Bab 3

34 6 2
                                    

Heyho ... kamu, iya kamu.

Aku ingin berterima kasih untukmu karena sudah sejauh ini membersamaiku dan karyaku

Jangan lupa vote dan komennya, ya!

Enjoy💕

***

Langitnya sama, biru. Awan masih setia berada di bawahnya menaungi bumi, melindungi dari sengatan cahaya matahari. Bedanya, aku sedang menatapmu dan kamu memeluk hati yang baru. Aduh, sendu.

***

Sudah sekian kali lenganku dipompa, tetapi tak kunjung berakhir juga. Kuberanikan diri mengintip aktivitas yang berulang tadi. Takut, tiba-tiba si lengan meletus karena terlalu banyak udara. Eh, maaf salah fokus. Cowok berseragam tadi ikut menunduk sibuk memperhatikan kulitku bahkan, sesekali ikut menyentuhnya. Ampun, benar sih aku sedang melihatnya tapi rasa penasaran tetap tak terjawab. Beberapa saat kemudian ujung jarum mendekat, spontan aku terbelalak dan menarik lengan.

"Eh, loh, ilang. Baru juga ketemu vena-nya." Ibu gemoy tadi bersuara.

Kami bertiga tentu saja saling bertukar tatap dengan aku yang posisinya sedang memeluk erat kedua tangan di dada. Tak bisa, aku terlalu takut melakukannya. Meskipun, sekian kali diyakinkan aku tetap menggelengkan kepala. Bibir mungil ku mencebik dan air mata sudah mengaburkan pandangan. Sayang sekali, orang tuaku menunggu di parkiran mobil luar. Aku sendirian dan lemah tak berdaya.

"Gigit! Antrian di belakang panjang, cepet!" Suara cowok terdengar sangat dekat.

Sebuah lengan menjulur tepat di depan wajahku. Heh, yang bener aja bang?! Yakali, pakai acara gigit menggigit dikira aku cewek apaan. T-tapi dia benar, antrian mulai memanjang karena aku yang menghambatnya. Alih-alih menggigit, aku menggenggam tangan tadi. Ehem, saat ini tak ada sama sekali terbersit keromantisan di otakku. Aku sibuk merapalkan banyak mantra agar tak pingsan saja sudah cukup.

Si cowok berseragam tadi kulihat sekilas memberikan lagi benda putih yang ternyata kasa beralkohol untuk membersihkan bagian kulitku lagi. Lalu cowok satu lagi yang berdiri di sebelahku ini, kelihatannya calon siswa baru sepertiku.

"Heh, lihat aku aja!" Apa ini, apa ini? Sebelah tangan cowok yang ku cengkeram tadi mengalihkan pandanganku dan menguncinya.

Iya-iya tahu, emang cewek apaan aku ini entahlah. Nada si cowok ini ketus dan dingin, tetapi aku sedang tidak peduli. Lengannya kini bukan lagi ku genggam, sudah menancap kuku jariku padanya. Sumpah, kenapa malah aku lomba adu tatap begini sih, woy?! Aku merasakan jarum menusuk, perih. Tanpa sadar, makin tertancap saja kuku di kulitnya.

Sejurus kemudian, luka kecil itu telah tertutup. Ajaib! Aku berhasil melewati sesi pengambilan darah tanpa teriakan. Eh, t-tapi lihat lengan cowok tadi.

"Aduh, Kak, Mas, eh itu anu, maaf." Berantakan, kacau balau sudah susunan kalimat yang keluar.

"Nggak apa-apa, udah sana," ucap si cowok dingin ini sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

Aneh! Aku kemudian menuruti kalimatnya tanpa penolakan. Setelah meminta maaf dan berpamitan aku keluar ruangan dan mendapatkan oksigen kembali. Jangan ditanya seberapa cepat jantungku berpacu saat ini! Sudah mau pindah kontrakan saking takutnya.

Ternyata, aku bukan satu-satunya yang datang dari luar provinsi. Akhirnya, dapat juga satu teman sependeritaan, eh, maksudku seperjuangan. Praktisnya, kami berdua menjadi satu paket kali ini, dititipkan di salah satu kost putri dekat sekolahan dan hendak kami tempati sekitar satu bulan dari sekarang. Gercep, banget ya bun kalau urusan begini. Oiya, aku masih sedikit kesal pada ayah dan menjaga jarak darinya.

Secret Face (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang