Bab 8

11 3 0
                                    

Bello, ketemu lagi nih ama Nichi
Setelah sekian hari bertapa akhirnya, kuputuskan untuk up bab baru
Huhu entah kenapa, cukup menguras energi justru saat mau di up bukan pas nulisnya ...
Baik, sekian cucol hari ini~

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya, vote and comment 💕
Semoga kalian menikmati alur ceritanya
ENJOY GUYS 😚

***
POV : ALANA

Saat ini aku sedang menguji kemampuan sosial. Em, lebih tepatnya sedang menantang diri untuk bertamu pada sebuah kelas asing yang berisikan senior. Buku Kak Dewa sudah selesai tersalin rapi di buku tugas semalam. Kini, sesuai kalimat kemarin yang terlontarkan. Akan ku kembalikan, tetapi kini kakiku tertahan tak mau melanjutkan langkahnya. Jantung berderap dan buku-buku jemariku memucat serta telapak tangan sedikit basah.

Pengecut! Kayak gini doang takut! Sumpah serapah kuucapkan pada diriku sendiri dalam hati.

“Hei, Alana,” terjingkat mendadak saat mendengarnya.

“Eh, K-kak Dewa, b-baru dateng, ya?” tanyaku terbata sambil memaksakan senyum canggung.

Selamat, aku menahan ketukan pintu tadi. Orangnya baru saja sampai.

“Iya, kenapa, kenapa? Ada yang perlu dibantu lagi?” suara Kak Dewa terdengar ramah seperti biasa.

“Oh ini, Kak, bukunya sudah.” Aku menyodorkan buku padanya, “Terima kasih, ya,” tambahku.

“Loh, bawa aja dulu. Di sini ada semua catetan buat satu semester. Nah harusnya, hari ini sih kamu dapet tugas dari mapel satunya.” Kak Dewa sibuk merogoh sesuatu dari tasnya.

“Yang ini, nah … bawa sekalian, sebelum dipinjem ama yang lain. Nanti, aku bawain satu-satu biar kamu nggak bingung. Oke?” Dia tak menerima buku yang kukembalikan, justru aku harus menerima satu buku catatan baru darinya.

“Eh, gitu, Kak? Nggak apa-apa nih beneran, nggak dipake emang ama Kak Dewa?” Aku menerima tambahan buku tersebut sambil mengkonfirmasi ulang.

Siswa jangkung di depanku ini mengangguk, “Nanti aku pakenya masih lama. Bawa aja dulu buat kamu. Eh, tapi kamu bisa baca tulisan aku nggak? Hahahaha ….”

“Aman, Kak,” sahutku sambil memberikan jempol padanya.

Lebih tepatnya, ini yang jadi masalah. Memanglah manusia itu tak ada yang sempurna, sungguh tak ada maksud untuk meledek ataupun berpikir buruk barang sedikitpun. Akan tetapi, tulisan ajaib Kak Dewa sangat menyilaukan mata. Sampai entah berapa kali Rita membolak-balik si buku demi menemukan arti tulisannya. Terbersitlah pada akhirnya di otak mungilku semalam. Mungkinkah, si peringkat satu ini selalu lolos karena guru kami sudah menyerah mengartikan tiap tulisannya. Ah, tidak, tapi mungkin saja. Entahlah! Itu bukan urusanku.

Mungkin seharusnya Kak Dewa langsung saja masuk jurusan kedokteran setelah ini. Eh, anu—bukan bermaksud bilang jika tulisan dokter buruk ya. Hanya saja, sulit terbaca bagi kaum awam.

Pada akhirnya, aku kembali dengan dua buku Kak Dewa di tangan dan bertukar kontak pula. Masih terlihat sosoknya yang melambaikan tangan hingga aku masuk ke dalam kelas. Tebak apa yang terjadi sesaat setelahnya?

Yap, sorak-sorai penonton bergemuruh kembali, sialan! Rasanya gendang telinga sebentar lagi meledak. Iseng sekali teman-teman sekelas ini. Perkara apapun antara aku dan Kak Dewa selalu saja disalah artikan. Haduh, kenapa pula harus Kak Dewa sih? Si populer satu ini sungguh, berbahaya untuk keselamatan telinga selain jantung!

Bukan, bukannya aku tak tertarik. Aku masih normal, tentu saja suka melihat hal-hal yang indah juga. Hanya saja, aku belum menemukan alasan mengapa harus jatuh cinta saat ini?

Satu-satunya manusia yang bergeming di tempatnya tanpa suara di tengah hiruk-pikuk kelas ini hanya Abim. Si dingin nan ketus yang sombongnya minta ampun, hingga mengabaikan uluran tanganku saat berkenalan kemarin. Ya, jika dia tak mau, ya sudah. Aku juga tidak suka dipaksa, jadi aku juga tak akan memaksanya. Terserah saja.

“Apa ini, apa ini ribut. Ayo duduk di bangku masing-masing. Kelas akan dimulai.” Seorang guru memasuki kelas.

Saking riuhnya, sampai kami tak mendengar suara bel berbunyi. Kali ini Bu Palupi selaku wali kelas kami yang mengisi kelas pertama hari ini. Sekaligus membentuk regu kepengurusan kelas. Sebisa mungkin aku menyamar menjadi bunglon agar tak terlihat. Tak mau, lelah sekali rasanya untuk bangun sepagi ini saja dan pulang sore hari. Masih lagi mengurusi keperluan kelas, belum lagi tugas. Oh, tidak, terima kasih.

“Alana saja, Bu,” usul seseorang membuat bulu kudukku meremang.

“Jangan, Bu, jangan saya, ya … yang lain saja.”

“Alana boleh, nanti minta diajarin Dewa kalo sulit, ya.”

DWAR! Kenapa bisa sampai guru pun mendengar berita ini sih? Argh, malu! Lagian kenapa pula semua harus tanya pada Kak Dewa, ish, memang sesulit apa pekerjaan wakil ketua kelas di sini?

Oh, damn! Kalau ketua kelasnya dia, mana mungkin tak sulitlah? Berbaur dengan yang lain saja bukan main susahnya. Lalu harus seperti apa nanti cara berkomunikasinya, tak mungkin dengan bahasa isyarat atau bahasa tubuh bukan? Duh, Abim, kenapa malah diam saja saat ditumbalkan sih anak satu ini.

Pelajaran hari ini berakhir, sesuai kata Kak Dewa. Kami mendapat tugas di mata pelajaran berikutnya. Tiap hari, kami diberi satu tugas dari satu mata pelajaran rupanya, sebagai perkenalan awal. Sepertinya tak salah lihat, kali ini si pendiam—Abim, berdiri di depanku.

“Heh, kamu yang rapat, ya. Rumahku jauh, aku pulang dulu.”

Tunggu, apaan sih ini orang satu, aku punya nama tahu! Mau jauh-jauhan rumah apa gimana, mentang-mentang ketua enak banget nyuruhnya. Dimana memang rumahnya sih, beda provinsi nih bos! Eh, berarti harus ikut kumpul sendirian dari kelas dong. Nggak bisa, nggak boleh.

Kacau, terlambat! Motornya sudah melaju pergi melewati pagar sekolah.

“Cepet banget, sumpah, ngeselin!” rengekku sambil menghentak-hentakkan kaki ke bumi.

Sore ini ada rapat yang seharusnya diikuti oleh ketua dari masing-masing kelas dan wakilnya. Hal ini dilakukan tiap tahun agar hubungan antar siswa senior dan junior tak terputus. Tentu saja, Kak Dewa juga berada di sana. Puji yang terpaksa kuseret sore ini sibuk menyikut pinggangku. Setelah selesai sesi perkenalan, kami saling menjabat tangan dan berlalu pulang. Sederhana, kan? Tapi sungguh, apa cowok satu itu anti-sosial atau bagaimana sih? Heran!

“Ah, satu lagi. Setelah ini kita akan mengadakan pemilihan calon ketua ISAMUBA yang baru, jadi untuk kelas sebelas tolong disiapkan calon dan wakilnya, ya.” Kak Budi menambahkan kalimatnya sebelum kami benar-benar meninggalkan ruangan.

ISAMUBA adalah organisasi siswa yang dibentuk sekolah ini seperti OSIS pada sekolah umum lainnya. Susunannya sama, tugasnya pun serupa. Beda di penyebutannya saja, begitulah sekolah spesial ini.

Ketimbang buang waktu, aku dan Puji mampir ke salah satu warteg membeli makan malam sekaligus untuk Rita. Hari sudah hampir gelap, kami harus bergegas pulang. Belum lagi tugas yang melambai-lambai.

“Dipinjemin lagi ama kak Dewa, Lan?” tanya Puji dari samping.

Anggukkan kepala menjawab pertanyaan penasarannya petang ini. Sambil terus saja kami melangkah. Hampir saja sampai ke rumah kos tercinta kami saat netraku mengerjap, memastikan sosok yang terlihat sibuk di depan. Hah, ini cuma kebetulan, ‘kan?

***

Eh, siapa tebak yang dilihat Alana bareng Puji, hayooooo?

Yuk, lanjut next chapter ya
See you 😘

Ikuti terus kelanjutan kisahnya ya,
Jangan lupa vote dan komennya, teman-teman ….
Terima kasih banyak-banyak yang sudah mampir, love you all 💕

Kalian bisa banget temenan ama author di instagram dan tiktok: @nichi.raitaa 
Feel free to share anything with me, dm for follback yaa :3

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang