Bab 46

0 0 0
                                    

Oke, baiklah kali ini harus berhasil mengendalikan diri. Malam sudah kian larut, minggu depan jadwal ujian mereka sudah akan digelar. Tak baik jika ganjalan terus ditunda, ini tak akan menjadi boomerang ‘kan? Setelah berhasil mendapatkan napas kembali dan menarik diri dari tempat ternyaman saat ini. Aku mengawali pertanyaan tentang hubungan mereka—Kak Dewa dan Rita.

“Ah, tunggu, kalo cuma tanya tentang Rita, kenapa kamu nangis sih? Kamu denger apa memangnya?” Kak Dewa dengan tatapan menyelidik.

“Jawab dulu, Kak.” Aku meremas lengannya pelan.

“Iya, emang Rita nggak ada cerita ke kamu? Meski memang nggak ada yang perlu diceritakan, sih.”

Enteng banget sih, Kak? tetap saja hanya bisikan di hati.

“Jadi, Kak Dewa tau kalo Rita nyimpen rasa ke kakak?”

“Hah? Apa? Gimana? Aa-Alana, tunggu dulu, tunggu ….” Mendadak pemuda di depanku tergagap.

“Iya, Rita—”

“Alana, tunggu, denger dulu dengerin aku. Sayangku, denger ….” Telunjuknya berada tepat di bibir tipisnya sendiri, sebelah tangan kak Dewa menahan pergerakanku.

Setelah memastikan aku tenang dan memperhatikan. Kak Dewa menatap lurus dan mulai mengatur napas yang tadinya terdengar kasar juga. Baik, telingaku terpasang dengan baik sekarang.

“Aku nggak tau, kamu denger dari mana tentang perasaan Rita, tapi kamu perlu tau kalo kami gak ada hubungan apapun, Alana. Iya, bener kalo kamu denger kami pernah bertetangga atau sebutlah teman masa kecil dulu. Iya! Tapi, sebatas itu aja nggak lebih. Rita pindah sejak masuk sekolah dasar terus nggak ketemu lagi sejak itu sampai hari kemarin. That’s it!” Keterangan Kak Dewa tak juga meredam gundah hatiku.

Tak ada suara setelahnya, aku masih menatap lekat ke dalam mata pemuda di depan. Hening dan sibuk menelisik kebenaran. Lebih tak tahu hendak melanjutkan ke arah mana, tersesat.

“Oke, aku minta maaf nggak pernah bilang tentang ini, tapi aku baik ke dia karena ngerasa dia temen kamu, udah itu aja. Ah, dia selalu kirim pesan memang, tapi pembahasannya ya kamu. Mau lihat?” Kak Dewa mulai beralih ke layar ponselnya.

Hah? Pantas saja, Rita kerap terlihat kesal pada ponselnya dan menjaga jarak dari aku, masih untung hanya ponsel yang dibanting kemarin, sesal hatiku.

“Nggak usah, Kak.” Aku menutup layarnya.

“Alana, lihat nggak apa kok. Beneran, serius nggak apa-apa, mau kamu bawa ponsel aku juga boleh.” Kak Dewa masih berusaha meyakinkan lagi.

Namun, gelengan kepala sekian telah diterima. Bahkan, saat ini ponselnya berada di tangan dengan layar yang telah terkunci kembali. Lalu kugeser pelan ke arahnya sambil mengangguk tipis. Saat ini kali kedua kak Dewa terlihat gusar, maniknya sedikit bergetar dengan deru napas yang kembali berat dan terdengar sedikit tertahan. Biar kutebak, dua tangannya akan menelungkup di wajah dan mengusap secara kasar hingga belakang kepala.

“Alana ….” Setelah panggilan tadi, dia melakukannya.

“Aku denger langsung dari Rita, Kak Dewa, aku—”

“Cukup, Lana, cukup. Berhenti disitu! Aku nggak mau denger lanjutannya.” Tangannya mencegah kalimatku.

“Kak, Rita nggak di kos udah tiga malem ini.”

“Aku nggak peduli, dia ada dimana.” Suara Kak Dewa terdengar kasar.

“Kak Dewa!”

“Aku nggak mau tau tentang Rita atau siapapun selain kamu, Alana! Enggak!” Pertama kalinya aku mendengar nada tinggi keluar darinya.

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang