MASIH POV ABIM TEROS
Yak, setelah terserap habis energi malam ini masih di serang lagi dengan drama per-foto-an yang tak kunjung usai. Sedang apa mereka ini? Begitu suka mengambil gambar, denganku! Jika ditolak, terasa segan juga berkata tidak melulu. Jika dituruti, tubuh yang makin melemah. Semua sudah berbenah dan bersiap pulang. Kulirik, Alana sibuk cekikikan dengan Puji menatap layar ponselnya.
“Udah, ya? Yang lain udah pada mau pulang tuh, dah malem juga ini.” Demi apa, kalem amet yak?
Bukannya kalem, udah lemes banget serius. Aku berjalan gontai menuju meja Lana lalu mengetukkan telunjuk.
“Eh, udah? Yuk!” Dia melambaikan tangan pada Puji yang juga berlalu kemudian.
Aduh, cuma nungguin aku ini tadi? batinku.
“Sibuk banget, udah kayak selebgram.” Mulai deh, mulai.
Aku tak menanggapi, sudah tak ada tenaga. Alana lanjut naik ke jok belakang. Sekilas nampak di kaca spion.
“Heh, nggak bawa jaket?” Aku membuka helm lagi, takut dia tak dengar.
Alana menggeleng, “Enggak, yuk lanjut. Keburu tambah malem.”
“Ck.” Aku melepas jaket yang kukenakan akhirnya.
“Eh, nggak usah, Bim.”
“Baju kamu tipis begitu, pakai!”
***
POV ALANA
Selain kak Dewa, ada satu makhluk yang kerap tidak baik untuk kesehatan jantung. Abim. Yang sebelah sana lemah lembut tuturnya, perhatian, tatapannya teduh, menenangkan. Yang satu darderdor, astaga. Nggak bisa emangnya ngomong nggak pakai gas, ngueng begitu. Sungguh, terlalu. Ketimbang sibuk berdebat, aku pakai juga jaketnya.
Padahal, bajunya sendiri tanpa lengan. Dia mengeluarkan lagi kemeja yang dikenakannya di bagian luar tadi karena jaket sedang kupakai.
“Kan, jadi ribet bin ruwet kamunya.”
“Better daripada kamu kedinginan, ‘kan?”
Siapa yang makein aku blush on malem-malem begini hoy! Udah mirip tomat ini kayaknya. Pipi terasa menghangat. Selamat tertutup helm.
“Ini Abim?” Kuputar kepalanya hingga ke arah belakang.
“Ah, sakit.”
“Eh, maap, maap, replek.” Kami kemudian melaju bersama yang lain ke tujuan masing-masing.
Sepertinya Puji sudah lebih dahulu tadi. Tak ada obrolan sepanjang jalan, tanganku sibuk meraih kemeja Abim yang tak terkancing, sudah tak sempat tadi. Pelan, tangan bergerak lincah mengancingnya tanpa diminta. Sedikit lancang memang, tetapi ketimbang tugas si kemeja sia-sia ya, ‘kan? Lampu merah, aku masih sibuk mengancingkan bagian perutnya.
“Ehem, uhuk, ohok, pepet teros.” Haris terdengar menggoda kami.
Abim mencekal tanganku yang hendak menarik diri, spontan. BRUK! Heh, kenapa malah ditarik, anak kamvret!
“Jiakh! Malah pamer, peluk mana peluk untukku!” Haris menggeliat bersama Rudi dibelakangnya.
Ternyata, bentuk candaan anak cowok cukup mengerikan. Alih-alih memukul Abim, kaki pendek ini justru menyentil sedikit motor Haris. Memang nggak bisa anteng. Arah kami terpisah di pertigaan setelah gedung sekolah, Haris berbelok ke kanan sedangkan kami ke kiri. Bunyi klakson tanda berpamitan terdengar. Sesaat kemudian, motor Abim menepi sampai di depan gerbang kos.
“Thanks, ya.” Aku turun sambil melepas jaket.
“Bawa dulu aja.”
“Eh, yaelah udah—”
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
Teen FictionBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...