Bab 44

0 0 0
                                    

“Semua hal yang menyakitkan dari sebuah kenangan bukan tentang orangnya, tetapi tentang ingatan dan kebiasaannya.” - Alana Widjaja -

***

Pagi ini tak seperti biasa. Cukup khawatir juga kami memikirkan Rita yang tak kunjung kembali. Namun, pikiran itu patah saat kami menemukan sosok Rita telah rapi duduk dengan tenang di kelasnya, siang saat kami sedang beristirahat. Entah bagaimana jadwal kelasnya hari ini kami tak tahu.

“Astagfirullah, kalian terlibat cinta segi berapa sih?” Puji bertanya sambil memainkan ujung mahkotaku yang sengaja tergerai.

“Puji, nggak gitu loh konsepnya.”

“Trus gimana kamu, Lan?”

Aku hening, berat sekali memutuskan hubungan yang masih terasa indah. Tak ada masalah berarti secara personal diantara kami. Namun, tak baik juga jika terus dilanjutkan. Aku sangat paham rasanya diabaikan. Tak menyenangkan telah dipaksa melupakan di saat masih menyimpan rasa. Entah sudah tersampaikan ataukah belum prasaan Rita pada kak Dewa? Ini sungguh diluar kendali diri.

Baru juga selesai menghela dan menghembuskan kembali napas berat. Sudah tercekat lagi saja saking terkejutnya. Seseorang mengambil seluruh rambutku lalu menyisir ke belakang dan menguncirnya dengan ikat rambut. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan kak Dewa. Setelah selesai, dia menampakkan wajahnya dari samping.

“Semangat prakteknya, love.” Kalimat singkat yang selalu berhasil membuat pipi terasa panas dengan senyum dan tanda hati yang dibuat dengan jarinya.

Kali ini perlakuan manisnya gagal menampilkan senyum balasan dariku. Dia segera meninggalkan kami kemudian berlalu menaiki tangga menuju lab praktikum kelasnya sendiri. Sial! Bagaimana aku harus mengakhirinya? Sekarang pandanganku buram mendadak.

“Nggak bisa gini, Puji. Harus dilurusin sih ini.”

Puji memilih merengkuhku dalam pelukan. Membiarkan air mata siang ini melegakan sedikit beban di hati yang kutahan sejak semalam. Benar saja, setelah praktikum usai aku mempersiapkan diri bertemu kak Dewa. Setidaknya itu yang telah aku rencanakan, tetapi justru hanya kak Janu yang tertangkap mata.

“Kak Janu, Kak Dewa udah pulang?”

“Oit, Lana. Eh, cek hape dong. Dipamitin pacarnya masa nggak diliat.” Suara Kak Janu terdengar cerah seperti biasa.

Auch, aku memang belum sempat mengintip notif di ponsel. Ampun Dj, Kak Dewa mendadak luar kota lagi, demi apa? Demi penelitian calon dosen di akademi lanjutan dari sekolah kami. Masih satu induk dan dia sedang sibuk membantu penelitian itu bersama beberapa siswa lainnya memang. Sempat berapa hari yang lalu dia bercerita, ternyata jadi juga.

“Wah, padahal udah mau ujian?” ucapku spontan.

Terdengar kekehan pelan dari kak Janu, “Ya, gitu Dewa, mana mau kalah sama yang lain.”

Ah, benar. Dia juga sempat mengucapkan kalimat yang mirip seperti milik kak Janu tadi. Pada akhirnya, aku harus menunggu beberapa waktu untuk bertemu lagi dengannya. Ujian semester genap sudah semakin dekat. Kak Dewa juga akan sangat sibuk setelah ini. Aku harus bergegas, yah, setidaknya ada sedikit jeda untuk lebih menyiapkan mental.

Malam ini, Rita tetap tak kembali. Entah dimana dia berada bahkan, lemari miliknya hampir kosong. Banyak pakaian yang kelihatannya telah dikemas saat kami tak berada di kos. Hubunganku dengan teman sekamar ini jelas rusak. Entah bisa diperbaiki atau tidak, yang jelas aku tak ingin makin memburuk saja.

***

Keesokan pagi, Abim sudah berada di bangkunya. Tatapan sendu dan raut wajah lelah tercetak jelas di sana. Tak ada yang berani mengusik diamnya. Begitupun aku, otak sendiri sedang carut marut tak menentu. Kekasihku belum juga menampakkan diri, biasanya memang memakan waktu setidaknya satu minggu dalam acara seperti ini.

Praktikum siang ini dibatalkan, kami pulang cepat. Asik! Seseorang mengulurkan tangannya dan dengan cepat aku memandang si pemilik tangan tadi.

“Kenapa nih?”

“Punya obeng gak?” Abim menyentakkan dagu singkat.

“Bim, beneran aja wey.” Aku memasukkan buku ke dalam tas.

“Oke, pompa ada?” Pertanyaan Abim makin ngawur saja.

“Astaga, spuit ada ini.” Sedikit jengkel aku menggeledah dan menemukan alat pengambilan darah di kotak praktikum.

“Nggak perlu, tanggal lahir punya dong.” Kini Abim mengulurkan tangan dengan senyum tipis.

“Hah?”

“Selamat ulang tahun.” Abim mengucapkan dengan senyum terkembang hingga mencetak lesung pipit di pipi.

Eh, eh, ya ampun. Saking kalutnya pikiranku hingga melupakan hari lahir sendiri. Ponsel juga senyap sepertinya orang rumah sudah tak peduli kalender. Justru si dingin satu ini mengingatnya. Kesal, tetapi harus kuakui dia orang pertama yang mengucapkan secara langsung hari ini. Pakai acara obeng dan pompa sih, udah mirip bengkel apa mukaku ini? Kami berjabat tangan lagi, kali ini seulas senyum berhasil terbit lagi di wajah manisnya.

“Makasih ya, Bim.”

Setelahnya aku menjadi sibuk menjabat banyak tangan bahkan entah berapa pelukan dan ciuman yang kudapat. Sejenak mengambil udara segar dari kemelut hati berapa waktu terakhir ini.

“Ke sebelah, ditraktir Alana. Wohooo!” Suara Haris menggelegar.

“Rusuh, woy, rusuh! Kagak! Haris diem heh, anak kampret!” panik mode on.

Terlambat sudah, semua orang berkumpul di kantin dan menagih bayaran padaku. Tradisi macam apa ini? Belum juga mendapat kado malah keluar uang duluan. Okelah untuk kali ini saja ya. Tujuh belas tahunku di kota asing, tumbuh bersama mereka adalah suatu berkat juga. Meski tak bisa disebut murni inginku, tetapi setidaknya bisa tersebut sebagai rumah yang kuperlukan di perantauan panjang ini. Terima kasih ya, teman-teman. Berkat kalian aku tak pernah merasa sendirian.

Setelah puas menguras kantong, aku berjalan gontai bersama Puji. Tak jadi meneruskan langkah lagi saat menatap di depan, sosok yang sudah menunggu bersandar di tembok sisi gedung sekolah kami.

“Mbak Lana.” Kamaya berteriak memanggil sambil berlari ke arahku.

Ah, ternyata mereka tidak lupa, terus saja ku batin.

Pandanganku buram tertutup airmata. Ibu membawa kue tart dengan lilin lalu ayah berusaha menghadang agar angin tak meniup kobaran api di puncak lilin sebelum aku sampai. Setelah mengucap doa singkat, aku menyelesaikan prosesi tiup lilin dan melanjutkan perjalanan kembali ke kos.

“Loh, Rita dimana?”

Dalam diam netra Puji bertukar tatap denganku. Kikuk kami saling menyikut untuk menjawab.

“Anu kerja kelompok mungkin, Bu,” jawabku sekenanya.

Untung saja kedua orang tuaku tak terlalu membahas dan mempermasalahkannya. Setelah perayaan kecil tadi, ayah, ibu dan Kamaya kembali pulang. Suasana kembali hening, hatiku terasa kosong meski dipenuhi banyak ucapan syukur dan doa hari ini, tak mengembalikan senyum yang biasa kumiliki. Beratnya masalah hati, efeknya sampai mendera semua aspek kehidupan. Lebay part sekian, tetapi sungguh mendadak aku merindukan teman sekamar yang biasanya berbaring di sisi lain kasur ini bersama.

“Hhhh … harus gimana ini tuh? Kak Dewa abis ini pasti repot ama persiapan ujian, Rita nggak tau dimana, di deketin aja susah banget. Mau lanjut beban perasaan, mau putus beban mental. Alana, bego! Emang paling bener jomblo udah, argh!” Aku bermonolog sendirian lalu membekap wajah dengan bantal.

Terdengar ketukan pintu kamar dari luar. Tak biasanya Puji mengetuk pintu, dia langsung saja menerobos masuk dan menabrak kasur. Sopan sekali pakai acara ketuk pintu segala sih. Sudah dua kali aku berteriak dari dalam untuk masuk langsung saja, tetapi tetap hanya ketukan yang terdengar. Berat sekali kuseret kaki untuk membuka pintu malam ini.

***

Still, crazy up begin never ending~
See you, next chapter 💜

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang