Hai teman semua, apa kabar hari ini?
Aku berharap kalian dalam keadaan sehat, ya😚
Usahakan jangan jadi silent readers okey 😉
Aku sangat suka membaca pesan yang kalian tinggalkan loh, selamat membaca.
Enjoy💕
***
Ada banyak sekali hal indah di dunia. Meski misal pada awal harus terbungkus oleh luka, tetap beranikan dirimu untuk membukanya. Mungkin saja bukanlah yang kamu inginkan, tetapi barangkali, di sana akan kamu temukan yang selama ini kamu butuhkan. Teruslah berprasangka baik, meskipun hasil akhirnya terlalu menggelitik. Tak semua akan berbalas seperti yang kita harapkan. Namun, semua yang telah tertakar tak akan pernah tertukar. Hidup itu lucu, seperti katanya kamu mencintaiku, tetapi ternyata kamu pergi dengan yang baru.
***
Siapa yang bisa menebak apakah hari esok akan cerah, hujan ataukah hanya mendung? Bahkan, badai pun terkadang tiba-tiba saja datang tanpa pemberitahuan. Ketika dia rindu misalnya, tapi dia hanya diam saja justru sibuk mencari perkara hanya sekadar ingin berjumpa. Ah, sial! Kenapa masih saja enggan bersuara?
Kisahku berawal pada tahun ketujuh, pada hari saat tiba-tiba saja ibu mengenalkanku pada seorang pria yang usianya terpaut lima tahun lebih tua darinya. Sedikit ragu aku menyambut uluran tangan dan mengecupnya singkat sesuai arahan ibu. Setelah berhasil melakukan pendekatan dengan banyak sogokan coklat padaku, om genit yang kerap mencubit pipiku dengan gemas ini berubah status menjadi ayahku.
Ah, iya aku belum mengatakannya. Aku kehilangan ayah diusia yang masih sangat awal untuk dapat mengingat wajah atau sekadar mengenali suaranya. Hanya berselang beberapa bulan setelah aku dilahirkan, beliau berangkat mengemban tugas negara dan gugur sebagai perwira. Singkat cerita, setelah si om tadi resmi menjadi ayahku, sosoknya lekas mengisi celah tak berpenghuni di hatiku sana. Memberikan rasa aman, nyaman dan perhatian penuh untukku. Mulanya demikian yang kurasakan. Hingga pada akhirnya, aku bukanlah satu-satunya yang haus kasih sayang dirumah kami.
Yap, di usiaku yang ke delapan perut ibu mulai terlihat menonjol. Setelah aku berulang tahun yang kesembilan, catatanku sebagai anak tunggal musnah. Menguap bersama dengan perhatian orang lain di sekeliling. Yah, kamu pasti pernah merasakannya jika sainganmu adalah bayi imut yang hanya bisa menangis, mengompol lalu menyusu, bukan? Hampir semua isi kepala dan kabar berita hanya berisi tentang si bungsu melulu. Tentang dia dan hanya dia, siapa aku? Pemeran pembantu.
"Mbak, tolong ambilkan popok adek."
"Mbak, jaga adek sebentar, ya."
"Aduh, mbak, udah dulu nonton tv nya, ya. Bantuin giling baju ke mesin." Biar rata ya bu, eh mesin cuci ini loh.
"Mbak, tolong sapu kamar dikit, ya." Yah, tetep aja serumah 'kan ujung-ujungnya.
Sudah biasa, kamu juga mendengar nada dan intonasinya? Yah, seperti itulah. Kupikir, tugas sebagai kakak tak seburuk itu. Walaupun, terkadang aku jengkel juga karena selalu saja aku.
"Hey, mbak yang ngasih contoh dong."
"Loh, mbak duluan gitu biar adeknya berani juga."
"Mbak, nggak boleh gitu, nanti adek jadi ikutan." Oke, oke ... lain kali aku mau jadi rumput aja, biar cuma goyang-goyang.
Paling pol sedihnya dicabut atau nggak di pangkas. Duh sama aja, sedih.
Ku kira, perhatian yang terkikis itu tak masalah karena memang adik yang jauh lebih muda sedang membutuhkannya. Namun, kali ini ku pikir orang tuaku sedang berusaha mengusirku perlahan atau bagaimana? Aku sangat memaklumi jika ayah terlihat sangat menyayangi putri kandungnya, tetapi bukankah ini terlalu berlebihan, Ibu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Face (END)
Teen FictionBagaimana jika ternyata semua keindahan itu hanya sebuah jebakan? Begitu sudah berhati-hati, tetapi seseorang menarik terlalu kencang hingga akhirnya terperosok juga ke dalam. "Hhhh ... katanya, semua yang terjadi di dunia ini tak ada yg kebetulan."...