut. Niatnya hendak mencari tukang becak ataupun ojek setelah ini.

Terdengar suara mesin motor melambat di sampingku. Disusul ternyata, kirain beneran ditinggal atau dibiarkan begitu saja. Sudah hampir lemas, mana abis kepedesan pula. Tambah keringat sebesar biji jagung. Lumayan, olahraga malam.

“Butuh ojek nggak, Neng? Lagi kosong nih.”

Heh, serius ini Abim? Suaranya sih iya. Langsung aku menoleh untuk memastikan. Benar, ada senyum jahil terlihat samar tertutup helm. Sialan, punya sisi begini juga rupanya. Jual mahal dikit, Lan. Dia masih mengimbangi langkah kaki ku.

“Bonus bakso bakar, tapi nggak boleh yang pedes. Boleh tambah es teh,” tawarnya.

Aku berhenti melangkah. Sedang menimbang kalimat barusan. Belum juga satu menit berlalu sudah disusul lagi kalimat baru.

“Segelas berdua ya … uangku abis,” imbuhnya.

Tak bisa, aku memang sangat receh. Tolong, siapapun ingatkan aku agar tak semurah ini lain kali, eh, berasa cewek apaan heh. Tak bisa lagi tertahan, tawa meledak begitu saja. Memangnya, siapa yang minta dibayarin terus. Dia sendiri yang sok gagah, ah, Abim.

“Aku yang bayar, yuk, cuss!” Aku sudah mengenakan helm dan berada di jok belakang.

Tak butuh waktu lama untuk sampai ke tempat tujuan kedua malam ini. Lumayan ramai, tak seperti kemarin. Kami memilih duduk di salah satu alas yang di gelar dekat tukang bakso bakar langganan Abim.

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang