Bab 47

0 0 0
                                    

Terasa ada yang janggal sekarang, meski hubungan dengan kak Dewa berjalan seperti biasa. Tetap saja, di hati terasa berbeda. Hubungan dengan Rita jelas tak membaik. Bahkan, teman sekamar itu kini telah resmi meninggalkan kosan. Berpindah ke tempat lain. Kemudian entah dari mana beredar kabar tak menyenangkan terdengar. Biasa di sini, tembok memiliki telinga dan mulut. Kesalahanku adalah melupakan tempat saat sibuk berdebat dengan kak Dewa kemarin.

Ada saja telinga dan mulut nakal nan usil yang sengaja ataupun tidak, menguping lalu membubuhkan sedikit bumbu agar enak untuk digoreng. Kemudian yang menikmati pun tak peduli kebenaran yang sesungguhnya terjadi. Puji yang berusaha mati-matian membela pun tak pernah dihiraukan, lagipula cukup diam saja sudah salah. Apalagi makin berulah, semakin tajam saja bumbu cabai yang dibubuhkan.

“Biarin ajalah, Puji, entar juga pada capek sendiri.” Lebih pada penang untuk diri sendiri.

“Ya kali, ngerebut. Padahal udah jelas dari awal, Kak Dewa yang ngedeketin kamu dulu.” Kalimat Puji memang tak salah.

“Pada lupa kali, lagian dibanding Rita emang aku cuma remahan rengginang di toples kh*ng guan.” Ya, anggap saja begitu.

“Asem, nyasar banget.”

“Ya ‘kan?” Terus saja kami bergurau, meski keadaan kian pelik.

Apa boleh buat? Resiko mengencani kakak kelas populer, ditambah lagi ternyata saingan teman sekamar sendiri. Sudah begitu jelas kalah perbandingan langit dan bumi. Rita jauh lebih jelita ketimbang diriku yang berparas pas-pasan. Otak juga tertinggal jauh dari antrian. Wassalam, jelas sekali kak Dewa dipelet! Modal ceria dibalut gaya khas centil nan jenaka. Mereka lupa saja, standar kecantikan tiap orang berbeda.

Misal kucing yang hidungnya pesek pun laku dengan harga mahal kok. Ah, lupa lagi, sayangnya aku ini manusia ya. Aduh, pusing. Tugas mulai berdatangan minta segera diselesaikan. Ternyata undian kali ini mempertemukan kembali aku dan Abim.

Sebenarnya hubungan dengan Abim memang cukup membaik, hanya saja tak biasa kami duduk sangat berdekatan hingga berbagi earphone di dalam perpustakaan seperti saat ini. Iya, di saat kebanyakan penghuninya kelas dua belas yang hendak menggelar ujian dalam beberapa hari mendatang. Abim masih serius membaca halaman demi halaman, sedang aku malah sibuk menelisik lembaran buku hanya dimainkan. Bau buku baru yang menyenangkan buatku.

“Heh, nyatet laporan sekalian.” Abim menyentil lenganku.

“Udah kemarin, kamu belom emang?”

“Belom, ibu masuk RS lagi.” Tanpa mengalihkan pandangan Abim menyahut.

“Bim, serius?” Abim hanya mengangguk acuh tak acuh.

Entah sudah kali ke berapa, ibu Abim masih berjuang. Tentu, harus terus berjuang. Beliau masih ingin mendampingi Abim dalam wisudanya nanti. Apalagi si manis jembatan reyot ini masih saja setia di peringkatnya.

“Tapi sekarang gimana?”

“Semalem udah nyenyak sih tidurnya, besok kali pulang.” Masih sambil sibuk mencatat.

“Bim, ibu pasti sembuh kok.” Aku menepuk singkat bahunya.

Abim tersenyum tipis menunjukkan lesung di pipi, sambil mengangguk. Kemudian menekuni kembali buku catatan. Sudah lama, tidak duduk berdua dengannya begini. Aku selalu saja merasa, pemuda di sebelah terlihat lebih santai jika sedang mengerjakan tugas. Dia juga lebih menikmati waktu jika hanya berdua, kami terlihat cukup dekat. Kalau hanya dipandang sekilas seperti sekarang.

“Aduh.” Pukulan pulpen mendarat di puncak kepala, adegan yang tak asing.

“Jangan ngeliatin mulu, aku udah kebakar!” Abim melirik ke arah lain sekilas.

Tanpa sadar sedari tadi aku memandangi paras (sedikit) elok Abim dari samping. Sebenarnya kalau boleh jujur, pemuda satu ini memang sangat menarik. Kulitnya cenderung kecoklatan, tetapi lesung pipi dan senyuman yang dia punya memikat. Andai saja dia hobi tersenyum ya, sayangnya dia ini tipe manusia dengan senyum bisnis. Nah, bagian lain yang terlupakan adalah ternyata sejak tadi kak Dewa berdiri di antara rak dan sedang mengamati kami. Berjingkat tubuhku karena kaget ditatap oleh mata elang itu. Kemana perginya ramah-tamah kak Dewa saat seperti ini?

Segera kuberikan senyum termanis sambil melambaikan tangan dan membisikkan kalimat dari jauh. Penjelasan singkat mengapa aku berada disana dengan Abim. Sedang sibuk mencari pembahasan untuk laporan yang hendak dikumpulkan. Entah diterima atau tidak alasan tadi, sudah dijelaskan sesuai fakta.

Sebenarnya masih menjadi tanda tanya yang besar, mengapa keduanya sempat bersitegang waktu itu? Kemudian satu pertanyaan lagi, Kak Dewa terus saja terusik pada sosok Abim yang berada di sekitarku. Bagaimana tidak di sekitar, jika kami satu kelas begini? Memang kami duduk bersebelahan di perpustakaan penuh ini, tetapi di depan ada teman kelompok yang lain juga kok. Sungguh, aku berada di sebelah Abim karena ingin mendengar musik bersama sedang earphone ku sendiri tertinggal di kamar kos.

Terdengar ketukan meja membuyarkan lamunan kembali. Aku segera menatap pemuda di sebelah.

“Fokus! Makalahnya aku yang bikinin, kalian susun presentasinya aja. Yang ini tolong masukin ke slide juga.” Abim membagi tugas untuk kami.

Seperti biasa, dia lebih suka menulis naskah ketimbang membuat tampilan warna-warni. Kami hanya mengangguk lalu fokus kembali pada buku di depan. Abim mulai memberi tanda kemudan jemarinya menari dengan lincah diatas keyboard laptop di depannya.

Sesekali aku mengintip, memang berbeda kapasitas otak kami sangat terlihat jelas. Aku mengambil beberapa yang diperlukan juga untuk dimasukkan dalam presentasi dari paragraf yang diberi tanda oleh Abim. Dia bahkan mencatat hal yang harus kami pelajari untuk presentasi nanti. Jarak kami makin dekat, beberapa kali bahkan Abim memundurkan diri agar aku mudah menjangkau buku di seberang.

“Nih.” Tangan Abim menyodorkan ikat rambut padaku.

“Hah? Ketemu dimana?”

“Jatuh di lantai.” Ya kali, Bim!

Segera kuikat rambut yang mengganggu sejak tadi. Kembali hening dan fokus pada tugas masing-masing. Beberapa saat kemudian tak terdengar suara musik di telinga. Berhenti mendadak, tetapi sepertinya pemilik ponsel tak menyadari saking fokus mengarang cerita. Eh, menulis naskah untuk makalah kami maksudnya.

“Bim, Abim.” Aku menyentuh sedikit lengannya.

“Hm?” Singkat sekali ya.

Dagu menunjuk ponsel yang menyala di atas meja tanpa suara. Tertera nama kontak disana. “Bapak” melakukan panggilan pada putranya. Tubuh pria di sampingku justru membeku. Kemudian menutup wajah dengan sebelah tangan sambil mendesah. Sedikit kutangkap kegelisahan hati pemuda ini.

“Abim, ibu nggak apa-apa, ayo angkat!” bisikku dengan nada perintah sambil menggoyangkan tubuhnya sedikit.

Akhirnya manik kami bertemu. Ah, manik legam itu terlihat sendu. Sejurus kemudian dia berlalu keluar ruangan untuk menerima panggilan barusan. Cukup lama dia tak kembali, hati ikut harap-harap cemas.

“Napa sih, Lan?” Tika menelisik.

“Ibu Abim masuk RS lagi, eh, bapaknya nelpon.”

Hening, setelah penjelasan tadi. Kami semua tertunduk, rasa cemas yang terbagi cukup menyita perhatian sore ini. Hingga tak kusadari, seseorang duduk di sebelah diam mengamati. Mendadak sela-sela jemariku terisi.

“Udah? Pulang yuk!” Ajak kak Dewa sambil menggenggam erat jemariku seperti biasa.

Tak ada pilihan, ketimbang membuat suasana gaduh dan menjadi pusat perhatian. Kami memilih berpamitan akhirnya. Sebelum benar pergi, aku menengok sekali lagi mencari keberadaan Abim yang lenyap entah kemana.

***

Again, see you next part please 👀

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang