Bab 32

3 0 0
                                    

Hello, Nichi back 💋
Semoga hari kalian menyenangkan
Enjoy this part 😘

***
“Mama apain, bisa sampe pingsan begini anak orang?”

“Dewa, mama juga kaget tau nggak, kamu nggak bilang dulu bawa tamu sih.”

“Gimana mau nggak kaget, bentukan Mama kayak begitu.”

Tiga suara berbeda saling beradu terdengar. Mataku masih enggan terbuka meski sebenarnya sudah pulih kesadaran di badan. Canggung banget hei.

“Cek hape dulu makanya, udah kirim pesan tadi aku, Ma.” Suara Kak Dewa terdengar.

“Ini dulu, siapa namanya?” Suara pria lebih berat menyahuti.

“Alana, panggil lagi nih, Pa?” Kembali suara Kak Dewa yang terdengar.

“Iya … Alana, Nak, halo Alana … anak cantiknya Papa bangun, Nak.” Dioper lagi oleh suara berat.

“Kok jadi anak cantiknya papa sih?” Kak Dewa, cemburu nih ye?

“Lah, gak mau kamu? Yawes, calon bojo enom bangun, Nduk.” Kok si om malah ngelawak, duh.

“Sembarangan, gak inget boyoken emang.” Ah, kali ini suara wanita, pasti mama Kak Dewa.

“Hlo, bangun, ‘kan?” Pria disebelahku menunjuk dengan senyum terkembang penuh kemenangan.

Tak bisa lagi kutahan, perut sudah dipenuhi ribuan kupu-kupu yang sangat menggelitik. Keluarga kak Dewa bukan hanya cemara, semi komedi pun diboyong juga ternyata. Ampun, kenapa bisa selawak ini? Sepertinya aku jadi mengerti, jawaban kak Dewa yang tak pernah dipaksa oleh orangtuanya.

“Maaf, maaf,” ucapku sambil berusaha duduk dan mengontrol tawa.

“Giliran dibangunin papa langsung sadar sih, Lan?” Nada tak terima Kak Dewa.

Aku tak bisa menjawab, masih terkikik. Kak Dewa beradu jotos dengan papanya, nampak sangat akrab dan lucu. Hatiku menghangat hanya dengan melihatnya saja. Mama kak Dewa kini duduk di samping.

“Alana, maaf ya, papa emang kelakuannya begitu. Mama juga minta maaf, tadi nggak tau kalo ada tamu.”

“Iya tante, nggak apa-apa. Maaf juga tadi Lana nyelonong aja. Takut kalo ada maling.”

“Iya juga ya, nggak kedengeran tadi tante di kebun belakang.”

Setelah itu kami mengobrol dengan nyaman. Untung saja keluarga yang satu ini sangat ramah menerima tanpa syarat. Aku tadi jatuh pingsan saking terkejutnya saat awal bertemu dengan tante Lestari. Dia sedang mengenakan masker berwarna putih bayangkan saja. Muncul dari gelapnya pintu belakang dapur dengan senandung lirih. Jantung copot seketika. Kak Dewa mulai menjelaskan perlahan, mengapa aku bisa sampai dibawa olehnya sore tadi. Kedua orang tuanya mengangguk-angguk memahami. Komunikasi mereka terkesan cukup kuat dan hangat. Lagi-lagi membuat rasa iri naik ke permukaan. Kupikir hanya ada dalam cerita novel, tetapi kini benar ku jumpai di kehidupan nyata.

“Nggak apa-apa, namanya juga belajar. Kalo langsung pinter nanti kasihan, bu guru nggak punya murid tho?” Suara om Gito sangat berat terdengar dengan senyum tercetak di wajahnya.

“Iya, Om.” Aku menjawab singkat sambil meremas jemari di balik meja.

Bukan kak Dewa jika diam saja. Tangan kanan besarnya meraih perlahan di balik meja dan menelisip di setiap sela-sela jari tangan kiriku. Kemudian merapatkan genggaman tanpa mengalihkan mata dari papa atau mamanya. Seolah tak ada yang sedang terjadi. Maaf, jika biasanya genggaman itu tak pernah terbalas. Kali ini aku juga butuh sesuatu untuk diremas.

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang